Friday 25 October 2013

Mutiara Hadits Nabi: Kerja Halalan Thayyiban



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (8/25) meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلاَقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ ، وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ ؛ وَلاَ يُعْطِي الدِّينَ إِلاَّ لِمَنْ أَحَبَّ . فَمَنْ أَعْطَاهُ اللهُ الدِّيْنَ فَقَدْ أَحَبَّهُ . وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يُسْلِمُ عَبْدٌ حَتَّى يَسْلَمَ قَلْبُهُ وَلِسَانُهُ . وَلاَ يُؤْمِنُ حَتَّى يَأْمَنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ . قَالُوْا : وَمَا بَوَائِقُهُ يَا نَبِيَّ اللهِ ؟ قَالَ : غَشْمُهُ وَظُلْمُهُ . وَلاَ يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالاً مِنْ حَرَامٍ فَيُنْفِقَ مِنْهُ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيْهِ ، وَلاَ يَتَصَدَّقُ بِهِ فَيُقْبَلَ مِنْهُ ، وَلاَ يَتْرُكُ خَلْفَ ظَهْرِهِ إِلاَّ كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ . إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَمْحُو السَّيِّئَ بِالسَّيِّئِ ، وَلَكِنْ يَمْحُو السَّيِّئَ بِالْحَسَنِ . إِنَّ الْخَبِيثَ لاَ يَمْحُو الْخَبِيث (رواه أحمد)

Artinya:

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah membagi-bagi akhlak kalian seperti halnya ketika membagi-bagi jatah rezeki kepada kalian. Allah Azza Wa Jalla memberikan dunia kepada orang yang Ia cintai maupun yang tidak Ia cintai. Tapi Allah hanya memberikan agama dan keimanan kepada orang yang ia cintai saja. Maka barang siapa dianugerahi agama dan keimanan oleh Allah berarti Allah mencintainya. Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggamannya, sungguh belum dianggap berislam seseorang hingga hati dan lisannya bersih (dari pikiran dan kata-kata kotor). Dan sungguh belum beriman seseorang hingga tetangganya selamat dari bawa’iq-nya.” Para sahabat bertanya, “Apa bawaiq-nya, wahai Nabiyullah?” Jawab Rasul, “Kelicikan dan kezalimannya. Sungguh, seseorang yang memperoleh harta secara haram tidak akan diberkahi ketika ia menafkahkannya, juga tidak akan diterima ketika ia menyedekahkannya. Dan apabila ia membiarkan begitu saja maka harta seperti itu hanya akan menjadi bekalnya di neraka. Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla tidak akan menghapus keburukan dengan keburukan, tetapi Allah menghapus keburukan dengan kebaikan. Sesuatu yang kotor tidak dapat membersihkan sesuatu yang kotor. (HR. Ahmad)


Makna yang dapat kita ambil dari hadits di atas:

1. Allah telah membagi-bagi akhlak setiap orang sebagaimana Allah telah membagi-bagi jatah rezeki setiap hamba-Nya. Untuk itu, dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan beragam karakter dan akhlak yang dimiliki manusia. Kita juga mendapati ada si kaya dan ada pula si miskin. Semua itu merupakan bentuk keragaman yang dikehendaki oleh Allah. Dan semua itu merupakan ujian yang diberikan kepada kita. Tapi dalam hal ini, karena Allah mensyaratkan ikhtiyar kepada seseorang untuk dapat memperoleh bagian jatahnya maka kita harus selalu bekerja dan berusaha. Tentu usaha dan pekerjaan yang halal. Kita tidak bisa berdalih dengan mengatakan, “Biarkan saja akhlakku seperti ini, karena ini sudah jatahnya dari Allah.” Pun tidak benar kita bersantai-santai sambil mengatakan, “Toh rezeki sudah diatur oleh Allah.” Sekali lagi kita dituntut untuk berusaha, karena kita baru tahu apakah ia jatah kita atau tidak setelah ada usaha dan ikhtiyar.

2. Allah memberikan dunia kepada siapa saja karena setiap orang memang punya jatah rezekinya masing-masing. Untuk itu, selagi kita hidup maka jatah rezeki kita pasti masih ada sehingga tak perlu berputus asa dalam mencarinya. Tak mungkin Allah menzalimi hamba-Nya dengan tetap memberinya kehidupan tapi tidak memberinya rezeki. Kalau jatah rezeki kita sudah habis, bisa dipastikan jatah umur kita pun sudah habis dan saatnya kita dipanggil untuk membuat laporan pertanggungjawaban. Oleh karena itu, apa pun profesi kita, di mana pun kita berada, mari kita optimis dan bekerja dengan baik lagi halal.

3. Tidak sebagaimana dunia, Allah hanya memberikan agama, hidayah, dan keimanan kepada orang-orang pilihan. Jadi, beruntunglah kita bila mendapat hidayah agama dan keimanan ini karena berarti Allah mencintai kita. Oleh karena itu sangat naïf bila kita sampai rela menjual agama atau melalaikannya demi urusan dunia. Sebab dengan begitu berarti kita mengkhianati cinta Allah dan memosisikan diri ini sebagai ‘makhluk biasa’ setelah sebelumnya menjadi ‘makhluk istimewa’ karena mendapatkan cinta-Nya.

4. seorang muslim adalah orang yang selalu menunjukkan kebersihan hati dan ucapan lisan. Tak layak seorang muslim berburuk sangka terhadap hal apa pun. Tak sepantasnya pula seorang muslim mengucapkan kata-kata kotor.

5. seseorang baru dianggap beriman bila tetangga-tetangganya selamat dari kelicikan dan kezalimannya. Sebab licik dan zalim bukan sifat orang beriman.

6. harta yang diperoleh dari hasil dan dengan cara yang haram tidak akan berkah bila dinafkahkan. Juga tidak akan mendatangkan pahala bila disedekahkan. Orang yang mengumpulkan harta dengan cara haram pada dasarnya sedang mengumpulkan bahan bakar untuk membakar dirinya sendiri di neraka.

7. keburukan hanya bisa dihapus dengan kebaikan. Untuk itu, dosa korupsi, misalnya, tidak akan terhapus dengan cara menyedekahkan sebagian dari hasil korupsi tersebut. Dosa mencuri, misalnya, tidak akan terhapus dengan cara memakai uang hasil curian itu untuk berhaji dan sejenisnya.

Saudaraku, mari kita pertebal kembali ingatan kita. Bahwa bukan pangkat jabatan yang memuliakan kita. Bahwa bukan harta dan kekayaan yang membuat kita istimewa. Sungguh, di sisi Allah, mulia dan keistimewaan seseorang hanya dilihat dari takwanya. Sekaya atau semiskin apa pun ia. Sementereng atau sebiasa apa pun jabatannya di dunia. Jadi, mari bekerja dengan baik dan halal. Di mana pun kita. Apa pun profesi kita.

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...