|| Oleh:
Ali Ghufron Sudirman ||
Hadits merupakan salah satu unsur terpenting dalam Islam.
Ia menempati martabat kedua setelah Al-Quran dari sumber-sumber hukum Islam. Dalam
artian, jika suatu masalah atau kasus terjadi di masyarakat tidak ditemukan
dasar hukumnya dalam Al-Quran maka hakim ataupun mujtahid harus kembali kepada Hadits
Nabi.
Dalam praktik, banyak sekali ditemukan masalah yang tidak
dimuat dalam Al-Quran dan hanya didapatkan ketentuannya di dalam Hadits Nabi.
Umpamanya aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan haji yang merupakan
rukun Islam, tidak dijelaskan rinciannya dalam Al-Quran, akan tetapi dijabarkan
secara detail oleh Hadits Nabi saw. Demikian pula aturan muamalat dan
transaksi, pelaksanaan hukuman pidana, aturan moral, dan lainnya.
Melihat betapa urgennya Hadits dan perannya yang esensial
dalam Islam maka setiap akademisi muslim dituntut dan punya tanggung jawab yang
sama besarnya untuk menjaga serta membentengi Hadits dari fitnah atau klaim
yang meragukan kapasitas Hadits sebagai sumber hukum Islam. Sebab, ada sejumlah
upaya yang dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mencari-cari kelemahan Hadits,
walaupun dengan cara mengada-ada.
Di Indonesia, upaya ini misalnya dilakukan oleh kelompok
Jaringan Islam Liberal (JIL) dan para simpatisannya. Koordinator JIL, Ulil
Abshar Abdallah, di dalam milist Jaringan Islam Liberal pernah menulis sejumlah
pemikiran yang secara garis besar meragukan dan melemahkan posisi Hadits
sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dalam tulisannya di milis tersebut, Ulil
mengemukakan sejumlah asumsi tentang Hadits, di antaranya sebagai berikut[1]:
1.
Banyak kejanggalan dalam periwayatan hadis seperti pernah diulas secara
kontroversial oleh Mahmud Abu Rayyah dalam "Fi Al Sunnah Al
Muhammadiyyah". Misalnya, kenapa jarang ada riwayat tentang isi
khutbah Jumat Nabi, padahal Jumatan adalah peristiwa sosial yang disaksikan
oleh banyak orang, dan tentunya berlangsung secara reguler. Jarang ditemukan
suatu riwayat untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali.
2. Sebelum Imam Syafii menerbitkan risalahnya yang terkenal, Ar-Risalah,
untuk membela posisi Hadits, kedudukan Hadits Nabi belum sepenting seperti yang
kita saksikan setelah risalah itu muncul. Setelah terbitnya Ar-Risalah itu,
kedudukan Hadits menjadi semacam second scripture yang hampir mendekati Al-Quran.
3. Pada masa sahabat, terdapat keengganan untuk meriwayatkan hadis. Bahkan ada
riwayat yang mengatakan bahwa Umar pernah memenjarakan sejumlah sahabat karena
terlalu banyak meriwayatkan hadis. Mereka antara lain: Abdullah Ibn Mas'ud, Abu
al Darda', 'Uqbah bin 'Amir dan Abu Mas'ud Al-Anshari.
4.
Pada dua abad pertama Hijriyah, sebelum mulai dibukukan oleh Az-Zuhri dan
diteruskan oleh sarjana seperti Bukhari, Muslim, dll., Hadits sebetulnya tidak
mempunyai kedudukan sepenting seperti yang kita saksikan sekarang.
5.
Dalam persepsi sebagian besar umat Islam, Hadits dianggap sebagai wahyu
Allah, sehingga kedudukannya nyaris sama dengan Al-Quran. Pandangan yang
menempatkan Hadits dalam posisi yang begitu 'suci' semacam ini adalah
perkembangan terakhir yang tidak ada pada masa sahabat dan tabiin.
6.
Sikap skeptis pada hadis bukan hanya ada sekarang. Pada zaman klasik juga
sudah ada. Abu Hanifah, misalnya, tak menerima Hadits ahad sebagai dasar untuk
perumusan hukum. Sejumlah ulama lain berpendapat bahwa hadis ahad tidak boleh
dipakai dalam perdebatan soal akidah. Sementara kita tahu, Hadits yang
mutawatir hanyalah sedikit jumlahnya.
