|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||
'Beragama'
tidak tentu sama dengan 'bertuhan'. Orang yang beragama, selain mempunyai Tuhan
(bertuhan; akidah) juga mempunyai ritual khusus dan istimewa untuk
menyempurnakan kebertuhanannya. Ritual-ritual khusus itu disebut sebagai aturan
tuhan yang pada perjalanannya dinamakan syari'at.
Seorang yang
mengaku 'beragama' Islam tapi tidak menjalankan shalat, atau melakukan shalat
dengan cara-caranya sendiri, misalnya, belum bisa disebut 'beragama' Islam.
Mungkin dia bertuhan karena memang mempunyai Tuhan. Tapi belum beragama karena
tidak mau menyempurnakan kebertuhanannya dengan ritual-ritual khusus seperti
yang diatur dalam syari'at.
Lalu apakah
kita sudah merasa cukup untuk bertuhan saja, tanpa beragama? Apakah kita cukup
memiliki keyakinan, tanpa harus menjalankan ritual-ritual yang menyertainya?
Kalau mau
jujur, beragama adalah konsekwensi dari bertuhan. Oleh karena itu, setelah
mempercayai adanya tuhan (bertuhan; berakidah), kita pun dituntut untuk
mempercayai dan menjalankan aturan-aturan tuhan (beragama; bersyari'at).
Jadi ada dua
bangun fundamental dalam beragama, yaitu bangun akidah dan bangun syari'at
Kalau bangun akidah dalam agama islam membidani lahirnya ilmu kalam (teologi)
atau ilmu tawhid, maka bangun syari'at melahirkan ilmu fiqh (jurisprudence).
Manakah yang lebih fundamental dari bangun akidah dan bangun syari'at? Dengan
kata lain, apa yang sebaiknya kita prioritaskan dari kedua bangun ini? Apakah
cukup hanya dengan penerapan syari'at saja bisa membangun sebuah komunitas
muslim?
Grand Syaikh,
Imam Mahmud Syaltut dalam bukunya Al-Islâm Aqîdah Wa as-Syarîah
menjawab pertanyaan ini. Menurutnya, akidah dalam islam merupakan dasar yang
menjadi rujukan syari'at. [Dengan sendirinya] syari'at adalah sebuah hasil (atsâr)
yang harus mengikuti akidah. Oleh karena itu, dalam islam tidak akan ada syari'at
tanpa adanya akidah. Syari'at hanya akan gemilang di bawah naungan
akidah karena syari'at tanpa akidah seperti ketinggian [atap] yang tidak
memiliki pondasi... Orang yang mempercayai akidah dan membuang syari'at atau
mengambil syari'at tapi mengesampingkan akidah tidak dianggap muslim di sisi
tuhan, juga tidak dianggap sedang berjalan dalam aturan islam yang adalah jalan
kesuksesan. Syari'at adalah jalan pemuasan manusia setelah hatinya terikat oleh
suatu keyakinan. Sepertinya sudah menjadi suatu aksiomatis apabila keyakinan
tertentu akan melahirkan berbagai ritual khusus untuk membuktikan keterikatan
kita dengan keyakinan tersebut.
Dari situ jelas
bahwa akidah merupakan pondasi dan dasar islam. Adapun syari'at adalah cabang.
Keduanya harus dilaksanakan karena orang yang mempercayai akidah dan membuang
syari'at atau mengambil syari'at tapi mengesampingkan akidah tidak dianggap
Muslim (beragama islam) di sisi Tuhan.
Kalau beragama
identik dengan ber-syari'at maka kita harus mengetahui definisi syari'at itu
sendiri. Sepertinya selama ini kita terlanjur latah memandang syari'at sebagai
'undang-undang' sehingga syari'at hanya kita lihat sebagai undang-undang hukum
pidana (qânûn jinâ'i), misalnya, atau undang-undang hukum sipil (qânûn
ahwâl asy-syakhsiyah), atau hukum-hukum ibadah.
Begitulah yang
terjadi. Ketika berhasil menerapkan undang-undang tersebut, kita merasa seakan
telah 'beragama' karena sudah menerapkan syari'at Tuhan. Padahal sebenarnya,
itu hanya 'sebagian' dari syari'at Tuhan. Syari'at bukan hanya sebatas
undang-undang, melainkan sebuah 'sistem' komprehensif menyangkut segala aspek
kehidupan.
