||
Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||
Imam
Ahmad di dalam Musnad-nya (8/25) meriwayatkan hadits dari Abdullah bin
Mas’ud r.a. berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ
اللهَ قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلاَقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ ، وَإِنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ ؛ وَلاَ يُعْطِي
الدِّينَ إِلاَّ لِمَنْ أَحَبَّ . فَمَنْ أَعْطَاهُ اللهُ الدِّيْنَ فَقَدْ أَحَبَّهُ
. وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يُسْلِمُ عَبْدٌ حَتَّى يَسْلَمَ قَلْبُهُ وَلِسَانُهُ
. وَلاَ يُؤْمِنُ حَتَّى يَأْمَنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ . قَالُوْا : وَمَا بَوَائِقُهُ
يَا نَبِيَّ اللهِ ؟ قَالَ : غَشْمُهُ وَظُلْمُهُ . وَلاَ يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالاً مِنْ
حَرَامٍ فَيُنْفِقَ مِنْهُ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيْهِ ، وَلاَ يَتَصَدَّقُ بِهِ فَيُقْبَلَ
مِنْهُ ، وَلاَ يَتْرُكُ خَلْفَ ظَهْرِهِ إِلاَّ كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ . إِنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَمْحُو السَّيِّئَ بِالسَّيِّئِ ، وَلَكِنْ يَمْحُو السَّيِّئَ
بِالْحَسَنِ . إِنَّ الْخَبِيثَ لاَ يَمْحُو الْخَبِيث (رواه أحمد)
Artinya:
Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah membagi-bagi akhlak kalian seperti
halnya ketika membagi-bagi jatah rezeki kepada kalian. Allah Azza Wa Jalla
memberikan dunia kepada orang yang Ia cintai maupun yang tidak Ia cintai. Tapi Allah
hanya memberikan agama dan keimanan kepada orang yang ia cintai saja. Maka barang
siapa dianugerahi agama dan keimanan oleh Allah berarti Allah mencintainya. Demi
Dzat yang jiwaku ada dalam genggamannya, sungguh belum dianggap berislam
seseorang hingga hati dan lisannya bersih (dari pikiran dan kata-kata kotor). Dan
sungguh belum beriman seseorang hingga tetangganya selamat dari bawa’iq-nya.”
Para sahabat bertanya, “Apa bawaiq-nya, wahai Nabiyullah?” Jawab Rasul, “Kelicikan
dan kezalimannya. Sungguh, seseorang yang memperoleh harta secara haram tidak
akan diberkahi ketika ia menafkahkannya, juga tidak akan diterima ketika ia
menyedekahkannya. Dan apabila ia membiarkan begitu saja maka harta seperti itu
hanya akan menjadi bekalnya di neraka. Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla tidak
akan menghapus keburukan dengan keburukan, tetapi Allah menghapus keburukan
dengan kebaikan. Sesuatu yang kotor tidak dapat membersihkan sesuatu yang
kotor. (HR. Ahmad)
Makna
yang dapat kita ambil dari hadits di atas:
1.
Allah telah membagi-bagi akhlak setiap orang sebagaimana Allah telah
membagi-bagi jatah rezeki setiap hamba-Nya. Untuk itu, dalam kehidupan
sehari-hari kita menemukan beragam karakter dan akhlak yang dimiliki manusia. Kita
juga mendapati ada si kaya dan ada pula si miskin. Semua itu merupakan bentuk
keragaman yang dikehendaki oleh Allah. Dan semua itu merupakan ujian yang
diberikan kepada kita. Tapi dalam hal ini, karena Allah mensyaratkan ikhtiyar kepada
seseorang untuk dapat memperoleh bagian jatahnya maka kita harus selalu bekerja
dan berusaha. Tentu usaha dan pekerjaan yang halal. Kita tidak bisa berdalih
dengan mengatakan, “Biarkan saja akhlakku seperti ini, karena ini sudah
jatahnya dari Allah.” Pun tidak benar kita bersantai-santai sambil mengatakan, “Toh
rezeki sudah diatur oleh Allah.” Sekali lagi kita dituntut untuk berusaha,
karena kita baru tahu apakah ia jatah kita atau tidak setelah ada usaha dan ikhtiyar.
2.
Allah memberikan dunia kepada siapa saja karena setiap orang memang punya jatah
rezekinya masing-masing. Untuk itu, selagi kita hidup maka jatah rezeki kita pasti
masih ada sehingga tak perlu berputus asa dalam mencarinya. Tak mungkin Allah
menzalimi hamba-Nya dengan tetap memberinya kehidupan tapi tidak memberinya
rezeki. Kalau jatah rezeki kita sudah habis, bisa dipastikan jatah umur kita
pun sudah habis dan saatnya kita dipanggil untuk membuat laporan
pertanggungjawaban. Oleh karena itu, apa pun profesi kita, di mana pun kita
berada, mari kita optimis dan bekerja dengan baik lagi halal.
3.
Tidak sebagaimana dunia, Allah hanya memberikan agama, hidayah, dan keimanan
kepada orang-orang pilihan. Jadi, beruntunglah kita bila mendapat hidayah agama
dan keimanan ini karena berarti Allah mencintai kita. Oleh karena itu sangat naïf
bila kita sampai rela menjual agama atau melalaikannya demi urusan dunia. Sebab
dengan begitu berarti kita mengkhianati cinta Allah dan memosisikan diri ini
sebagai ‘makhluk biasa’ setelah sebelumnya menjadi ‘makhluk istimewa’ karena
mendapatkan cinta-Nya.
4.
seorang muslim adalah orang yang selalu menunjukkan kebersihan hati dan ucapan
lisan. Tak layak seorang muslim berburuk sangka terhadap hal apa pun. Tak sepantasnya
pula seorang muslim mengucapkan kata-kata kotor.
5.
seseorang baru dianggap beriman bila tetangga-tetangganya selamat dari
kelicikan dan kezalimannya. Sebab licik dan zalim bukan sifat orang beriman.
6.
harta yang diperoleh dari hasil dan dengan cara yang haram tidak akan berkah
bila dinafkahkan. Juga tidak akan mendatangkan pahala bila disedekahkan. Orang yang
mengumpulkan harta dengan cara haram pada dasarnya sedang mengumpulkan bahan
bakar untuk membakar dirinya sendiri di neraka.
7.
keburukan hanya bisa dihapus dengan kebaikan. Untuk itu, dosa korupsi,
misalnya, tidak akan terhapus dengan cara menyedekahkan sebagian dari hasil
korupsi tersebut. Dosa mencuri, misalnya, tidak akan terhapus dengan cara
memakai uang hasil curian itu untuk berhaji dan sejenisnya.
Saudaraku,
mari kita pertebal kembali ingatan kita. Bahwa bukan pangkat jabatan yang
memuliakan kita. Bahwa bukan harta dan kekayaan yang membuat kita istimewa. Sungguh,
di sisi Allah, mulia dan keistimewaan seseorang hanya dilihat dari takwanya. Sekaya
atau semiskin apa pun ia. Sementereng atau
sebiasa apa pun jabatannya di dunia. Jadi, mari bekerja dengan baik dan halal. Di
mana pun kita. Apa pun profesi kita.
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...