Suatu ketika, seorang saudagar melakukan
perjalanan untuk berniaga. Peristiwa ini terjadi sebelum perang dunia pertama sekitar tahun
1914. Di tengah perjalanan terjadi hujan salju yang lebat sehingga menutup
badan jalan. Sang saudagar pun terpaksa bermalam dan mengetuk pintu rumah salah
seorang penduduk.
Ketika itu belum ada hotel sebagai tempat
singgah dan menginap para musafir. Orang asing atau musafir boleh menginap di
rumah siapa pun di tempat di mana ia mengalami kesulitan atau kemalaman.
Sehingga ia menjadi tamu bagi seluruh anggota keluarga. Ia boleh tidur
sebagaimana mereka tidur, dan makan bersama mereka tanpa membayar atau
memberikan imbalan apa pun.
Saat
mendengar ketukan pintu, pemilik rumah itu bergegas membuka daun pintu rumahnya, lalu
sang saudagar memberitahukan kepada pemilik rumah bahwa ia ingin menginap.
Pemilik rumah menerima kedatangannya dan mempersilahkan masuk beserta barang perniagaannya
ke dalam rumah. Sejurus
kemudian, ia menyajikan makanan sederhana kepada tamunya.
Pemilik rumah ini seorang
fakir yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Ia sudah menikah dan memiliki
seorang anak berusia dua puluhan tahun. Di rumah kecilnya itu hanya
terdapat dua buah kamar tidur; satu kamar untuknya dan istrinya, sedangkan yang lain
untuk putra
semata wayangnya.
Malam itu semua anggota keluarga berkumpul
di ruang tamu dan berbincang dengan tamunya. Dari perbincangan itulah pemilik
rumah mengetahui bahwa tamunya membawa sejumlah harta dan barang perniagaan berharga.
Setelah
agak larut, pemilik rumah dan istrinya bergegas ke kamar tidur,
sedangkan tamunya dipersilakan
istirahat di kamar yang lain bersama sang putra semata wayang. Ia dipersilakan tidur
di ranjang yang terletak di sudut kiri kamar, sedang putranya sendiri akan
tidur di ranjang yang terletak di sudut sebelah kanan.
Malam
semakin larut. Tapi sepasang suami istri itu belum juga tidur. Tiba-tiba istri
pemilik rumah berbisik
kepada suaminya, “Aku
bosan hidup dalam kemiskinan yang mencekik seperti ini.
Tamu kita seorang
kaya. Kita
sangat membutuhkan harta yang
ia miliki. Aku sudah tak sanggup lagi. Aku tak mau mati karena kelaparan. Dengar suamiku, sekarang
kita mempunyai kesempatan yang tidak akan terulang kembali. Ayo, kita habisi tamu
kita lalu mengambil hartanya beserta barang perniagaan yang dia bawa agar kita
bisa hidup berkecukupan demi putra semata wayang kita.”
Sang suami merasa ragu memenuhi bisikan jahat
istrinya tersebut. Akan tetapi sang istri selalu membujuk.
“Semua
ini kita lakukan karena terpaksa demi menyelamatkan hidup. Toh aturan
boleh dilanggar ketika terpaksa,”
sang istri berusaha meyakinkan.
Akhirnya suami itu
menerima bujukan tersebut dan bertekad untuk membunuh tamunya lalu mengambil harta
benda beserta barang
dagangan yang dia bawa.
Tepat
pada sepertiga akhir malam, sang
suami pemilik rumah bergegas mengambil pisau belati dan mengasahnya, lalu
menuju kamar di mana tamu dan putranya beristirahat. Sedangkan istrinya
mengikuti di belakang seraya memberi semangat
untuk dapat melaksanakan kejahatan yang telah mereka rencanakan dengan baik.
Keduanya berjalan mengendap-endap menuju sudut kiri kamar, di mana tamunya
tidur.
Setelah berhasil mendekat, sang suami
meraba-raba tubuh tamunya hingga menyentuh bagian leher,
lalu bergegas
menyembelihnya sebagaimana menyembelih seekor kambing.
Istri yang mengikuti di belakang berusaha membantu menyeret jasad yang terbujur
keluar kamar.
Tapi alangkah terkejutnya mereka setelah
berhasil membawa mayat itu keluar kamar, karena ternyata yang mereka sembelih adalah
putra semata wayangnya sendiri. Keduanya pun berteriak dan
menangis sejadi-jadinya, hingga membuat para tetangga, termasuk sang tamu
bangun.
Petugas
kepolisian juga
segera datang untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya. Dan dari
penyelidikan polisi diketahui bahwa malam itu sang
putra ketiduran
di ranjang yang disediakan untuk tamu. Tapi karena sang tamu tidak enak maka ia
membiarkan pemuda itu tidur di ranjangnya, menyelimutinya, kemudian ia tidur di
ranjang yang sedianya akan ditempati sang pemuda.
Ketika pemilik rumah ingin melaksanakan
niat jahatnya, ia merasa yakin tentang posisi tempat tidur sang tamu hingga ia
langsung mengeksekusinya, padahal yang ia bunuh justru putranya sendiri. Maha Benar Allah
dengan firman-Nya, “Rencana yang jahat
itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.” (Fâthir:
43).
*
Diterjemahkan
dari ‘Adâlah As-Samâ`, karya Mahmud
Sayyib dengan perubahan dan peringkasan seperlunya.
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...