Itulah di antara pikiran-pikiran menyeleweng JIL terhadap
hadits Nabi[2].
Dapat dipastikan bahwa pemikiran ini bukan hanya pemikiran Ulil secara pribadi,
melainkan pemikiran yang umum—kalau tidak boleh dibilang resmi—dari Jaringan
Islam Liberal. Buktinya, pemikiran ini juga didukung oleh Chodjim, salah satu
anggota JIL. Bahkan, Pak Machasin yang dalam milis tersebut dikatakan sebagai
dosen pengajar di IAIN Jogjakarta juga mempunyai pendapat yang sama. Ia
mengatakan bahwa ilmu mustalah hadits seperti yang dikembangkan oleh para ulama
klasik belum bisa menjamin seratus persen kesahihan sebuah hadits dan masih
banyak kejanggalan dalam peiwayatan hadits sebagaimana pernah diulas secara
kontroversial oleh Mahmud Abu Rayah.
Membongkar Pemikiran Menyeleweng JIL seputar Hadits Nabi
Pemikiran-pemikiran menyeleweng seperti di atas sudah
selayaknya disikapi dengan cermat agar tidak sampai meracuni umat Islam.
Berikut ini, penulis—dengan keterbatasan
pengetahuan yang dimiliki—akan berusaha membongkar sejumlah penyelewengan
pemikiran JIL seputar hadits nabi, sebagai berikut.
1. Perihal Jarangnya Periwayatan Khutbah Jumat Nabi
Kalau ditelusuri, pemikiran menyeleweng ini merupakan
salah satu pemikiran para pengikut inkar sunah. Di Mesir, pada tanggal
10/4/1999, Majalah Ruz Al-Yusuf menurunkan artikel yang mengklaim bahwa ada
sekitar 500 khutbah Nabi yang sengaja dihilangkan oleh para perawi hadits
karena kontennya tidak sesuai dengan iklim politik zaman Abbasiyah. Inilah
alasan, menurut penulis artikel tersebut yang merupakan salah satu anggota inkar
sunah, mengapa jarang ditemukan redaksi khutbah Jumat Nabi di dalam hadits.
Sepertinya, JIL ketika mengusung pemikiran menyeleweng
ini hanya melanjutkan kesimpulan para ingkar sunah tanpa mau mengecek keabsahan
pendapat tersebut. Padahal, kalau mau melakukan cek ulang ke
perpustakaan-perpustakaan Islam, akan ditemukan beberapa buku yang bahkan
khusus memuat tentang khutbah-khutbah Jumat Nabi saw.
Data-data tentang teks khutbah Jumat nabi dapat diperoleh
dari kitab-kitab hadits, sirah, sejarah, dan beberapa buku tentang i’jaz
Al-Quran. Ini sumber pertama untuk menelusuri teks khutbah Jumat Nabi. Selain
itu, ada beberapa buku yang memang khusus mengumpulkan khutbah-khutbah Nabi, di
antaranya sebagai berikut.
a.
Buku Ithâfu Al-Anâm bi Khutabi Rasûli Al-Islâm karya Syekh
Muhammad Khalil Al-Khatib.
b.
Buku Khutabu Ar-Rasûl karya Dr. Umar Al-Qathithi At-Tunisi. Buku
dengan ketebalan lebih dari 260 halaman ini mengkaji khutbah-khutbah Nabi
secara ilmiah, dilengkapi dengan referensi, dikelompokkan ke dalam sejumlah bab
secara teratur, lalu dilakukan kajian fiqih dan balagah terhadapnya. Bahkan,
buku ini tidak hanya memuat teks-teks khutbah Jumat Nabi saja, tetapi juga
memuat khutbah-khutbah Nabi di sejumlah momen, seperti khutbah Nabi dalam
Shalat Idain, dalam Shalat Khusuf, dan Shalat Kusuf[3].
c.
Buku Khutabu Ar-Rasûl karya Majdi Muhammad Asy-Syahawi. Buku dengan
ketebalan 180 halaman ini juga memuat khutbah-khutbah Nabi dan dikelompokkan
berdasar bab untuk memudahkan.
Jadi, apa yang dikatakan oleh JIL bahwa periwayatan khutbah Jumat nabi sangat jarang atau bahkan tidak ada itu keliru, tidak benar, dan tidak ilmiah. Sebab, data-data menunjukkan bahwa khutbah Jumat Nabi dan khutbah-khutbah nabi secara umum terekam dengan baik dan dapat ditemukan.
