|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||
HADITS 1 AMAL TERGANTUNG DARI
NIATNYA
عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
. وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ
إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab
berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu
tergantung dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang
dia niatkan. Barang siapa hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya maka (pahala)
hijrahnya (ditulis) karena Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya
karena dunia yang ingin diraihnya atau wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (ditulis) karena apa yang ia niatkan untuk berhijrah itu. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Syarah Hadits:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ
Para
ulama berbeda pendapat tentang maksud dari kalimat innamal a’malu bin
niyyat. Banyak dari ulama generasi akhir menyatakan, maksudnya adalah
bahwa suatu amal itu dianggap sahih dan diterima karena niatnya.
Dengan
pemahaman ini maka amal yang dimaksud di dalam hadits adalah amalan-amalan
syar’i yang membutuhkan niat. Sedangkan amalan-amalan bukan syar’i, yang hanya
sebagai kebiasaan sehari-hari seperti makan dan minum tidak termasuk di
dalamnya karena tidak membutuhkan niat.
Sedangkan
ulama yang lain mengatakan bahwa kalimat innamal a’malu bin niyyat di
dalam hadits ini dimaksudkan untuk semua amal apa pun tanpa terkecuali. Ini
merupakan pendapat para ulama mutaqaddimin, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu
Jarir Ath-Thabari, Abu Thalib Al-Makki, dan zahir pendapat imam Ahmad. Dalam
sebuah riwayat imam Ahmad mengatakan, “Saya senang kepada seseorang yang
melakukan suatu amal entah shalat, puasa, zakat, entah amalan-amalan kebaikan
lainnya, didahului dengan niat sebelum mengerjakannya. Karena segala sesuatu
tergantung pada niatnya.”
Dengan
pemahaman ini maka berarti sebuah amal itu hanya akan dianggap bila ada niat di
dalamnya. Sehingga amal seseorang yang terpaksa tidak dianggap karena tidak
adanya niat dan kehendak.
Bisa
juga maknanya adalah bahwa suatu amal itu dianggap rusak, sah, diterima,
ditolak, berpahala, atau tidak berpahala tergantung dari niatnya.
وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى
Potongan
hadits ini memberitahukan bahwa seseorang hanya akan mendapatkan apa yang ia
niatkan. Bila niatnya baik maka akan mendapat kebaikan. Bila niatnya buruk maka
akan mendapat keburukan.
Secara
bahasa niat adalah maksud dan kehendak. Sedangkan dalam terminologi ulama, niat
mengandung dua pengertian.
Pertama,
niat yang dimaksudkan untuk membedakan antarsatu ibadah dengan ibadah yang lain
(seperti antara shalat zuhur dengan asar dan antara puasa Ramadan dengan puasa
sunah), atau antara ibadah dengan adat kebiasaan (seperti untuk membedakan
antara mandi janabah dengan mandi untuk sekadar menyegarkan badan).
Kedua,
niat yang dimaksudkan untuk membedakan tujuan seseorang ketika beramal, apakah
untuk Allah, atau untuk selain Allah, atau untuk Allah dan selain-Nya. Niat
dengan pengertian kedua inilah yang dimaksudkan oleh hadits. Untuk itu redaksi
berikutnya berbunyi:
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
Potongan
hadits ini menjelaskan bahwa barang siapa hijrahnya diniatkan untuk Allah dan
rasulnya maka ia dianggap berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya. Barang siapa
yang berhijrah menuju darul islam karena atas dasar cinta kepada Allah dan
rasul-Nya, karena keinginannya untuk mendalami ilmu agama, dan demi memenangkan
agama Allah setelah tertindas di darul kuffar maka ia dianggap berhijrah karena
Allah dan Rasulnya.
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Sebaliknya, barang siapa yang hijrahnya dari darul kuffar menuju darul islam
diniatkan untuk mencari keuntungan dunia atau demi wanita yang akan
dinikahinya, maka ia hanya akan memperoleh apa yang diniatkannya itu.
Inilah
pentingnya niat. Pahala amal kita tergantung dari niat yang ada. Para
ahli ilmu mengatakan, ”Sesungguhnya orang-orang sama dalam amalan puasa dan
shalatnya. Tetapi mereka berbeda dalam hal meniatkannya.” Meski
sama-sama puasa dan shalat, pahala akan berbeda bila niatnya tidak sama. Untuk itu mari kita tata niat ini. Jangan sampai ia salah atau melenceng ...
*disarikan
dari Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum wal Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min
Jawami’il Kalim, ditahqiq oleh: Dr. Mahir Yasin Fahl, cet 1. , Beirut: Dar Ibnu
Katsir, h. 29—69.
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...