|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||
Khawarij adalah kelompok pendukung Imam Ali yang membelot setelah perang
Shiffin karena tidak setuju dengan keputusan tahkîm (arbitrasi).
Untuk itu, Khawarij dijuluki dengan al-mahkamah, nisbat pada
kejadian tahkîm. Khawarij juga memiliki julukan-julukan lain,
yaitu al-harûriyyah, asy-syurâh, dan al-mâriqah.
Mereka menerima semua julukan ini, kecuali julukan terakhir.
Syahrasytani dalam Al-Milal wa An-Nihal mendefinisikan
Khawarij dalam arti luasnya sebagai setiap orang yang keluar dari pemimpin sah
yang memperoleh persetujuan masyarakat. Jadi, Khawarij tidak hanya terbatas
pada orang-orang yang membelot terhadap Ali bin Abu Thalib saja, tetapi juga
setiap pembelot, baik membelot pada masa sahabat, maupun membelot terhadap
pemimpin pada masa-masa setelahnya di setiap waktu.
Sumber-sumber yang mengkaji pemikiran Islam saling berselisih mengenai
klasifikasi sekte Khawarij. Di antara mereka ada yang mengklasifikasikan Khawarij
ke dalam sejumlah besar paham, seperti Imam Razi yang mengelompokkan mereka
menjadi sekitar 21 paham dan Malti yang mengelompokkan Khawarij ke dalam
separuh jumlah tersebut. Adapun Abu Hasan Asy'ari,
sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam bukunya, Târîkhu
al-Islâmi as-Siyâsy Wa ad-Dîni Wa ats-Tsaqâfi Wa al-Ijtimâ'i, mengelompokkan
sekte Khawarij ke dalam empat paham saja, yaitu paham Azariqah, Ibadhiyah,
Shafariyah, dan Najadat, sedangkan paham-paham Khawarij lainnya hanyalah cabang
dari paham Shafariyah.
Konsep-Konsep Pemikiran Khawarij
Ada dua prinsip pokok yang menjadi kesepakatan paham-paham Khawarij, yaitu
keputusan umum mereka terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib, dan kewajiban al-khurûj
(memberontak; revolusi) terhadap penguasa lalim. Mengenai prinsip pertama,
Khawarij menetapkan sahnya bait Imam Ali dan mendukungnya sampai sebelum
kejadian tahkîm. Akan tetapi, setelah kejadian tersebut, mereka
mengucilkan Khalifah Ali, bahkan memvonisnya sebagai kafir, seperti halnya
mereka memvonis kafir terhadap Utsman setelah enam tahun dari kekhalifahan.
Jadi, dari prinsip pertama ini terlahir klaim takfîr dan al-hâkimiyyah
yang selanjutnya menjadi pokok konsep pemikiran sekte Khawarij. Adapun dari
prinsip kedua, muncullah konsepsi khurûj dan al-hijrah, sebagai
penyempurna dari prinsip pertama. Inilah konsep-konsep umum pemikiran Khawarij.
1. Al-Hâkimiyyah; lâ hukma
iIllâ lillâh
Dalam sejarah pemikiran islam, statemen al-hâkimiyyah (otoritas)
pertama kali diusung oleh sekte Khawarij dalam jargonnya lâ hukma
illâ lillâh. Hal ini terjadi ketika kaum pembelot Khalifah Ali tersebut
menolak arbitrasi pada perang Shiffin. Menurut Khawarij, keputusan hanyalah di
tangan Allah, tidak di tangan kedua arbitrator, yaitu Abu Musa Asy'ari dan Amr
bin Ash. Khawarij tidak setuju dengan arbitrasi karena menurut persepsi mereka,
hal itu menyalahi keputusan Allah dalam surat Al-Mâ’idah ayat 33.
