Monday 14 October 2013

Seputar Berkurban (part 9)

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Hal yang Perlu Diperhatikan oleh Orang yang Berkurban
         
Berkurban merupakan salah satu bentuk mendekatkan diri kepada Allah yang memiliki sejumlah aturan dan tata cara. Oleh karena itu, bagi orang yang berkurban sebaiknya memperhatikan hal-hal yang menyangkut aturan dan tata cara tersebut, di antaranya sebagai berikut.

1. Menyembelih hewan kurbannya sendiri

Syekh Sayid Sabiq di dalam bukunya Fiqhu As-Sunnah mengatakan bahwa orang yang akan berkurban disunahkan untuk menyembelih hewan kurbannya sendiri apabila ia mampu. Dan ketika binatang kurban itu sudah direbahkan untuk disembelih, apabila kurbannya diniatkan untuk dirinya sendiri hendaklah ia membaca:

        بِسْمِ اللهِ اَللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّيْ

Dengan menyebut asma Allah, Allah Mahabesar, ya Allah, ini (kurban) dariku.

Adapun bila kurban diniatkan untuk diri sendiri beserta keluarga, maka hendaklah ia membaca:

بِسْمِ اللهِ اَللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّيْ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِيْ

Dengan menyebut asma Allah, Allah Mahabesar, ya Allah, ini (kurban) dariku dan keluargaku.

Redaksi yang lain, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmû' Fatâwâ berbunyi:

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ كَمَا تَقَبَّلْتَ مِنْ إبْرَاهِيْمَ خَلِيْلِكَ

Dengan menyebut asma Allah dan Allah Mahabesar. Ya Alah, terimalah (kurban) dariku ini, sebagaimana engkau menerima kurban dari Nabi Ibrahim kekasih-Mu.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Tirmidzi dan Abu Daud dari Jabir bin Abdullah r.a. yang berkata, "Aku mengikuti shalat Iduladha di mushalla bersama Rasulullah. Setelah menyelesaikan khutbahnya, beliau lantas turun dari mimbar. Lalu didatangkan seekor kambing, dan Rasulullah menyembelihnya sendiri seraya berkata:

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي.
Dengan menyebut asma Allah, dan Allah Mahabesar. Ini (kurban) dariku dan dari umatku yang belum berkurban.

Redaksi yang lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud berbunyi:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
Ya Allah, terimalah (kurban) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad.

Adapun apabila seseorang merasa tidak mampu untuk menyembelih sendiri, maka boleh diwakilkan atau meminta kepada orang lain untuk menyembelih. Tapi meskipun begitu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim di dalam kitabnya Al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain dari Imran bin Husein, hendaklah ia hadir dan menyaksikan penyembelihannya, seraya membaca:
إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ .
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah termasuk orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).

2. Membagi Daging Kurban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dari sisi sosial, berkurban dimaksudkan untuk memberi kelapangan kepada fakir miskin, memberi makanan kepada mereka, dan menebar kebahagiaan di saat hari raya. Allah swt. berfirman:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Al-Hajj: 28)

Tentu saja tujuan mulia tersebut tidak akan dapat terwujud bila daging kurban hanya dikonsumsi oleh orang yang berkurban saja. Untuk itu, orang yang berkurban hendaklah membagi-bagikan daging hewan kurbannya kepada sanak keluarga, tetangga, dan para fakir miskin.

Hasanain Muhammad Makhluf di dalam Fatâwâ Al-Azhar mengatakan bahwa menurut empat mazhab, orang yang berkurban boleh memakan daging hewan kurbannya, memberikannya kepada orang kaya dan miskin, serta menyimpannya.

Adapun persentase dari pembagiannya tidaklah harus tepat sepertiga; di mana sepertiga untuk konsumsi pribadi, sepertiga untuk kerabat, dan sepertiga lagi untuk para tetangga dan fakir miskin. Sebab, yang penting adalah membaginya. Boleh-boleh saja jika perbandingannya adalah 40:30:30, atau 50:25:25. Khususnya jika orang-orang fakir jumlahnya lebih banyak. Dalam hal pembagian ini, yang terpenting adalah masing-masing orang fakir mendapat bagian, dan kerabat juga mendapat bagian, karena tujuan utama berkurban adalah membagi-bagi kegembiraan dan memenuhi perintah Allah swt. dalam firman-Nya, “Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28)

Jadi, yang penting adalah daging dari hewan kurban tersebut tidak dimakan semuanya sendiri, karena kalau daging hewan kurban untuk konsumsi pribadi, maka aspek sosial dari ibadah kurban menjadi tidak berlaksana, dan tentu saja menyalahi aturan syariat.

