Friday 11 October 2013

Seputar Berkurban (part 2)

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Hikmah Berkurban
Salah satu bentuk dari kebijaksanaan Allah adalah, Dia menciptakan amal ibadah itu menjadi beragam corak dan macam untuk melihat sejauhmana penerimaan dan keridhaan kita terhadap amalan-amalan ibadah tersebut. Sebab, mungkin sekali ada seseorang yang merasa cocok dengan suatu amalan ibadah lalu dia tekun melakukannya, dan tidak merasa cocok dengan amalan ibadah yang lain lalu mengabaikannya. Oleh Allah, ibadah ada yang berkaitan dengan kerja anggota badan, seperti shalat, ada yang berkaitan dengan pengeluaran harta, seperti zakat, ada yang berkaitan dengan kedua-duanya, seperti jihad dan haji, juga ada yang berkaitan dengan pengekangan hawa nafsu, seperti puasa. Apabila kita melaksanakan semua amalan ibadah ini dengan baik, sempurna, dan sepenuh hati maka hal itu merupakan bukti atas kesempurnaan penghambaan dan kecintaan kita kepada Allah.

Berkaitan dengan hikmah berkurban, para ulama mengatakan bahwa ibadah kurban mengandung hikmah dari dua aspek, yaitu aspek sejarah, dan aspek sosial.

Hikmah Berkurban dari Aspek Sejarah

Dari aspek sejarah, berkurban adalah mengenang dan mengabadikan peristiwa Nabi Ibrahim a.s. ketika bermaksud menyembelih putranya, yang kemudian diganti oleh Allah dengan seekor domba. Untuk itu, ketika Rasulullah ditanya perihal berkurban, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, Rasul saw. menjawab bahwa berkurban itu merupakan sunah dari moyang kita, Nabi Ibrahim.
Peristiwa ini memang patut diabadikan dan dikenang, karena ia mengajarkan kepada umat manusia tentang bagaimana puncak dari hakikat ketaatan kepada Allah. Bahwa demi menjalankan perintah Allah, apa pun harus dilaksanakan. Apa pun harus dikorbankan. Nabi Ibrahim, dengan penuh kerelaan hati, beliau bermaksud menyembelih anaknya sendiri, anak yang sangat beliau nanti dan kasihi, demi melaksanakan perintah Allah. Tidak sedetik pun tebersit dalam benak Nabi Ibrahim rasa berat hati dan keengganan terhadap perintah tersebut. Bahkan beliau dengan sangat besar hati memberitakan kabar itu kepada putranya seraya berkata, sebagaimana terekam di dalam Al-Quran:

... يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)

"Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu," sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (Ash-Shâffât: 102—107)

Peristiwa ini merupakan simbol dari puncak pengorbanan seseorang kepada Allah. Ini juga bukti ketulusan, kepatuhan, dan pengabdian seorang hamba kepada Sang Pencipta. Allah sendiri menyebutnya sebagai 'benar-benar suatu ujian yang nyata.' Bagaimana tidak. Sudah sangat lama Nabi Ibrahim mendamba seorang putra. Tapi ketika anugerah itu datang, di saat sang anak sedang beranjak tumbuh dewasa, datang perintah untuk menyembelihnya. Sungguh benar-benar suatu ujian yang nyata, yang siapa pun apabila lulus dari ujian tersebut, dia berhak mendapat nilai yang paling tinggi dan memuaskan. Bahkan, setan yang notabene penggoda manusia paling ulung juga akan menyerah kalah terhadap orang yang lulus dari ujian ini.

Al-Baihaqi di dalam kitabnya, Syi'bu Al-Îmân menyebutkan sebuah riwayat dari Al-Qasim bin Muhammad bahwa ketika setan mengetahui kalau Nabi Ibrahim hendak menyembelih putranya, maka setan berkata, "Kalau aku tidak dapat memengaruhi mereka dalam kondisi seperti ini maka aku tidak akan pernah dapat memengaruhi mereka." Nabi Ibrahim bergegas keluar bersama putranya untuk disembelih. Sepeninggal keduanya, setan datang menemui istri Nabi Ibrahim seraya bertanya, "Apakah engkau tahu kemana Ibrahim membawa anakmu pergi?"  "Pergi untuk suatu kebutuhan," jawab istri Nabi Ibrahim. Tapi setan segera membantah. "Bukan. Dia bukan pergi untuk suatu kebutuhan. Dia pergi untuk membunuhnya." "Kenapa dia membunuhnya?" tanya istri Nabi Ibrahim. "Ibrahim mengaku kalau itu perintah dari tuhannya," terang setan. "Kalau begitu dia benar, karena telah menaati perintah tuhannya," jawab istri Nabi Ibrahim mantap.

Mendapat jawaban yang tidak memuaskan tersebut, setan bergegas mengejar sang anak dan bertanya kepadanya, "Apakah engkau tahu kemana Ibrahim membawamu pergi?" "Pergi untuk suatu kebutuhan," jawab sang anak. "Bukan. Dia bukan pergi untuk suatu kebutuhan. Dia pergi untuk membunuhmu." "Kenapa dia membunuhku?" tanya sang anak. "Ibrahim mengaku kalau itu perintah dari tuhannya," terang setan. "Demi Allah, kalau itu perintah dari tuhannya, dia pasti akan melaksanakannya."

Setan pun berputus asa karena tidak bisa menancapkan pengaruhnya. Tapi dia belum menyerah. Kali ini, dia menyapa Nabi Ibrahim seraya bertanya, "Kemana engkau membawa pergi anakmu?" "Untuk suatu kebutuhan," jawab Nabi Ibrahim. "Bukan," telisik setan. "Kamu bukan pergi untuk suatu kebutuhan, tapi untuk membunuhnya." "Kenapa aku membunuhnya?" tanya Nabi Ibrahim. "Kamu mengaku kalau itu perintah dari tuhanmu," terang setan. "Demi Allah, kalau Dia memerintahkan seperti itu maka aku pasti akan melaksanakannya." Sampai di sini setan benar-benar putus asa, karena tidak mampu menancapkan pengaruhnya, baik lewat jalur anak, istri, maupun suami. Maka dia pun bergegas pergi meninggalkan mereka.

Kiranya, apakah kata-kata yang pas untuk menggambarkan keluarga Nabi Ibrahim tersebut? Sungguh, itu merupakan puncak dari ketulusan, kepatuhan, dan pengabdian seorang hamba kepada Tuhan. Di sinilah, berkurban disyariatkan di dalam agama kita agar kita juga dapat mengenang, lalu mencontoh bentuk dari ketulusan, kepatuhan, dan pengabdian seperti itu, sehingga apabila kita dapat melewati ujian seperti yang pernah dilewati oleh Nabi Ibrahim, maka setan pun akan berputus asa dan pergi meninggalkan kita. Inilah hikmah berkurban dari aspek sejarahnya. Ketika berkurban, kita pun dianjurkan untuk mengenang peristiwa ini, dan meresapi pesan yang terkandung di dalamnya. (bersambung)


*Disarikan dari buku Tuntunan Berkurban dan Menyembelih Hewan karya Ali Ghufron, Amzah, Jakarta, cet. 2, 2013

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...