Wednesday 18 September 2013

Khawarij dalam Khazanah Pemikiran Islam



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Khawarij adalah kelompok pendukung Imam Ali yang membelot setelah perang Shiffin karena tidak setuju dengan keputusan tahkîm (arbitrasi). Untuk itu, Khawarij dijuluki dengan al-mahkamah, nisbat pada kejadian tahkîm. Khawarij juga memiliki julukan-julukan lain, yaitu al-harûriyyah, asy-syurâh, dan al-mâriqah. Mereka menerima semua julukan ini, kecuali julukan terakhir.

Syahrasytani dalam Al-Milal wa An-Nihal mendefinisikan Khawarij dalam arti luasnya sebagai setiap orang yang keluar dari pemimpin sah yang memperoleh persetujuan masyarakat. Jadi, Khawarij tidak hanya terbatas pada orang-orang yang membelot terhadap Ali bin Abu Thalib saja, tetapi juga setiap pembelot, baik membelot pada masa sahabat, maupun membelot terhadap pemimpin pada masa-masa setelahnya di setiap waktu.

Sumber-sumber yang mengkaji pemikiran Islam saling berselisih mengenai klasifikasi sekte Khawarij. Di antara mereka ada yang mengklasifikasikan Khawarij ke dalam sejumlah besar paham, seperti Imam Razi yang mengelompokkan mereka menjadi sekitar 21 paham dan Malti yang mengelompokkan Khawarij ke dalam separuh jumlah tersebut. Adapun Abu Hasan Asy'ari, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam bukunya, Târîkhu al-Islâmi as-Siyâsy Wa ad-Dîni Wa ats-Tsaqâfi Wa al-Ijtimâ'i, mengelompokkan sekte Khawarij ke dalam empat paham saja, yaitu paham Azariqah, Ibadhiyah, Shafariyah, dan Najadat, sedangkan paham-paham Khawarij lainnya hanyalah cabang dari paham Shafariyah.

Konsep-Konsep Pemikiran Khawarij

Ada dua prinsip pokok yang menjadi kesepakatan paham-paham Khawarij, yaitu keputusan umum mereka terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib, dan kewajiban al-khurûj (memberontak; revolusi) terhadap penguasa lalim. Mengenai prinsip pertama, Khawarij menetapkan sahnya bait Imam Ali dan mendukungnya sampai sebelum kejadian tahkîm. Akan tetapi, setelah kejadian tersebut, mereka mengucilkan Khalifah Ali, bahkan memvonisnya sebagai kafir, seperti halnya mereka memvonis kafir terhadap Utsman setelah enam tahun dari kekhalifahan. Jadi, dari prinsip pertama ini terlahir klaim takfîr dan al-hâkimiyyah yang selanjutnya menjadi pokok konsep pemikiran sekte Khawarij. Adapun dari prinsip kedua, muncullah konsepsi khurûj dan al-hijrah, sebagai penyempurna dari prinsip pertama. Inilah konsep-konsep umum pemikiran Khawarij.

1. Al-Hâkimiyyah; lâ hukma iIllâ lillâh

Dalam sejarah pemikiran islam, statemen al-hâkimiyyah (otoritas) pertama kali diusung oleh sekte Khawarij dalam jargonnya hukma illâ lillâh. Hal ini terjadi ketika kaum pembelot Khalifah Ali tersebut menolak arbitrasi pada perang Shiffin. Menurut Khawarij, keputusan hanyalah di tangan Allah, tidak di tangan kedua arbitrator, yaitu Abu Musa Asy'ari dan Amr bin Ash. Khawarij tidak setuju dengan arbitrasi karena menurut persepsi mereka, hal itu menyalahi keputusan Allah dalam surat Al-Mâ’idah ayat 33.