3. Tidak menjual apa pun dari hewan kurbannya

Hal lain yang hendaklah diperhatikan oleh orang yang berkurban adalah tidak menjual apa pun dari hewan kurbannya; baik itu dagingnya, bulunya, maupun kulitnya. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudhri bahwa Rasulullah saw. bersabda:

... وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا
... dan janganlah kalian menjual daging al-hadyu dan daging kurban. Makanlah, sedekahkanlah, dan bersenang-senanglah dengan kulitnya, tapi jangan engkau menjualnya.

Di dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Abdurrahman bin Abi Laila bahwa Rasulullah pernah memerintahkan sahabat Ali r.a. mengurusi unta-unta hadyu beliau dan membagikan daging-dagingnya, kulit-kulitnya, serta jilal-jilalnya (kain penutup punggung unta) untuk kaum miskin. Mengomentari hadits ini, Imam Asy-Syirazi di dalam Al-Muhaddzab mengatakan bahwa menjual sesuatu dari hadyu dan kurban, baik kurban yang wajib (nadzar) maupun kurban yang sunah itu hukumnya tidak boleh.

Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Barang siapa menjual kulit kurbannya, maka tidak ada pahala kurban baginya.

Menurut Imam Suyuthi di dalam Al-Jami' Ash-Shaghir mengatakan bahwa kualitas hadits ini sahih. Dari hadits ini para ulama, seperti Syekh Zakariya Al-Anshari di dalam Fathul Wahhab dan Syekh Asy-Syarbini Al-Khathib di dalam Al-Iqnâ' menyimpulkan haramnya pekurban untuk menjual kulit kurbannya.

4. Tidak memberi upah kepada jagal dari hasil sembelihan

Apabila orang yang berkurban tidak menyembelih hewan kurbannya sendiri lalu menyerahkan kepada jagal untuk menyembelihnya, maka ia tidak diperbolehkan memberi upah kepada jagal tersebut dari hasil sembelihan kurbannya. Misalnya, jagal dijatah mendapat bagian kulit dan kepala dari hewan kurban, atau sejenisnya. Hal ini tidak boleh dan bertentangan dengan sunah.

Di dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Abdurrahman bin Abi Laila berkata bahwa Ali r.a. pernah memberitahukan kepadanya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا . (رواه البخاري)

Bahwa Rasulullah pernah memerintahkannya (Ali r.a.) mengurusi unta-unta hadyu beliau dan membagikan semua daging-dagingnya, kulit-kulitnya, serta jilal-jilalnya (kain penutup punggung unta), dan tidak memberikan sesuatu pun darinya kepada tukang jagalnya. (HR. Bukhari)  

Jadi, berdasarkan hadits ini, orang yang berkurban tidak diperkenankan mengupah jagal dari hasil sembelihannya.
Ibnu Khuzaimah, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan larangan ini adalah, orang yang berkurban tidak diperkenankan mengupah jagal dengan mengambilkannya dari daging hewan kurban. Tapi hal ini tidak berarti jagal tidak diperbolehkan menikmati hewan kurban sembelihannya. Sebab, orang yang berkurban boleh saja menyedekahkan sebagian daging kurbannya kepada jagal, dengan syarat bukan atas dasar sebagai upah atau gaji.

Jadi, mengupah jagal dengan daging kurban yang dia sembelih itu tidak boleh, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari akad mu'awadah. Adapun jika pekurban memberikan daging kurbannya kepada jagal tidak atas dasar upah, tetapi atas dasar sedekah, hadiah, atau bonus maka secara kiyas hukumnya tidak apa-apa. Dengan catatan, jangan sampai pemberian daging ini membuat jagal urung, tidak enak, atau merasa sudah cukup sehingga tidak lagi meminta upah karena sudah mendapatkan daging. Sebab, kalau hal ini yang terjadi, maka fakta hukumnya menunjukkan bahwa itu merupakan akad mu'awadah yang justru menjadi alasan mengapa mengupah jagal dengan daging kurban tidak diperbolehkan.

Lalu bagaimana solusinya? Apabila orang yang berkurban tidak menyembelih hewan kurbannya sendiri dan menyerahkan kepada jagal, maka hendaklah dia menyediakan upah khusus untuk jagal dari kantongnya sendiri, dan tidak mengambilkannya dari hewan kurbannya. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Imam Muslim dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang berkata:
أَمَرَنِىْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا. (رواه مسلم)
Rasulullah saw. memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta hadyu beliau, dan supaya aku menyedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kain atau kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin), dan supaya aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan itu kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri." (HR. Muslim)



*Disarikan dari buku Tuntunan Berkurban dan Menyembelih Hewan karya Ali Ghufron, Amzah, Jakarta, cet. 2, 2013

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...