Saturday 28 August 2010

Benar-Benar Bangkrut

oleh: Ali Ghufron Sudirman


“Siapakah orang yang bangkrut itu?” tanya Rasulullah Saw. suatu hari kepada para sahabat. Kontan para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang rugi ketika berdagang dan tidak punya uang sepeser pun.”

Kita tentu setuju dengan pengertian bangkrut seperti yang dijelaskan oleh para sahabat tersebut. Orang yang bangkrut atau pailit ialah orang yang tidak punya harta karena merugi ketika sedang menjalankan suatu bisnis, sehingga ia terbelit utang. Tapi, “Bukan itu yang kumaksud,” kata Rasulullah seraya menjelaskan makna bangkrut yang hakiki. Orang yang benar-benar bangkrut, jelas Rasulullah sebagaimana terdapat di dalam hadits riwayat Imam Bukhari, adalah orang yang ketika di akhirat membawa segudang pahala shalat, puasa, zakat, dan haji, tapi semua pahala itu habis diminta orang yang dulu pernah ia zalimi di dunia. Dengan kata lain, ia mati membawa banyak pahala berupa ibadah mahdah kepada Allah Swt., tapi di samping itu, ia juga menanggung banyak dosa kepada sesama manusia dan belum meminta maaf.

Bahkan, apabila pahala orang tersebut masih kurang untuk membayar kezaliman yang pernah ia lakukan, maka dosa orang yang ia zalimi dilimpahkan kepadanya, sebanding dengan nilai kezaliman yang ia lakukan. Alih-alih bisa impas, justru ia bangkrut dan pailit karena minus pahala. Tentu saja ini merupakan kebangkrutan yang sangat tragis dan mengerikan. Sebab, kalau bangkrut karena bisnis macet di dunia masih dapat pinjam sana pinjam sini, tapi kalau bangkrut karena kehabisan pahala di akhirat, apa yang dapat diperbuat? Akhirat bukan tempat beramal, melainkan tempat untuk menghitung amal. Maka jika kita merugi di akhirat, itulah yang dinamakan rugi yang sebenar-benarnya. Sebab, sudah tidak ada kesempatan untuk memperbaiki nasib dan kondisi.

Semua ini mengingatkan kepada kita bahwa dosa terhadap sesama manusia, sekecil apa pun ia, bisa menjadi bencana besar ketika di akhirat, apabila kita lalai dan belum meminta maaf. Apalagi, Allah tidak mungkin mengampuni dosa seseorang terhadap orang lain jika orang tersebut belum meminta maaf kepada yang bersangkutan. Sebab, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, syarat tobat dari dosa terhadap sesama manusia ada empat, yaitu menyesal, bertekad untuk tidak mengulangi, meminta maaf kepada orang yang dizalimi, dan meminta ampun kepada Allah.

Untuk itu, sudah semestinya kita mawas diri. Pahala ibadah yang kita miliki hendaklah diimbangi dengan kesalehan diri ketika berinteraksi di tengah masyarakat. Itu kalau kita tidak mau segudang pahala ibadah kita dirampok orang ketika di akhirat, karena berbagai kezaliman yang kita lakukan di tengah masyarakat, sehingga membuat kita bangkrut dan merugi. Wallahu a’lam bish-shawab.

Artikel Terkait:

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. nice posting, semoga kita termasuk orang yg tak bangkrut..artikel ki ketone prnah dimuat nek republika ya? mampir nek blogku, tp jo diwoco lho,didelok wae, soale tulisan2ne sampah..hehehe

    ReplyDelete
  3. apa iya? aku memang pernah ngirim artikel ini ke republika utk rubrik hikmah. tapi setelah itu gak tak cek. kalau yang satunya, Rasulullah dan pengemis memang pernah tak lihat di muat di hikmah republika. blogmu apa, bos?

    ReplyDelete

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...