2. Kedudukan Hadits Pra-Imam Syafii
Pemikiran menyeleweng JIL yang lain seputar hadits adalah
bahwa sebelum Imam Syafii menerbitkan risalahnya yang terkenal, Ar-Risalah,
untuk membela posisi Hadits, kedudukan Hadits Nabi belum sepenting seperti
setelah risalah itu muncul. Setelah terbitnya Ar-Risalah itu, kedudukan Hadits
menjadi semacam second scripture yang hampir mendekati Al-Quran.
Pemikiran
semacam ini jelas tidak benar. Sebab, sejak zaman Sahabat, hadits telah
menempati kedudukan yang istimewa sebagai sumber hukum dan petunjuk. Para ulama
juga telah sepakat bahwa hadits adalah sumber hukum Islam. Dalil-dalilnya
terlalu banyak dan semua orang sudah sering membaca dan mendengarnya[4].
Adapun tentang
pembelaan terhadap hadits yang dilakukan oleh Imam Syafii di dalam kitab Ar-Risâlah,
pada dasarnya adalah reaksi terhadap munculnya aliran baru yang menolak
sunnah; bukan aksi pribadi untuk mengangkat-angkat hadits. Sebab, menurut
sejarah, paham inkar sunah pertama muncul
di masa Imam Syafi'i. Istilah yang dipakai oleh Imam Syafi'i untuk golongan inkar
sunahadalah at-thâ'ifah allatî raddat al-akhbâr kullahâ (golongan yang
menolak seluruh hadits). Alhasil, beliau tampil dan merasa terpanggil untuk
membantah mereka pada salah satu bagian kitabnya ini.
Jadi, sama
sekali keliru bahwa sebelum Imam Syafii menulis kitab Ar-Risalah, hadits belum
memiliki kedudukan penting di dalam Islam, karena faktanya, hadits sudah
menempati kedudukannya sebagai sumber hukum kedua sejak zaman Rasulullah.
Sesungguhnya, pemikiran semacam ini hanyalah bentuk dari sikap mengekor
terhadap pendapat para orientalis tanpa mengkaji dan menelaahnya dengan cermat.
3. Para Sahabat Enggan Meriwayatkan Hadits
Memang benar
bahwa para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi,
hal ini bukan berarti para sahabat enggan meriwayatkan hadits atau menolak
hadits atau karena hadits bukan bagian dari agama. Para sahabat melakukan hal
itu hanya untuk meyakinkan kebenaran riwayatnya[5].
Akan tetapi,
tidak benar jika dikatakan bahwa para sahabat, khususnya Abu Bakar dan Umar
tidak senang meriwayatkan semua hadits Nabi. Yang benar, Abu Bakar dan Umar
tidak senang banyak meriwayatkan hadits-hadits tentang rukhsah agar umat tidak
memiliki ketergantungan terhadapnya, sebagaimana keduanya tidak senang banyak
meriwayatkan hadits-hadits tentang hal-hal yang mutasyabih yang sulit dipahami
oleh masyarakat. Adapun hadits-hadits azimah, hadits-hadits yang berkaitan
dengan af’al al-ibad, ibadah, muamalah, akhlak, dan sejenisnya, keduanya senang
meriwayatkan dan bahkan menanyakan kemungkinan adanya riwayat-riwayat tentang
hal itu[6].
Adapun tentang sebuah
riwayat yang mengatakan bahwa Umar pernah memenjarakan beberapa sahabat karena
terlalu banyak meriwayatkan hadits, riwayat ini sebenarnya tidak terdapat dalam
kitab yang muktabar dan tanda kepalsuannya sudah nampak. Ibnu Hazm telah
menegaskan bahwa riwayat Umar memenjarakan tiga sahabat besar itu adalah dusta[7].
