|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||
Hikmah Berkurban
Salah satu
bentuk dari kebijaksanaan Allah adalah, Dia menciptakan amal ibadah itu menjadi
beragam corak dan macam untuk melihat sejauhmana penerimaan dan keridhaan kita
terhadap amalan-amalan ibadah tersebut. Sebab, mungkin sekali ada seseorang
yang merasa cocok dengan suatu amalan ibadah lalu dia tekun melakukannya, dan tidak
merasa cocok dengan amalan ibadah yang lain lalu mengabaikannya. Oleh Allah,
ibadah ada yang berkaitan dengan kerja anggota badan, seperti shalat, ada yang
berkaitan dengan pengeluaran harta, seperti zakat, ada yang berkaitan dengan kedua-duanya,
seperti jihad dan haji, juga ada yang berkaitan dengan pengekangan hawa nafsu,
seperti puasa. Apabila kita melaksanakan semua amalan ibadah ini dengan baik,
sempurna, dan sepenuh hati maka hal itu merupakan bukti atas kesempurnaan
penghambaan dan kecintaan kita kepada Allah.
Berkaitan
dengan hikmah berkurban, para ulama mengatakan bahwa ibadah kurban mengandung
hikmah dari dua aspek, yaitu aspek sejarah, dan aspek sosial.
Hikmah
Berkurban dari Aspek Sejarah
Dari aspek
sejarah, berkurban adalah mengenang dan mengabadikan peristiwa Nabi Ibrahim
a.s. ketika bermaksud menyembelih putranya, yang kemudian diganti oleh Allah
dengan seekor domba. Untuk itu, ketika Rasulullah ditanya perihal berkurban, sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, Rasul saw. menjawab
bahwa berkurban itu merupakan sunah dari moyang kita, Nabi Ibrahim.
Peristiwa ini
memang patut diabadikan dan dikenang, karena ia mengajarkan kepada umat manusia
tentang bagaimana puncak dari hakikat ketaatan kepada Allah. Bahwa demi
menjalankan perintah Allah, apa pun harus dilaksanakan. Apa pun harus
dikorbankan. Nabi Ibrahim, dengan penuh kerelaan hati, beliau bermaksud
menyembelih anaknya sendiri, anak yang sangat beliau nanti dan kasihi, demi
melaksanakan perintah Allah. Tidak sedetik pun tebersit dalam benak Nabi
Ibrahim rasa berat hati dan keengganan terhadap perintah tersebut. Bahkan
beliau dengan sangat besar hati memberitakan kabar itu kepada putranya seraya
berkata, sebagaimana terekam di dalam Al-Quran:
...
يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ
الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ
أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ
بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)
"Hai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan
Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan
mimpi itu," sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar."
(Ash-Shâffât: 102—107)
Peristiwa ini
merupakan simbol dari puncak pengorbanan seseorang kepada Allah. Ini juga bukti
ketulusan, kepatuhan, dan pengabdian seorang hamba kepada Sang Pencipta. Allah
sendiri menyebutnya sebagai 'benar-benar suatu ujian yang nyata.' Bagaimana
tidak. Sudah sangat lama Nabi Ibrahim mendamba seorang putra. Tapi ketika
anugerah itu datang, di saat sang anak sedang beranjak tumbuh dewasa, datang
perintah untuk menyembelihnya. Sungguh benar-benar suatu ujian yang nyata, yang
siapa pun apabila lulus dari ujian tersebut, dia berhak mendapat nilai yang
paling tinggi dan memuaskan. Bahkan, setan yang notabene penggoda manusia
paling ulung juga akan menyerah kalah terhadap orang yang lulus dari ujian ini.
Al-Baihaqi di
dalam kitabnya, Syi'bu Al-Îmân menyebutkan sebuah riwayat dari Al-Qasim
bin Muhammad bahwa ketika setan mengetahui kalau Nabi Ibrahim hendak
menyembelih putranya, maka setan berkata, "Kalau aku tidak dapat
memengaruhi mereka dalam kondisi seperti ini maka aku tidak akan pernah dapat
memengaruhi mereka." Nabi Ibrahim bergegas keluar bersama putranya untuk
disembelih. Sepeninggal keduanya, setan datang menemui istri Nabi Ibrahim
seraya bertanya, "Apakah engkau tahu kemana Ibrahim membawa anakmu
pergi?" "Pergi untuk suatu
kebutuhan," jawab istri Nabi Ibrahim. Tapi setan segera membantah.
"Bukan. Dia bukan pergi untuk suatu kebutuhan. Dia pergi untuk
membunuhnya." "Kenapa dia membunuhnya?" tanya istri Nabi
Ibrahim. "Ibrahim mengaku kalau itu perintah dari tuhannya," terang
setan. "Kalau begitu dia benar, karena telah menaati perintah
tuhannya," jawab istri Nabi Ibrahim mantap.
Mendapat
jawaban yang tidak memuaskan tersebut, setan bergegas mengejar sang anak dan
bertanya kepadanya, "Apakah engkau tahu kemana Ibrahim membawamu
pergi?" "Pergi untuk suatu kebutuhan," jawab sang anak.
"Bukan. Dia bukan pergi untuk suatu kebutuhan. Dia pergi untuk
membunuhmu." "Kenapa dia membunuhku?" tanya sang anak.
"Ibrahim mengaku kalau itu perintah dari tuhannya," terang setan.
"Demi Allah, kalau itu perintah dari tuhannya, dia pasti akan
melaksanakannya."
Setan pun
berputus asa karena tidak bisa menancapkan pengaruhnya. Tapi dia belum menyerah.
Kali ini, dia menyapa Nabi Ibrahim seraya bertanya, "Kemana engkau membawa
pergi anakmu?" "Untuk suatu kebutuhan," jawab Nabi Ibrahim.
"Bukan," telisik setan. "Kamu bukan pergi untuk suatu kebutuhan,
tapi untuk membunuhnya." "Kenapa aku membunuhnya?" tanya Nabi
Ibrahim. "Kamu mengaku kalau itu perintah dari tuhanmu," terang
setan. "Demi Allah, kalau Dia memerintahkan seperti itu maka aku pasti
akan melaksanakannya." Sampai di sini setan benar-benar putus asa, karena
tidak mampu menancapkan pengaruhnya, baik lewat jalur anak, istri, maupun
suami. Maka dia pun bergegas pergi meninggalkan mereka.
Kiranya, apakah
kata-kata yang pas untuk menggambarkan keluarga Nabi Ibrahim tersebut? Sungguh,
itu merupakan puncak dari ketulusan, kepatuhan, dan pengabdian seorang hamba
kepada Tuhan. Di sinilah, berkurban disyariatkan di dalam agama kita agar kita juga
dapat mengenang, lalu mencontoh bentuk dari ketulusan, kepatuhan, dan
pengabdian seperti itu, sehingga apabila kita dapat melewati ujian seperti yang
pernah dilewati oleh Nabi Ibrahim, maka setan pun akan berputus asa dan pergi
meninggalkan kita. Inilah hikmah berkurban dari aspek sejarahnya. Ketika
berkurban, kita pun dianjurkan untuk mengenang peristiwa ini, dan meresapi
pesan yang terkandung di dalamnya.
(bersambung)
*Disarikan dari buku Tuntunan Berkurban dan
Menyembelih Hewan karya Ali Ghufron, Amzah, Jakarta, cet. 2, 2013
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...