Istilah "Islam Nusantara"
belakangan ramai diperbincangkan. Istilah yang diproduksi oleh kalangan di
tubuh Nahdlatul Ulama (NU) ini belakangan aktif dikenalkan oleh Menteri Agama
Lukman Hakim Syaifuddin. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi pun
ikut menyebutnya.
Istilah baru sebagai lawan istilah
"Islam Transnasional" yang diproduksi untuk menyebut kelompok
organisasi Islam yang berjuang untuk tegaknya syariat Islam secara legal formal
dan memiliki jaringan ke Timur Tengah ini mencuat karena pertama kali
dimunculkan dalam praktik pembacaan Alquran dengan langgam Jawa di Istana
Negara Jakarta saat peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Saw 1436 beberapa waktu
lalu.
Walaupun gagasan ini lahir dari sebagian
kalangan "Islam Tradisional", namun tidak semua tokoh dan ulama dari
kalangan tradisional menyetujuinya. Salah seorang Rais Syuriah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Ali Musthafa Ya'kub, MA., termasuk salah satu
ulama yang menolak gagasan Islam Nusantara bila yang dimaksud adalah menjadikan
Nusantara sebagai "sumber".
Pendapat-pendapat Kyai kelahiran Batang,
Jawa Tengah, 2 Maret 1952 yang pernah mondok di Pesantren Tebuireng, Jombang
itu, terungkap dalam wawancara singkat dengan penulis Jejak Islam, Andi
Ryansyah, di ruang Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (19/6). Berikut
sebagian kutipan wawancara tersebut:
Bagaimana pandangan Pak Kyai tentang
istilah "Islam Nusantara"?
Kalau "Islam Nusantara" itu
Islam di Nusantara, maka tepat. Kalau "Islam Nusantara" itu Islam
yang bercorak budaya Nusantara, dengan catatan selama budaya Nusantara itu
tidak bertentangan dengan Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau "Islam
Nusantara" itu Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka
itu tidak tepat. Sebab sumber agama Islam itu Alquran dan Hadis. Apa yang
datang dari Nabi Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya.Yang wajib
kita ikuti adalah agama, akidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar
lagi. Tapi kalau budaya, kita boleh ikuti dan boleh juga tidak diikuti.
Contoh budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti.
Demikian pula budaya Nusantara. Selama
budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti.
Saya pakai sarung itu budaya Nusantara dan itu tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Shalat pakai koteka itu juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan
dengan ajaran Islam, maka itu tidak boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan
budaya.
Tadi Pak Kiai menyatakan Islam yang
bercorak budaya Nusantara itu tepat, padahal Pak Kiai tadi juga menyatakan
sumber agama Islam bukan dari apa yang ada di Nusantara, jadi maksudnya apa Pak
Kyai?
Maksud saya, Islam yang bercorak budaya
Nusantara itu boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau
Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, baik akidah maupun ibadah
harus asli dari Nusantara, maka itu tidak tepat.
Tapi saya katakan Islam itu bukan Arab
sentris. Islam itu apa kata Alquran dan Hadis, bukan Arab sentris. Tidak semua
budaya Arab harus kita ambil. Sebab ada budaya Arab yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Contohnya, orang-orang minum khamr di zaman Nabi dan beristri
lebih dari empat.
Tadi saya katakan, Nabi pakai sorban, apa
kita wajib pakai sorban? Tidak ada hadits yang menunjukkan keutamaan memakai
sorban. Tidak ada hadits yang mengatakan memakai sorban itu mendapat pahala.
Para ulama mengatakan sorban itu budaya Nabi, budaya kaum Nabi pada zamannya.
Pak Kyai bagaimana sebaiknya umat Islam
memandang budaya?
Sepanjang budaya tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, maka kita boleh mengambilnya. Ini masuk wilayah muamalah.
Silakan ikuti budaya Arab, silakan pakai sorban. Tapi jangan mengatakan orang
yang tidak pakai sorban, tidak mengikuti Nabi. Saya pukul kalau ada orang yang
mengatakan seperti itu. Silakan makan roti karena mengikuti budaya Nabi. Tapi
jangan mengatakan orang yang makan nasi, tidak mengikuti Nabi.
Demikian juga budaya Nusantara. Sepanjang
budaya Nusantara tidak bertentangan dengan Islam, silakan ambil. Islam sangat
memberikan peluang bagi budaya, selama budaya itu tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, boleh kita ambil. Silakan berkreasi dan ambil budaya apapun,
selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kemunculan "Islam Nusantara"
ini membuat sebagian orang membandingkan dengan "Islam Arab",
bagaimana menurut Pak Kiai?
Saya tidak sependapat dengan
bandingan-bandingan seperti itu. Islam itu Islam saja.
Jadi istilah "Islam Nusantara"
itu tidak ada ya Pak Kiai?
Ya, Islam itu agama. Nusantara itu
budaya. Tidak bisa disatukan antara agama dan budaya.
Apa nasihat Pak Kyai untuk umat Islam di
tengah polemik isu “Islam Nusantara” serta NU dan “Wahabi” ?
Pertama, kita harus membedakan antara
agama dan budaya. Agama: akidah dan syariah, kita harus mengikuti Rasulullah.
Sementara, budaya itu masuk muamalah. Budaya apa pun, termasuk budaya Arab
selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, silakan. Tapi hati-hati, sebab
bisa saja orang pakai sorban itu dalam rangka mencari popularitas. Ketika semua
orang tidak pakai sorban, tapi ada satu orang pakai sorban, maka itu diharamkan
dalam Islam karena sorban itu menjadi pakaian popularitas. Menurut seorang
Ulama Arab, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, hal itu
menunjukkan kesombongan. Penampilan itu menunjukkan seorang merasa lebih mirip
nabi. Itu arogan dan tidak bagus.
Kedua, NU dan “Wahabi” tidak ada
pertentangan, yang ada perbedaan. Persamaannya banyak dan perbedaannya sedikit.
Perbedaannya itu tidak menimbulkan kekafiran dan perbedaan itu tidak terjadi
setelah NU dan “Wahabi” ada. Jadi perbedaannya hanya dalam
hal furu’iyyah, bukan hal yang prinsip.
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...