Wednesday 21 August 2013

Antara Beragama dan Bertuhan



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

'Beragama' tidak tentu sama dengan 'bertuhan'. Orang yang beragama, selain mempunyai Tuhan (bertuhan; akidah) juga mempunyai ritual khusus dan istimewa untuk menyempurnakan kebertuhanannya. Ritual-ritual khusus itu disebut sebagai aturan tuhan yang pada perjalanannya dinamakan syari'at.

Seorang yang mengaku 'beragama' Islam tapi tidak menjalankan shalat, atau melakukan shalat dengan cara-caranya sendiri, misalnya, belum bisa disebut 'beragama' Islam. Mungkin dia bertuhan karena memang mempunyai Tuhan. Tapi belum beragama karena tidak mau menyempurnakan kebertuhanannya dengan ritual-ritual khusus seperti yang diatur dalam syari'at.

Lalu apakah kita sudah merasa cukup untuk bertuhan saja, tanpa beragama? Apakah kita cukup memiliki keyakinan, tanpa harus menjalankan ritual-ritual yang menyertainya?

Kalau mau jujur, beragama adalah konsekwensi dari bertuhan. Oleh karena itu, setelah mempercayai adanya tuhan (bertuhan; berakidah), kita pun dituntut untuk mempercayai dan menjalankan aturan-aturan tuhan (beragama; bersyari'at).

Jadi ada dua bangun fundamental dalam beragama, yaitu bangun akidah dan bangun syari'at Kalau bangun akidah dalam agama islam membidani lahirnya ilmu kalam (teologi) atau ilmu tawhid, maka bangun syari'at melahirkan ilmu fiqh (jurisprudence). Manakah yang lebih fundamental dari bangun akidah dan bangun syari'at? Dengan kata lain, apa yang sebaiknya kita prioritaskan dari kedua bangun ini? Apakah cukup hanya dengan penerapan syari'at saja bisa membangun sebuah komunitas muslim?

Grand Syaikh, Imam Mahmud Syaltut dalam bukunya Al-Islâm Aqîdah Wa as-Syarîah menjawab pertanyaan ini. Menurutnya, akidah dalam islam merupakan dasar yang menjadi rujukan syari'at. [Dengan sendirinya] syari'at adalah sebuah hasil (atsâr) yang harus mengikuti akidah. Oleh karena itu, dalam islam tidak akan ada syari'at tanpa adanya akidah. Syari'at hanya akan gemilang di bawah naungan akidah karena syari'at tanpa akidah seperti ketinggian [atap] yang tidak memiliki pondasi... Orang yang mempercayai akidah dan membuang syari'at atau mengambil syari'at tapi mengesampingkan akidah tidak dianggap muslim di sisi tuhan, juga tidak dianggap sedang berjalan dalam aturan islam yang adalah jalan kesuksesan. Syari'at adalah jalan pemuasan manusia setelah hatinya terikat oleh suatu keyakinan. Sepertinya sudah menjadi suatu aksiomatis apabila keyakinan tertentu akan melahirkan berbagai ritual khusus untuk membuktikan keterikatan kita dengan keyakinan tersebut.

Dari situ jelas bahwa akidah merupakan pondasi dan dasar islam. Adapun syari'at adalah cabang. Keduanya harus dilaksanakan karena orang yang mempercayai akidah dan membuang syari'at atau mengambil syari'at tapi mengesampingkan akidah tidak dianggap Muslim (beragama islam) di sisi Tuhan.

Definisi Syar’iat
 
Kalau beragama identik dengan ber-syari'at maka kita harus mengetahui definisi syari'at itu sendiri. Sepertinya selama ini kita terlanjur latah memandang syari'at sebagai 'undang-undang' sehingga syari'at hanya kita lihat sebagai undang-undang hukum pidana (qânûn jinâ'i), misalnya, atau undang-undang hukum sipil (qânûn ahwâl asy-syakhsiyah), atau hukum-hukum ibadah.

