|| Oleh: Ali Ghuron
Sudirman ||
Saudaraku, bila kita
pernah punya salah kepada saudara, sudah sepantasnya kita meminta maaf dan
meminta kehalalannya. Sebab dosa yang terjadi antarsesama hanya akan diampuni
oleh Allah bila orang yang kita zalimi itu memaafkan kita.
Lebih dari itu, Allah akan
mencurahkan rahmat-Nya kepada seseorang yang jantan mau mengaku salah dan
meminta maaf akan kesalahannya itu. Rasulullah saw. bersabda:
رَحِمَ
اللَّهُ عَبْدًا كَانَتْ لِأَخِيهِ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ فِي عِرْضٍ أَوْ مَالٍ فَجَاءَهُ
فَاسْتَحَلَّهُ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ
Artinya:
Allah merahmati seorang
hamba yang pernah berbuat zalim terhadap harta dan kehormatan saudaranya, lalu
ia mau datang kepada saudara yang dizaliminya itu untuk minta kehalalannya
sebelum ajal menjemput … (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Setiap orang hampir bisa
dipastikan punya salah dan khilaf. Setiap orang hampir pasti pernah berbuat
dosa dan maksiat. Rasul sendiri menyatakan demikian. Bahwa semua bani Adam
adalah khattha’un, adalah banyak berbuat dosa dan maksiat. Dan
sebaik-baik khattha’un adalah at-tawwabun, yaitu orang yang
banyak bertobat. Ini hadits diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Anas bin
Malik r.a. Allah sendiri di dalam Al-Quran juga berfirman, “Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang banyak bertobat.”
Maka, bukan suatu aib dan
cela bila kita mengaku salah dan meminta maaf. Bukan merendahkan diri bila kita
mengaku khilaf pada sesama. Bahkan semua itu akan mendatangkan curahan rahmat Allah
pada diri ini. Bahkan semua itu akan melahirkan cinta-Nya kepada kita.
Apalah artinya
mempertahankan ego hingga tak mau datang meminta maaf. Apalah artinya mengurung
diri dalam malu hingga sungkan mengaku khilaf. Untuk apa menunda-nunda dan
melambat-lambatkan langkah guna meminta maaf? Bukankah cinta dan rahmat Allah
jauh lebih mulia ketimbang ego, harga diri, dan rasa malu ini? Maka marilah
kita datang. Mengaku salah. Mengetuk pintu rumah saudara kita. Hingga terketuk
pula hatinya untuk memaafkan kita.
Saudaraku, jangan sampai
dosa itu kita bawa mati. Sebab biayanya akan didebitkan dari tabungan amal
kita. Bahkan andai saldo amal baik kita sudah habis tanpa sisa, maka sebagai
ganti kezaliman kita di dunia yang belum kita minta kehalalannya, dosa orang
yang kita zalimi akan dialihkan menjadi tanggungan kita.
Sungguh celakalah kita
bila sampai bernasib seperti itu. Sebab ratapan sudah tak berguna. Penyesalan
sudah tanpa daya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ
كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ
الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ
صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ
مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
Artinya:
Barang siapa memiliki
tanggungan kezaliman terhadap saudaranya, entah dalam hal kehormatan atau pun
hartanya, maka hendaklah meminta kehalalannya hari ini. Sebelum datang hari
(kiamat) di mana tidak berguna lagi dirham dan dinar. Pada hari kiamat nanti,
bila seseorang yang menzalimi belum meminta kehalalan dari saudaranya, maka
bila ia memiliki amal kebaikan, sebagian amal kebaikannya itu diambil sekadar
kezaliman yang ia lakukan untuk diserahkan kepada orang yang pernah ia zalimi.
Bila ia sudah tidak memiliki sisa amal kebaikan, maka dosa yang dimiliki orang
yang pernah ia zalimi di dunia akan dilimpahkan kepadanya senilai kezaliman
yang pernah ia lakukan. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)
Na’udzu billah min dzalik.
Kiranya, masih maukah kita bersikukuh enggan meminta maaf hanya karena gengsi,
menjaga harga diri, atau malu ini?
Saudaraku, janganlah
sampai amal baik yang kita kais setiap hari ini hanya akan kita serahkan begitu
saja kepada orang lain saat di akhirat nanti.
Marilah kita meminta
kehalalan dari orang yang pernah kita sakiti dan zalimi. Marilah kita berhalal
bihalal. Dan marilah kita jaga makna halal bihalal ini dalam setiap acara halal
bihalal kita ….
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...