Showing posts with label kisah inspiratif. Show all posts
Showing posts with label kisah inspiratif. Show all posts

Thursday, 19 September 2013

Sahabat Rasulullah Juga Manusia



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

(ilustrasi)
Ibnu Abdul Bar menulis di dalam kitab Al-Istî’âb.[1], “Suwaibith bin Harmalah adalah orang yang suka bercanda dan sangat kocak. Dia memiliki sebuah kisah lucu bersama Nu’aiman dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Di sini saya akan menyebutkan kisah lucu tersebut.

Alkisah, setahun sebelum wafatnya Rasulullah Saw., Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. pergi berdagang ke Bashra. Dalam perjalanan dagang ini ia ditemani oleh Nu’aiman dan Suwaibit bin Harmalah. Waktu itu Nu’aiman yang kebagian membawa bekal perjalanan. Lalu Suwaibith yang suka bercanda berkata kepadanya, “Beri aku makan.”

Tuesday, 17 September 2013

Buah dari Kezaliman



Suatu ketika, seorang saudagar melakukan perjalanan untuk berniaga. Peristiwa ini terjadi sebelum perang dunia pertama sekitar tahun 1914. Di tengah perjalanan terjadi hujan salju yang lebat sehingga menutup badan jalan. Sang saudagar pun terpaksa bermalam dan mengetuk pintu rumah salah seorang penduduk. 

Ketika itu belum ada hotel sebagai tempat singgah dan menginap para musafir. Orang asing atau musafir boleh menginap di rumah siapa pun di tempat di mana ia mengalami kesulitan atau kemalaman. Sehingga ia menjadi tamu bagi seluruh anggota keluarga. Ia boleh tidur sebagaimana mereka tidur, dan makan bersama mereka tanpa membayar atau memberikan imbalan apa pun. 

Sunday, 4 August 2013

Andai Setiap Muslimah Seperti Khunasa



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Alkisah, di antara peperangan yang sangat menentukan dalam sejarah umat Islam adalah Perang Qadisiah di Irak. Karena begitu penting, khalifah Umar bin Khattab memerintahkan siapa saja umat Islam yang mampu mengangkat senjata untuk berangkat perang menuju Irak. Salah satunya ialah seorang penyair wanita terkenal bernama Tamadir binti Amr alkhunasa yang syair-syairnya sudah diakui di seantero jazirah Arab.

Setelah pertempuran hari pertama selesai, Khunasa duduk istirahat bersama empat orang anaknya. Dia memberi semangat dan mendorong mereka untuk mati-matian berjuang di jalan Allah. Khunasa berkata, “Kalian masuk Islam dengan kemauan sendiri, dan berhijrah juga dengan kemauan sendiri. Kalian tahu pahala besar yang dijanjikan Allah kepada umat Islam ketika memerangi orang kafir. Maka ketahuilah, akhirat jauh lebih baik dari segala yang ada di dunia. Ingat, anak-anakku. Ingatlah firman Allah berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. (Q.S. Âli ‘Imrân[3]: 200)

Khunasa masih terus memberi semangat kepada anak-anaknya. Dia  berkata, “Kalau besok pagi kalian masih sehat jiwa raga, maka bergegaslah ke medan laga dengan penuh kesadaran. Sungguh, Tuhan akan mengalahkan musuh-musuh-Nya. Bergembiralah  dengan keuntungan dan kemuliaan yang bakal kalian peroleh di alam keabadian. Berperanglah di jalan Allah, dan yakinlah dengan balasan keadilan-Nya.

Ketika pagi menjelang dan peperangan sudah hampir dimulai, keempat putra Khunasa bergegas menuju pos masing-masing dan berperang dengan semangat membara. Nasihat ibu mereka masih jelas terngiang di telinga. Dorongan sang ibu untuk berjuang mati-matian di jalan Allah membuat mereka tidak memedulikan apapun juga. Yang ada hanyalah menang atau mati syahid. Lalu keempat anak itu melantunkan syair-syair penuh semangat untuk mengokohkan keberanian diri sendiri dan saudara-saudaranya. Anak yang pertama bersyair,


Wahai saudara-saudaraku,
ingatlah nasihat ibu
yang jelas dan tanpa ragu-ragu.

Mari bergegas ke medan laga
untuk menghalau musuh-musuh yang durhaka.

Hidup terhormat membela agama,
atau mati syahid dan masuk surga!