Di dalam Al-Quran, kalimat al-hukmu bi mâ anzalallâhu terdapat pada banyak ayat. Orang-orang yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah dianggap sebagai orang kafir, zalim, dan fasik, sebagaimanya dinyatakan secara berturut-turut dalam surat Al-Mâ’idah ayat 44, 45, dan 47. Inilah yang menjadi dasar hukum sekte Khawarij dalam mengusung slogan tersebut. Mereka membelot dan mengklaim kafir kepada Imam Ali karena tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah. Tapi dengan ini pula, pada dasarnya Khawarij telah memindahkan konflik serta oposisi mereka dari ruang aktivitas politik yang mengandung kemungkinan salah dan benar ke dalam ruang akidah keagamaan dengan mengusung klaim kafir atau iman. Untuk itulah, jargon Khawarij hukma illâ lillâh (tidak ada keputusan selain keputusan Allah) dijawab imam Ali dengan: kalimatu al-haqqi wa yurâdu bihâ al-bâthil (statemen yang benar, tetapi dengan maksud yang salah).

2. Takfîr

Takfîr (pengkafiran) merupakan senjata sekte Khawarij dalam menghadapi setiap penentangnya. Khawarij menganggap dirinya sebagai umat Islam sejati, sedangkan umat Islam lainnya yang tidak menganut prinsip-prinsip mereka adalah kafir atau musyrik, bahkan mereka lebih membenci orang-orang ini daripada kaum Nasrani, Yahudi, atau Majusi. Khawarij menjamin keamanan orang dzimmi dan tidak menjamin keamanan orang Islam yang tidak menganut prinsip mereka.

Pendapat mereka dalam takfir berpegang pada firman Allah, "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS.3: 106).  Dalam hal ini, Khawarij berkata bahwa seorang fasik tidak bisa bermuka putih dan berseri sehingga ia harus disebut kafir.

3. Al-Hijrah

Disamping takfîr dan al-hukmu bi mâ anzalallâh, muncul pula prinsip hijrah untuk meyempurnakan lingkup pemikiran Khawarij. Mereka mendu­kung prinsip hijrah dengan beberapa ayat Al-Quran, seperti firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makah)". Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. 4: 97)

Hijrah yang dimaksud di sini ialah pergi meninggalkan wilayah negara yang mereka anggap kafir, menuju markas mereka yang akan dipakai sebagai tempat bertolak untuk memerangi penguasa zalim. Dengan ini, lengkap sudah dimensi teori pemikiran Khawarij, yaitu mulai dari otoritas, pengkafiran, dan hijrah, lalu disempurnakan dengan konsep utama pemikiran mereka, yaitu al-khurûj.

4. Al-Khurûj (Pemberontakan; Revolusi)

Inilah corak utama yang khas pada pemikiran Khawarij. Pemberonta­kan (revolusi) menurut Khawarij hukumnya wajib jika jumlah penentang imam zalim mencapai empat puluh orang. Menurut mereka, jumlah ini adalah batasan asy-syurâh, yaitu orang-orang yang membeli surga dengan menjual jiwanya. Keempat puluh orang ini wajib memberontak dan melakukan revolusi sampai mati atau sampai mampu menegakkan agama Allah dan menghancurkan orang kafir serta orang-orang zalim. Mereka harus selalu melakukan pemberontakan kecuali apabila jumlah mereka kurang dari tiga orang. Apabila kurang dari tiga, mereka diam dan menyembunyikan akidahnya. Dengan ini, berarti Khawarij mengambil jalan al-kitmân.

Yang sangat menarik dari oposisi Khawarij, setiap penindasan dan pengekangan yang menimpa, justru akan menambah kuat oposisi serta mendorong mereka untuk semakin radikal dan fanatis. Tapi perlu dicatat bahwa revolusi-revolusi Khawarij—meskipun sangat sering—tidak mendatangkan hasil positif. Hal ini pertama-tama disebabkan karena Khawarij miskin manajemen, bercorak spontanitas, dan terlalu over dalam berevolusi. Ketika baru mencapai batas asy-syurâh, mereka telah mengadakan revolusi sehingga mudah ditumpas sampai habis. Untuk itu, revolusi-revolusi Khawarij hanya menambah pertumpahan darah saja. Hal inilah yang banyak melemahkan kekuatan orientasi revolusionernya.