Begitulah yang terjadi. Ketika berhasil menerapkan undang-undang tersebut, kita merasa seakan telah 'beragama' karena sudah menerapkan syari'at Tuhan. Padahal sebenarnya, itu hanya 'sebagian' dari syari'at Tuhan. Syari'at bukan hanya sebatas undang-undang, melainkan sebuah 'sistem' komprehensif menyangkut segala aspek kehidupan.

Syari'at adalah sekumpulan sistem yang dibuat dan diturunkan Tuhan untuk dipatuhi manusia pada berbagai aspek kehidupan, yaitu dalam segi hubungan muslim dengan tuhannya (shalat, puasa, dll), hubungan muslim dengan sesamanya (keharusan menjaga persaudaraan, kasih sayang, hukum-hukum keluarga, warisan, dll), hubungan muslim dengan non muslim dan manusia secara umum (solidaritas, menjaga keamanan, stabilitas masyarkat, dll), hubungan muslim dengan masyarakat (hukum-hukum muamalat, hukum-hukum sipil, pidana, perdagangan, dll), hubungan manusia dengan semesta, dan hubungan muslim dengan kehidupan

Mungkin definisi seperti di atas kurang populer dalam pemahaman kita tentang syari'at, karena kita terlanjur biasa memandang syari'at hanya sebatas 'undang-undang' tertentu saja—bukannya sebuah sistem komprehensif yang harus sama-sama dipraktikkan. Akibatnya, kita berpandangan sempit terhadap syari'at dan berkutat pada penerapan salah satu elemen saja, sedang elemen-elemen yang lain diabaikan. Selama ini kita menganggap sudah beragama islam kalau tekun beribadah.

Selanjutnya, saya memiliki satu catatan penting lain dalam keberagamaan kita. Saya kadang prihatin dengan sikap beberapa rekan. Mereka sepertinya baru puber dalam menerapkan dekonstruksi Derrida sehingga segala sesuatu didekonstruksi. Bahkan terminologi-terminologi yang sudah 'paten' dalam agama pun tak lepas dari ganyangan mereka. Suatu kali, seorang kawan bilang kalau dia tidak shalat karena hari itu hatinya sudah tenang. Kawan yang lain lagi bilang kalau hari ini dia shalat 'filsafat'. Entah apa yang dimaksud dengan shalat filsafat itu. Akhir-akhir saya tahu kalau yang dimaksud dengan shalat 'filsafat' adalah shalat dengan sebatas mengingat tuhan, karena katanya, "Esensi shalat adalah mengingat dan berdoa kepada tuhan."

Sepertinya, kawan-kawan itu terlalu bebas dalam berlogika. Ketika berinteraksi dengan terminologi-terminologi keagamaan, mereka tidak menggunakan rumus agama, tetapi menggunakan murni penalaran. Satu kasus, misalnya, mereka mengatakan kalau shalat adalah berdoa. Memang benar. esensi shalat adalah mengingat dan berdoa kepada tuhan. Tapi caranya telah ditentukan dan disyari'atkan. Lagi pula, dalam filsafat hukum islam pun kita telah mengenal yang namanya hierarki definisi. Mana definisi yang harus di dahulukan dan mana yang tidak. Disitu disebutkan bahwa selama ada definisi secara syar'i maka definisi-definisi yang lain harus ditanggalkan. Bahkan disitu disebutkan kalau definisi secara bahasa menduduki peringkat ketiga, setelah definisi 'urfi (adat kebiasaan). Inilah aturannya kalau kita ingin main-main dalam terminologi keagamaan.

Yang saya inginkan adalah profesionalisme. Artinya, kalaupun 'pekerjaan' kita memang 'bermain-main' dalam hal agama maka kita pun harus tahu dan paham aturan-aturannya sehingga tidak menghambat, tetapi mendukung kemajuan agama. Lagi pula, siapa wasit yang tidak akan meniup peluitnya kalau Anda menerapkan aturan main bola basket dalam dunia sepak bola? Atau, apakah aturan main sepak bola juga harus didekonstruksi sehingga sesuai dengan bola basket? Wallahu A'lam []

*Ini tulisan waktu masih sebagai mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, Kairo. Saat menghuni Bengkel At-Tanwir.

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...