Setelah berkata demikian, pria gagah berani itu maju berperang sampai akhirnya meninggal dunia. Maka anak yang kedua berteriak lebih lantang lagi sambil melantunkan syair,

Ingatlah semua,
ibu sudah menasihati kita,
dan nasihat orang tua harus dijaga
demi birrul walidain yang wajib hukumnya.

Mari bergegas ke medan laga
Demi kemenangan yang menyejukkan dada
Atau tinggal di surga kala
yang terhormat selamanya.

Maka anak yang kedua itu pun maju ke medan laga dengan gagah berani sampai mati syahid dan menyusul kakak yang pertama. Melihat hal ini, putra Khunasa yang ketiga tidak gentar. Dia malah semakin semangat dan berkata lantang.

Demi Allah aku tak akan mendurhakai pesan ibu,
yang telah menasihati dengan sepenuh kalbu.

Mari saudaraku,
kita lawan musuh-musuh agama yang penuh nafsu.

Takut mati hanyalah kelemahan,
karena mati syahid berarti kemenangan!

Dia pun segera melesat ke medan laga, menghalau musuh dengan jiwa patriot yang tinggi sampai akhirnya meninggal dunia.

Sekarang tinggal putra Khunasa yang terakhir. Dia tidak bersedih dengan kematian kakak-kakaknya. Bahkan iri karena ketiga kakaknya sudah lebih dulu digiring ke surga. Maka dengan lantang dia maju ke medan laga sambil melantunkan syair,

Hidup dan matiku hanya milik Allah semata
Maka aku harus berjuang sekuat tenaga
Entah demi kemenangan agama
Atau mati kesatria dan pahala surga!

Anak yang keempat ini pun akhirnya mati syahid dan menyusul kakak-kakaknya. Sungguh gagah perkasa putra Khunasa. Dan lebih gagah perkasa lagi sang ibu yang rela dan mendorong anak-anaknya untuk mati syahid. Ketika Khunasa diberi tahu kalau keempat anaknya meninggal dunia, dia tidak bersedih apalagi menangis. Dia sudah merelakan semua, karena harta dan anak-anak hanyalah perhiasan dunia, sedang di sana ada amalan-amalan saleh dan kekal yang lebih baik untuk dijadikan harapan. Khunasa berkata, “Segala puji bagi Allah yang memberiku kemuliaan dengan empat bintang syahid. Semoga Allah mempertemukan aku dengan mereka di surga tempat rahmat-Nya.”


Masya Allah. Apakah kita bisa seperti Khunasa? Apakah kita memiliki keimanan seperti iman Khunasa? Itulah iman seorang muslimah sejati. Itulah pandangan muslimah tulen terhadap harta dan anak-anak. Itulah Khunasa, ibu para syuhada.


*Dinukil dari Buku “Lahirlah dengan Cinta” karya Ali Ghufron Sudirman (Jakarta: Amzah, 2010)

Thursday, 1 August 2013

Dahsyatnya Tobat Tsa’labah



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Suatu ketika, Tsa'labah bin Abdurahman, salah seorang pelayan Rasulullah lewat di depan pintu rumah seorang Anshar. Pintu rumah itu terbuka sehingga dia dapat memandang ke dalam rumah. Dan betapa terperanjat dirinya ketika yang dia dapati adalah seorang perempuan Anshar yang tengah mandi. Sekejap Tsa’labah asyik menatapnya. Tapi tiba-tiba rasa takut menyelimuti. Ia takut jika wahyu datang kepada Rasulullah dan menceritakan perbuatannya itu.

Maka ia pun lari dan terus berlari. Ia bertekad untuk pergi dari Madinah karena malu kepada Rasulullah, hingga sampai di suatu gunung antara Makkah dan Madinah. Tsa’labah menetap di situ selama empat puluh hari sambil berdoa dan menangisi dosanya. Setiap malam tiba, selama empat puluh hari itu Tsa’labah terus menerus berdoa dan menangisi dosanya. Ia memohon agar Allah mau mengampuninya. Selama itu pula Rasulullah mencari-cari hingga datanglah Malaikat Jibril memberi tahu, "Wahai Muhammad, Tuhanmu mengucapkan salam kepadamu dan memberi tahu bahwa orang yang lari dari umatmu itu berada di antara gunung-gunung ini. Ia memohon perlindungan dari neraka-Nya."

Rasulullah pun mengutus Umar bin Khatthab dan Salman Al-Farisi.

"Pergilah kalian mencarinya dan kembalilah kemari bersama Tsa'labah bin Abdurahman," perintah Rasulullah.