Sebenarnya, bila
kita memang meyakini kelestarian ajaran Islam sebagai agama yang terakhir,
orisinalitas Al-Quran yang terjaga keaslian dan kemurniannya hingga akhir
zaman, memahami kedudukan hadits sebagai penjelasan, penjabaran dan penerapan
rinci dan konkrit dari Al-Quran maka kita akan mengerti makna dan maksud dari
setiap ucapan dan tindakan para sahabat ketika melarang menulis hadits atau
banyak meriwayatkan hadits. Sesungguhnya semua itu didorong didorong oleh
maksud berikut:
a.
menjaga kemurnian Al-Quran dari pencampuran dengan Hadits,
b.
mengkonsentrasikan kaum muslimin untuk membaca, menghafal dan mengajarkan Al-Quran
di tengah-tengah umat, dan
c.
menjaga Hadits itu sendiri dari kesalahan periwayatan yang berakibat fatal
karena berbohong atas nama Rasulullah saw.
Bahkan Khalifah Umar bin Khattab
sesungguhnya pernah merencanakan untuk menghimpun hadits Nabi secara tertulis.
Untuk itu Umar terlebih dahulu meminta pertimbangan para sahabat lainnya dan
mereka pun menyetujuinya. Tetapi setelah satu bulan Umar mohon petunjuk kepada
Allah dengan shalat istikharah, akhirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia
khawatir, himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian ummat dari Al-Quran.
Larangan menulis hadits yang sifatnya
"pembatasan sementara" (karena ada juga perintah lain untuk mencatat
dan menyebarkan Hadits) itu terjadi di awal-awal Islam. Setelah al-Quran banyak
dihafalkan dan mushaf al-Quran selesai ditadwin dan disebarkan di masyarakat,
barulah di masa tabi'in dan sesudahnya, para ulama sibuk mencari, meneliti,
menyeleksi dan mengkodifikasi hadits.
Tidak ada secuil pun makna dan maksud untuk
mengecilkan apalagi menafikan otoritas hadits sebagai sumber utama ajaran Islam
sesudah Al-Quran. Malah adanya sikap yang sangat "pelit" atau
"takut" dari sebagian sahabat untuk meriwayatkan hadits justru
merupakan wujud nyata dari pengagungan mereka terhadap Hadits. Seandainya
hadits adalah rekaman ucapan dan tindakan seorang Nabi yang hanya bernilai
sejarah, tidak bernilai hukum, niscaya tidak sehati-hati itu para Sahabat dalam
meriwayatkannya.
[1]
Disarikan dari http://sayno2jil.multiply.com/journal/item/8.
[2]. Di
dalam bukunya, Al-Ittijâhât Al-Mu’âshirah fî Dirâsâti As-Sunnah
An-Nabawiyyah Al-Mu’âshirah, DR. Muhammad Abdurrazzaq Aswad memetakan
orientasi studi hadits kontemporer menjadi empat. Kelompok yang keempat oleh
Dr. Muhammad disebut sebagai ‘orientasi menyeleweng’. Berdasar dari buku
tersebut, tidak berlebihan kiranya bila pemikiran-pemikiran JIL tentang hadits
dikategorikan sebagai pemikiran menyeleweng. Lihat, DR. Muhammad Abdurrazzaq
Aswad. Al-Ittijâhât Al-Mu’âshirah fî Dirâsâti As-Sunnah An-Nabawiyyah
Al-Mu’âshirah. (Damaskus: Dar Al-Kalim Ath-Thayyib, 2008) h. 559 dan
selanjutnya.
[3].
Lihat, Abdul Adzim Ibrahim, Asy-Syubuhâtu Ats-Tsâlâtsûna Al-Mutsârah li
Inkâri As-Sunnah. (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999) h. 85 dan selanjutnya
[4].
Untuk sekadar contoh, bisa dilihat misalnya Dr. Musthafa As-Siba’i, As-Sunnah
wa Makânatuha fi At-tasyrî’ Al-Islâmi. (Kairo: Dar As-Salam, 2008). Juga
Mustasyar Salim Ali Al-Bahnasawi, As-Sunnah Al-Muftarâ Alaihâ. (Manshurah:
Dar Al-Wafa’, 1992).
[5].
Lihat, Abdul Adzim Ibrahim, Auhâm wa
Akhthâ’ fi Adhami Masyru’ Ta’assufi li Hadmi As-Sunnah An-Nabawiyyah. (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1999) h. 15
[6].
Misalnya hadits tentang bagian warisan nenek. Lihat, Abdul Adzim Ibrahim, Asy-Syubuhâtu
Ats-Tsâlâtsûna Al-Mutsârah li Inkâri As-Sunnah. (Kairo: Maktabah Wahbah,
1999) h. 30
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...