Posisi Khawarij dalam Struktur Pemikiran Islam dan Peta Penyebarannya

Mayoritas kaum orientalis cenderung memuji Khawarij dan mengagung-agungkannya. Van Fluten, misalnya, ia menjuluki Khawarij dengan 'kaum republik' karena dalam pandangannya, Khawarij mengusung prinsip-prinsip demokrasi konservatif. Demikian juga yang dinyatakan oleh Von Yulius Wellhausen, seorang orientalis asal Jerman. Dari kalangan pemikir modern, Prof. Umar Abu Nashr dalam bukunya Al-Khawâriju Wa al-Islam juga sejalan dengan perspektif ini. Ia melihat bahwa Khawarij paling dekat dalam beradaptasi dengan agama.  Menurutnya, Pemikiran Khawarij telah memberikan warna yang berbeda pada tradisi pemikiran politik Islam yang menurut sebagian pakar, keduanya bercorak 'revolusioner' dan 'demokratis'. Pertama, Khawarij menjadikan khilafah sebagai hak setiap individu Muslim selama memenuhi syarat-syarat yang mereka tentukan, yakni Islam, adil, dan berilmu. Kedua, Khawarij memberikan hak pilih kepada seluruh umat Islam sehingga mereka berhak mencopot khalifah jika melenceng dari syarat-syarat kekhalifahan.

Tapi mayoritas Ahlussunnah menganggap Khawarij telah keluar dari pemahaman agama yang benar. Dahulu, Ibnu Abbas berkata tentang Khawarij, "Tidaklah Haruriyah (Khawarij) lebih mengetahui hukum dari orang Yahudi dan Nashrani. Mereka semua adalah sesat." Bahkan Rasulullah juga sudah memprediksi munculnya kelompok yang membangkang seperti ini dalam beberapa sabdanya. Pendapat-pendapat Khawarij juga dikritik dan dihancurkan oleh Umar bin Abdul Aziz, ditentang oleh Maltha, Ibnu Hazm, Syahrastani, dan lain-lain. Pada masa sekarang, Syaikh Abu Zahrah menyebut mereka dengan fanatis, berpandangan sempit, berpihak pada satu sisi pemikiran saja, gemar mengklaim bahwa hadits-hadits yang mereka gunakan sebagai dalil berasal dari Rasul demi melegitimsi kebenaran pendapatnya, dan berpegang teguh pada zahir Al-Quran tanpa melihat maksud dan tujuan.

Pada masa sekarang ini, yang tersisa dari Khawarij adalah paham-paham Ibadhiyah. Sisa-sisa mereka masih hidup di Afrika Timur, seperti di Aljazair, Tunis, sebagian di Aman dan Zanjibar. Wallahu a'lam.

Referensi:
1. Abdul Khaliq Musthafa, Nevin. 1985. Al-Mu'âradhatu Fî al-Fikri as-Siyâsi al-Islâmi. Kairo; maktabah al-Malik Faishal al-Islamiyah.
2. Abu Hadid, Ibnu. 1967.  Syarhu Nahji al-Balâghah. Kairo; Mathba'ah Halabi.
3. Husein, Thaha.  1962. Al-Fitnatu al-Kubrâ. Kairo; Dar al-Ma'arif.
4. Ibrahim Hasan, Hasan. Dr. 1959. Târîkhu al-Islâmi as-Siyâsy Wa ad-Dîni Wa ats-Tsaqâfati Wa al-Ijtimâ'i. Kairo; Maktabah Nahdhah al-Mashriyah.
5. Khudhori Beik, Muhammad. Syaikh. 1376 H. Muhâdharâtu Târîkhi al-Umami al-Islâmiyyah. Kairo; Mathba'ah Istiqamah.
6. Maqdisi, Abu Zabad Ahmad bin Sahal Balkhi Mutahhir bin Tahir. 1916. Kitâbu al-Bad'i Wa at-Ta'rîkh. Kairo. t.p.
7. Nabrawi, Fathiya.  Dr,  Nashr Manha, Muhammad. Dr. 1984. Tathawwuru al-Fikri as-Siyâsi Fî al-Islâm. Kairo; Dar al-Ma'arif.
8. Syahrastani. t.t. Al-Milal wa An-Nihal. t.k. t.p
9. Thabari. 1980. Mukhtasharu Tafsîri al-Imâmi ath-Thabari. Kairo; Dar  asy-Syuruq.

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...