Keduanya pergi ke luar kota Madinah lalu bertemu seorang penggembala bernama Dzufafah.

"Wahai Dzufafah, tahukah engkau seorang pemuda yang berada di antara gunung-gunung ini?" tanya Umar.

"Apa yang engkau maksud adalah orang yang lari dari neraka Jahanam?" tanya Dzufafah.

"Bagaimana engkau tahu?"

“Bagaimana tidak. Jika datang malam, ia keluar dari sisi kami menuju bukit sembari meletakkan tangannya di kepala. Ia menangis dan berkata, 'Duhai, seandainya Engkau mencabut ruhku maka janganlah Engkau menelanjangiku di hari pengadilan nanti.'"

"Ya. Benar. Itu dia yang kami cari," kata Umar.

Dzufafah pun pergi bersama Umar dan Salman untuk mencari Tsa'labah. Benar saja. Ketika malam tiba, Tsa'labah pergi di antara gunung-gunung itu sembari berseru, "Duhai, seandainya Engkau mencabut ruhku...."

"Wahai, Tsa’labah. Aku Umar bin Khathab," kata Umar.

"Apa?!! Apa… Apakah Rasulullah mengetahui dosaku?" tanya Tsa'labah kaget.

"Aku tidak tahu itu, tetapi beliau kemarin menyebutmu dengan suara lirih, lalu mengutusku untuk menemuimu," jawab Umar.

"Wahai Umar, janganlah kau pertemukan aku dengan beliau. Kecuali saat beliau sedang shalat atau ketika Bilal sudah mengumandangkan iqamah," pinta Tsa'labah.

"Baiklah," jawab Umar.

Saat tiba ke Madinah, Umar membawa Tsa’labah ke masjid sementara Rasulullah sedang shalat. Demi mendengar bacaan Rasulullah, Tsa'labah jatuh pingsan, sementara Umar dan Salman masih ikut shalat. Setelah mengucap salam Rasulullah kemudian bertanya, "Hai Umar dan Salman, bagaimana Tsa'labah bin Abdurrahman?"

"Itu dia, wahai Rasulullah," kata Umar.

Rasulullah pun menghampiri dan menyadarkannya kemudian bertanya,

"Apa yang membuatmu tidak mau menemuiku?"

"Dosaku, ya Rasul," jawab Tsa'labah.

"Maukah aku ajarkan kepadamu ayat yang dapat menghapus dosa dan kesalahan?" tanya Rasulullah

"Tentu, ya Rasulullah," jawabnya.

Rasulullah berkata, "Ucapkan, rabbana atina fid-dunya hasanah wafil akhirati hasanah waqina ‘adzaban-nar.”

"Tapi dosaku lebih besar daripada itu," kata Tsa'labah.

"Sungguh tidaklah demikian," kemudian Rasulullah menyuruhnya pulang ke rumah. Sesampai di rumah, ia sakit selama tiga hari. Salman menghadap Rasulullah dan melaporkan bahwa Tsa'labah sedang sakit. Maka Rasulullah menjenguknya. Sesampai di rumah Tsa’labah, Rasulullah menghampiri lalu meletakkan kepala Tsa'labah di pangkuannya. Tetapi Tsa’labah malu dan ia segera menarik kepalanya dari pangkuan beliau.

"Mengapa engkau menarik kepalamu dari pangkuanku?"

"Karena diriku ini penuh dengan dosa, ya Rasul."

"Apa yang kamu rasakan?" tanya Rasulullah.

"Rasanya seperti semut-semut yang merayap di sekujur kulit dan tulangku."

"Lalu apa yang kamu inginkan?"

"Ampunan Tuhanku, ya Rasul. Ampunan tuhanku. Aku hanya mengharap itu."

Tsa’labah benar-benar sedih atas satu dosa yang pernah ia lakukan. Tiba-tiba saja ia berteriak dan seketika meninggal dunia saking sedihnya. Rasulullah kemudian segera memandikan, mengafani, dan memanggulnya ke liang kubur sambil berjingkat. Melihat itu para sahabat bertanya,

"Wahai Rasulullah, kami melihat engkau berjalan berjingkat, ada apa?" tanya para sahabat.

"Karena aku tidak dapat meletakkan kedua kakiku di tanah saking banyaknya malaikat yang ikut takziah..."

========

Subhanallah. Saudaraku, bisakah kita bertobat seperti tobatnya Tsa’labah?

Bila satu dosa yang kita lakukan harus kita tobati selama empat puluh hari, kiranya berapa tahun harus menobati dosa-dosa diri ini?