Di dalam Al-Quran, kalimat al-hukmu bi mâ anzalallâhu
terdapat pada banyak ayat. Orang-orang yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah dianggap sebagai orang kafir, zalim, dan fasik, sebagaimanya
dinyatakan secara berturut-turut dalam surat Al-Mâ’idah ayat 44, 45, dan 47. Inilah yang menjadi dasar
hukum sekte Khawarij dalam mengusung slogan tersebut. Mereka membelot dan
mengklaim kafir kepada Imam Ali karena tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah. Tapi dengan ini pula, pada dasarnya Khawarij telah
memindahkan konflik serta oposisi mereka dari ruang aktivitas politik yang
mengandung kemungkinan salah dan benar ke dalam ruang akidah keagamaan dengan
mengusung klaim kafir atau iman. Untuk itulah, jargon Khawarij lâ hukma
illâ lillâh (tidak ada keputusan selain keputusan Allah) dijawab imam Ali
dengan: kalimatu al-haqqi wa yurâdu bihâ al-bâthil (statemen yang
benar, tetapi dengan maksud yang salah).
2. Takfîr
Takfîr (pengkafiran) merupakan senjata sekte Khawarij dalam
menghadapi setiap penentangnya. Khawarij menganggap dirinya sebagai umat Islam
sejati, sedangkan umat Islam lainnya yang tidak menganut prinsip-prinsip mereka
adalah kafir atau musyrik, bahkan mereka lebih membenci orang-orang ini
daripada kaum Nasrani, Yahudi, atau Majusi. Khawarij menjamin keamanan orang
dzimmi dan tidak menjamin keamanan orang Islam yang tidak menganut prinsip
mereka.
Pendapat mereka dalam takfir berpegang pada firman Allah, "Pada
hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang
hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka
dikatakan):"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman Karena itu rasakanlah
azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS.3: 106). Dalam hal ini, Khawarij berkata bahwa seorang
fasik tidak bisa bermuka putih dan berseri sehingga ia harus disebut kafir.
3. Al-Hijrah
Disamping takfîr dan al-hukmu bi mâ anzalallâh, muncul
pula prinsip hijrah untuk meyempurnakan lingkup pemikiran Khawarij. Mereka
mendukung prinsip hijrah dengan beberapa ayat Al-Quran, seperti firman Allah, "Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada
mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka
menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makah)".
Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. 4: 97)
Hijrah yang dimaksud di sini ialah pergi meninggalkan wilayah negara yang
mereka anggap kafir, menuju markas mereka yang akan dipakai sebagai tempat
bertolak untuk memerangi penguasa zalim. Dengan ini, lengkap sudah dimensi
teori pemikiran Khawarij, yaitu mulai dari otoritas, pengkafiran, dan hijrah,
lalu disempurnakan dengan konsep utama pemikiran mereka, yaitu al-khurûj.
4. Al-Khurûj (Pemberontakan; Revolusi)
Inilah corak utama yang khas pada pemikiran Khawarij. Pemberontakan
(revolusi) menurut Khawarij hukumnya wajib jika jumlah penentang imam zalim
mencapai empat puluh orang. Menurut mereka, jumlah ini adalah batasan asy-syurâh,
yaitu orang-orang yang membeli surga dengan menjual jiwanya. Keempat puluh
orang ini wajib memberontak dan melakukan revolusi sampai mati atau sampai
mampu menegakkan agama Allah dan menghancurkan orang kafir serta orang-orang
zalim. Mereka harus selalu melakukan pemberontakan kecuali apabila jumlah
mereka kurang dari tiga orang. Apabila kurang dari tiga, mereka diam dan
menyembunyikan akidahnya. Dengan ini, berarti Khawarij mengambil jalan al-kitmân.
Yang sangat menarik dari oposisi Khawarij, setiap penindasan dan
pengekangan yang menimpa, justru akan menambah kuat oposisi serta mendorong
mereka untuk semakin radikal dan fanatis. Tapi perlu dicatat bahwa
revolusi-revolusi Khawarij—meskipun sangat sering—tidak mendatangkan hasil
positif. Hal ini pertama-tama disebabkan karena Khawarij miskin manajemen,
bercorak spontanitas, dan terlalu over dalam berevolusi. Ketika baru mencapai
batas asy-syurâh, mereka telah mengadakan revolusi sehingga mudah
ditumpas sampai habis. Untuk itu, revolusi-revolusi Khawarij hanya menambah
pertumpahan darah saja. Hal inilah yang banyak melemahkan kekuatan orientasi
revolusionernya.
Posisi Khawarij dalam Struktur Pemikiran Islam dan Peta Penyebarannya
Mayoritas kaum
orientalis cenderung memuji Khawarij dan mengagung-agungkannya. Van Fluten,
misalnya, ia menjuluki Khawarij dengan 'kaum republik' karena dalam
pandangannya, Khawarij mengusung prinsip-prinsip demokrasi konservatif.