Syari'at adalah
sekumpulan sistem yang dibuat dan diturunkan Tuhan untuk dipatuhi manusia pada
berbagai aspek kehidupan, yaitu dalam segi hubungan muslim dengan tuhannya
(shalat, puasa, dll), hubungan muslim dengan sesamanya (keharusan menjaga
persaudaraan, kasih sayang, hukum-hukum keluarga, warisan, dll), hubungan
muslim dengan non muslim dan manusia secara umum (solidaritas, menjaga
keamanan, stabilitas masyarkat, dll), hubungan muslim dengan masyarakat
(hukum-hukum muamalat, hukum-hukum sipil, pidana, perdagangan, dll), hubungan
manusia dengan semesta, dan hubungan muslim dengan kehidupan
Mungkin
definisi seperti di atas kurang populer dalam pemahaman kita tentang syari'at,
karena kita terlanjur biasa memandang syari'at hanya sebatas 'undang-undang'
tertentu saja—bukannya sebuah sistem komprehensif yang harus sama-sama
dipraktikkan. Akibatnya, kita berpandangan sempit terhadap syari'at dan
berkutat pada penerapan salah satu elemen saja, sedang elemen-elemen yang lain
diabaikan. Selama ini kita menganggap sudah beragama islam kalau tekun beribadah.
Selanjutnya,
saya memiliki satu catatan penting lain dalam keberagamaan kita. Saya kadang
prihatin dengan sikap beberapa rekan. Mereka sepertinya baru puber dalam
menerapkan dekonstruksi Derrida sehingga segala sesuatu didekonstruksi. Bahkan
terminologi-terminologi yang sudah 'paten' dalam agama pun tak lepas dari
ganyangan mereka. Suatu kali, seorang kawan bilang kalau dia tidak shalat
karena hari itu hatinya sudah tenang. Kawan yang lain lagi bilang kalau hari
ini dia shalat 'filsafat'. Entah apa yang dimaksud dengan shalat filsafat itu.
Akhir-akhir saya tahu kalau yang dimaksud dengan shalat 'filsafat' adalah
shalat dengan sebatas mengingat tuhan, karena katanya, "Esensi shalat
adalah mengingat dan berdoa kepada tuhan."
Sepertinya,
kawan-kawan itu terlalu bebas dalam berlogika. Ketika berinteraksi dengan
terminologi-terminologi keagamaan, mereka tidak menggunakan rumus agama, tetapi
menggunakan murni penalaran. Satu kasus, misalnya, mereka mengatakan kalau
shalat adalah berdoa. Memang benar. esensi shalat adalah mengingat dan berdoa
kepada tuhan. Tapi caranya telah ditentukan dan disyari'atkan. Lagi pula, dalam
filsafat hukum islam pun kita telah mengenal yang namanya hierarki definisi.
Mana definisi yang harus di dahulukan dan mana yang tidak. Disitu disebutkan
bahwa selama ada definisi secara syar'i maka definisi-definisi yang lain harus
ditanggalkan. Bahkan disitu disebutkan kalau definisi secara bahasa menduduki
peringkat ketiga, setelah definisi 'urfi (adat kebiasaan). Inilah aturannya
kalau kita ingin main-main dalam terminologi keagamaan.
Yang saya
inginkan adalah profesionalisme. Artinya, kalaupun 'pekerjaan' kita memang
'bermain-main' dalam hal agama maka kita pun harus tahu dan paham
aturan-aturannya sehingga tidak menghambat, tetapi mendukung kemajuan agama.
Lagi pula, siapa wasit yang tidak akan meniup peluitnya kalau Anda menerapkan
aturan main bola basket dalam dunia sepak bola? Atau, apakah aturan main sepak
bola juga harus didekonstruksi sehingga sesuai dengan bola basket? Wallahu
A'lam []
*Ini tulisan waktu masih sebagai mahasiswa tingkat akhir
Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, Kairo. Saat menghuni Bengkel At-Tanwir.
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...