|| Oleh: Ali
Ghufron Sudirman ||
Saudaraku,
kita hidup di dunia ini dibekali modal yang sama oleh Allah, yaitu modal umur dan waktu. Kita sama-sama diberi
modal umur mulai dari nol. Kita juga sama-sama diberi modal waktu 24 jam setiap
hari. Tapi nyatanya, meskipun modal sama, nasib kita berbeda-beda. Cara kita
menyikapi modal juga tidak sama.
Ada orang yang
mampu mengisi umurnya, bahkan sejak kecil dengan hal-hal positif dan baik. Tapi
ada pula orang yang bahkan sudah renta masih memenuhi hidupnya dengan maksiat
dan perbuatan durhaka. Ada anak yang sejak kecil sudah menjadi hafidz dan
hamilul Quran. Ia mahir membaca Al-Quran dan memahami kandungan isinya. Tapi
ada juga orang yang bahkan sudah tua, membaca Al-Quran saja belum bisa,
termasuk juga memahaminya. Juz Amma saja tidak segera hafal, meski umurnya
sudah berkepala tiga.
Mengapa
demikian? Bisa jadi itu karena cara kita menyikapi modal tidak sama.
Kita juga
diberi modal waktu yang sama. Sama-sama 24 jam setiap hari. Tapi hasilnya pun
berbeda-beda. Ada orang yang dapat mengisi detik-detik waktunya dengan tindakan
positif yang menguntungkan, ada pula yang membiarkannya terbuang percuma.
Dengan kondisi
yang sama, saat azan sudah terdengar di telinga, penyikapan kita berbeda-beda. Ada
orang yang ketika mendengar azan segera mengambil wudu untuk bergegas ke
masjid. Tapi ada pula orang yang ketika mendengar azan tidak begitu
menghiraukan sampai iqamah dikumandangkan. Bahkan ada pula yang sama sekali
tidak memperhatikan meski shalat sudah selesai ditunaikan. Sama-sama sudah
berada di masjid pun cara kita menyikapi waktu tidak sama. Ada yang sampai
masjid kemudian segera shalat dan iktikaf sembari menunggu iqamah. Ada pula
yang ngobrol dan nongkrong-nongkrong dulu sampai iqamah dikumandangkan.
Karena
penyikapan kita yang berbeda maka nilai dan kualitas kebermanfaatan modal yang
ada juga tidak sama. Untuk itu ada orang yang berpredikat rugi, ada pula yang
disebut beruntung. Ada orang yang berpredikat cerdas, ada pula orang yang
dianggap tidak begitu pintar.
Dalam
literatur agama kita, al-kayyis atau orang yang cerdas, sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di dalam Sunannya, adalah orang yang mau
terus-menerus memuhasabah dan mengevaluasi diri. al-kayyis adalah orang
yang mau terus memerhatikan neraca perbandingan antara modal yang ada dengan
hasil yang diperoleh. Sedangkan al-ajiz atau orang yang lalai dan dungu
adalah orang yang terus-menerus berbuat sesukanya dan menuruti sekemauannya,
tapi ia berandai akan meraih keuntungan. Padahal modal waktu dan usianya
dihamburkan untuk sesuatu yang tidak berguna.
Saudaraku,
sepintar apa kita memanfaatkan modal yang ada maka sesukses itulah kita. Dan
karena tabiat waktu serta usia tak dapat kita tarik kembali maka semakin kita
tidak pintar memenejnya, semakin menyesal pula kita dibuatnya.
Tentu kita
pernah lalai. Tentu kita pernah alpa. Tapi tak mungkin bila lalai dan alpa itu
selamanya. Maka mari kita isi waktu dan usia yang ada ini sebaik mungkin agar
kita tidak begitu menyesal di akhir nanti. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...