Demikian juga yang dinyatakan oleh Von Yulius Wellhausen, seorang orientalis asal Jerman.
Dari kalangan pemikir modern, Prof. Umar Abu Nashr dalam bukunya Al-Khawâriju
Wa al-Islam juga sejalan dengan perspektif ini. Ia melihat bahwa Khawarij
paling dekat dalam beradaptasi dengan agama.
Menurutnya, Pemikiran Khawarij telah memberikan warna yang berbeda pada
tradisi pemikiran politik Islam yang menurut sebagian pakar, keduanya bercorak
'revolusioner' dan 'demokratis'. Pertama, Khawarij menjadikan khilafah
sebagai hak setiap individu Muslim selama memenuhi syarat-syarat yang mereka
tentukan, yakni Islam, adil, dan berilmu. Kedua, Khawarij memberikan hak
pilih kepada seluruh umat Islam sehingga mereka berhak mencopot khalifah jika
melenceng dari syarat-syarat kekhalifahan.
Tapi mayoritas
Ahlussunnah menganggap Khawarij telah keluar dari pemahaman agama yang benar.
Dahulu, Ibnu Abbas berkata tentang Khawarij, "Tidaklah Haruriyah
(Khawarij) lebih mengetahui hukum dari orang Yahudi dan Nashrani. Mereka semua
adalah sesat." Bahkan Rasulullah juga sudah memprediksi munculnya kelompok
yang membangkang seperti ini dalam beberapa sabdanya. Pendapat-pendapat
Khawarij juga dikritik dan dihancurkan oleh Umar bin Abdul Aziz, ditentang oleh
Maltha, Ibnu Hazm, Syahrastani, dan lain-lain. Pada masa sekarang, Syaikh Abu
Zahrah menyebut mereka dengan fanatis, berpandangan sempit, berpihak pada satu
sisi pemikiran saja, gemar mengklaim bahwa hadits-hadits yang mereka gunakan
sebagai dalil berasal dari Rasul demi melegitimsi kebenaran pendapatnya, dan
berpegang teguh pada zahir Al-Quran tanpa melihat maksud dan tujuan.
Pada masa sekarang ini, yang tersisa dari Khawarij adalah paham-paham
Ibadhiyah. Sisa-sisa mereka masih hidup di Afrika Timur, seperti di Aljazair,
Tunis, sebagian di Aman dan Zanjibar. Wallahu a'lam.
Referensi:
1. Abdul Khaliq Musthafa, Nevin. 1985. Al-Mu'âradhatu
Fî al-Fikri as-Siyâsi al-Islâmi. Kairo; maktabah al-Malik Faishal
al-Islamiyah.
2. Abu Hadid, Ibnu. 1967. Syarhu Nahji al-Balâghah. Kairo; Mathba'ah
Halabi.
3. Husein, Thaha.
1962. Al-Fitnatu al-Kubrâ. Kairo; Dar al-Ma'arif.
4. Ibrahim Hasan, Hasan. Dr. 1959. Târîkhu al-Islâmi
as-Siyâsy Wa ad-Dîni Wa ats-Tsaqâfati Wa al-Ijtimâ'i. Kairo; Maktabah
Nahdhah al-Mashriyah.
5. Khudhori Beik, Muhammad. Syaikh. 1376 H. Muhâdharâtu
Târîkhi al-Umami al-Islâmiyyah. Kairo; Mathba'ah Istiqamah.
6. Maqdisi, Abu Zabad Ahmad bin Sahal Balkhi Mutahhir bin
Tahir. 1916. Kitâbu al-Bad'i Wa at-Ta'rîkh. Kairo. t.p.
7. Nabrawi, Fathiya.
Dr, Nashr Manha, Muhammad. Dr.
1984. Tathawwuru al-Fikri as-Siyâsi Fî al-Islâm. Kairo; Dar al-Ma'arif.
8. Syahrastani. t.t. Al-Milal wa An-Nihal. t.k.
t.p
9. Thabari. 1980. Mukhtasharu Tafsîri al-Imâmi
ath-Thabari. Kairo; Dar asy-Syuruq.
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...