Tuesday 17 September 2013

Buah dari Kezaliman



Suatu ketika, seorang saudagar melakukan perjalanan untuk berniaga. Peristiwa ini terjadi sebelum perang dunia pertama sekitar tahun 1914. Di tengah perjalanan terjadi hujan salju yang lebat sehingga menutup badan jalan. Sang saudagar pun terpaksa bermalam dan mengetuk pintu rumah salah seorang penduduk. 

Ketika itu belum ada hotel sebagai tempat singgah dan menginap para musafir. Orang asing atau musafir boleh menginap di rumah siapa pun di tempat di mana ia mengalami kesulitan atau kemalaman. Sehingga ia menjadi tamu bagi seluruh anggota keluarga. Ia boleh tidur sebagaimana mereka tidur, dan makan bersama mereka tanpa membayar atau memberikan imbalan apa pun. 

Saat mendengar ketukan pintu, pemilik rumah itu bergegas membuka daun pintu rumahnya, lalu sang saudagar memberitahukan kepada pemilik rumah bahwa ia ingin menginap. Pemilik rumah menerima kedatangannya dan mempersilahkan masuk beserta barang perniagaannya ke dalam rumah. Sejurus kemudian, ia menyajikan makanan sederhana kepada tamunya.

Pemilik rumah ini seorang fakir yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia sudah menikah dan memiliki seorang anak berusia dua puluhan tahun. Di rumah kecilnya itu hanya terdapat dua buah kamar tidur; satu kamar untuknya dan istrinya, sedangkan yang lain untuk putra semata wayangnya.

Malam itu semua anggota keluarga berkumpul di ruang tamu dan berbincang dengan tamunya. Dari perbincangan itulah pemilik rumah mengetahui bahwa tamunya membawa sejumlah harta dan barang perniagaan berharga.

Setelah agak larut, pemilik rumah dan istrinya bergegas ke kamar tidur, sedangkan tamunya dipersilakan istirahat di kamar yang lain bersama sang putra semata wayang. Ia dipersilakan tidur di ranjang yang terletak di sudut kiri kamar, sedang putranya sendiri akan tidur di ranjang yang terletak di sudut sebelah kanan.

Malam semakin larut. Tapi sepasang suami istri itu belum juga tidur. Tiba-tiba istri pemilik rumah berbisik kepada suaminya, Aku bosan hidup dalam kemiskinan yang mencekik seperti ini. Tamu kita seorang kaya. Kita sangat membutuhkan harta yang ia miliki. Aku sudah tak sanggup lagi. Aku tak mau mati karena kelaparan. Dengar suamiku, sekarang kita mempunyai kesempatan yang tidak akan terulang kembali. Ayo, kita habisi tamu kita lalu mengambil hartanya beserta barang perniagaan yang dia bawa agar kita bisa hidup berkecukupan demi putra semata wayang kita.”

Sang suami merasa ragu memenuhi bisikan jahat istrinya tersebut. Akan tetapi sang istri selalu membujuk.

“Semua ini kita lakukan karena terpaksa demi menyelamatkan hidup. Toh aturan boleh dilanggar ketika terpaksa, sang istri berusaha meyakinkan.

Akhirnya suami itu menerima bujukan tersebut dan bertekad untuk membunuh tamunya lalu mengambil harta benda beserta barang dagangan yang dia bawa.

Tepat pada sepertiga akhir malam, sang suami pemilik rumah bergegas mengambil pisau belati dan mengasahnya, lalu menuju kamar di mana tamu dan putranya beristirahat. Sedangkan istrinya mengikuti di belakang seraya memberi semangat untuk dapat melaksanakan kejahatan yang telah mereka rencanakan dengan baik. Keduanya berjalan mengendap-endap menuju sudut kiri kamar, di mana tamunya tidur.

Setelah berhasil mendekat, sang suami meraba-raba tubuh tamunya hingga menyentuh bagian leher, lalu bergegas menyembelihnya sebagaimana menyembelih seekor kambing. Istri yang mengikuti di belakang berusaha membantu menyeret jasad yang terbujur keluar kamar.

Tapi alangkah terkejutnya mereka setelah berhasil membawa mayat itu keluar kamar, karena ternyata yang mereka sembelih adalah putra semata wayangnya sendiri. Keduanya pun berteriak dan menangis sejadi-jadinya, hingga membuat para tetangga, termasuk sang tamu bangun.

Petugas kepolisian juga segera datang untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya. Dan dari penyelidikan polisi diketahui bahwa malam itu sang putra ketiduran di ranjang yang disediakan untuk tamu. Tapi karena sang tamu tidak enak maka ia membiarkan pemuda itu tidur di ranjangnya, menyelimutinya, kemudian ia tidur di ranjang yang sedianya akan ditempati sang pemuda.

Ketika pemilik rumah ingin melaksanakan niat jahatnya, ia merasa yakin tentang posisi tempat tidur sang tamu hingga ia langsung mengeksekusinya, padahal yang ia bunuh justru putranya sendiri. Maha Benar Allah dengan firman-Nya, “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.” (Fâthir: 43).

* Diterjemahkan dari ‘Adâlah As-Samâ`, karya Mahmud Sayyib dengan perubahan dan peringkasan seperlunya.

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...