Tuesday, 23 June 2015

Putusan MK Soal NIkah Beda Agama Sudah Tepat!

Laman Madinaonline.id yang dikomandoi Ade Armando, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia melayangkan kritik pedas terhadap MK karena menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Beda Agama.

Dalam artikel dengan judul Praktik Nikah Beda Agama Takkan Surut dengan Putusan Diskriminatif MK, disebutkan bahwa putusan MK ini jelas melanggengkan diskriminasi terhadap pasangan nikah beda agama.

Dengan mengutip pernyataan Ahmad Nurcholish, konselor sekaligus pelaku nikah beda agama dan penulis buku Menjawab ‘101 Masalah Nikah Beda Agama’, media yang digawangi oleh para murid Cak Nur ini menyatakan bahwa penolakan MK itu menandaskan bahwa para elite hukum dan juga agamawan belum siap menerima perbedaan dan kepelbagaian yang berkembang di tengah masyarakat.

Disebutkan pula bahwa dengan penolakan ini, MK sebagai pengawal konstitusi yang mengklaim lembaga peradilan modern dan tepercaya telah gagal menjadi pilar yang mengokohkan semangat demokrasi dan kebhinekaan Indonesia.

Putusan yang Tepat

Tapi kritik dan keberatan itu sepertinya terbantahkan. Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri menyatakan dalam keputusannya bahwa keabsahan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan begitu, tuduhan diskriminasi dan kegagalan menjadi pilar bagi pengokohan demokrasi dan kebhinekaan dianggap kurang beralasan.

Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) juga mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Wakil ketua umum PBNU, Asad Said Ali mengatakan, dasar hukum yang ada di Indonesia tidak bisa disamakan dengan dunia barat. Indonesia memiliki pancasila sebagai falsafah bangsa.

"Ini bukan sekedar masalah kemanusiaan. Ini konsepsi dan toleransi yang berbeda antara Barat dan Timur. Jadi saya mendukung putusan MK tersebut," ujar Asad Said Ali kepada ROL, Ahad (21/6).

Ia menjelaskan, syarat sah suatu perkawinan haruslah dicatat oleh negara dan agama. Sehingga jika perkawinan beda agama disahkan maka akan menimbulkan kesemerawutan sosial. Sehingga akan terjadi konflik dan mengancam keutuhan bangsa.

Menurutnya, langkah yang ditempuh pemohon dengan mengajukan gugatan UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 tersebut sebagai upaya sistematis Indonesia menganut kebebasan beragama seperti di dunia barat. Namun, hal ini tentu ditentang oleh banyak pihak karena Indonesia memiliki pancasila yang tidak dimiliki negara lain. Tradisi yang ada di indonesai harus menjadi bagian dari masyarakat. Sehingga tidak terpisahkan dari historis bangsa.

Pernikahan Tidak Bisa Dipisahkan dari Nilai Agama

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga mengaku sependapat dengan putusan MK tersebut. Ia mengatakan, pernikahan adalah suatu peristiwa sakral. Sehingga pernikahan harus dilangsungkan sesuai dengan ketentuan agama yang dianut calon mempelai.

"Karena pernikahan adalah peristiwa sakral sehingga nilai-nilai agama tidak bisa dipisahkan dari peristiwa itu," ujar Lukman.

Ia menjelaskan, Indonesia menempatkan agama sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari praktik kehidupan bermasyarakat. Sehingga pernikahan bukan hanya peristiwa hukum semata melainkan juga peristiwa ritual kegamaan dan bagian dari ibadah.

Menurutnya, tidak bisa dipungkiri ada sebagian pihak yang menghendaki pernikahan tidak harus dikaitkan dengan agama. Tentu kita menghormati pemikiran tersebut. Namun penghormatan dan penghargaan yang diberikan tidak dimaknai sebagai persetujuan.

"Masyarakat Indonesia dikenal sangat menjunjung tinggi nilai agama. Maka pemisahaan agama dalam pernikahan sesuatu yang tidak dimungkinkan," katanya.

Pernikahan Beda Agama Sulit Mewujudkan Keluarga Sakinah

Sementara itu, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai pernikahan beda agama akan menyulitkan pembangunan keluarga sakinah. Sehingga, ia pun mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi pernikahan beda agama pasal 2 ayat 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Mu'ti menilai keluarga memiliki dampak dalam pembangunan bangsa ini. Ia menilai keluarga harus kuat bila ingin banga ini kuat.

"Kalau keluarga lemah bangsa akan lemah," kata Mu'ti.
Ia menyatakan, berdasarkan ajaran Islam, pernikahan itu bertujuan untuk membangun keluarga yang sakinah. Oleh karena itu, secara teoretis, tujuan itu sulit tercapai jika pasangan yang menikah berbeda agama. 

Mu'ti mengaku pernikahan adalah bagian dari proses regenerasi. Banyak kasus dari pernikahan beda agama, kata Mu'ti mengakibatkan masalah terutama terkait pendidikan agama bagi anak.

Selain itu, kata dia, kerap terjadi perceraian yang diakibatkan perkawinan beda agama. Mu'ti menilai hal ini penting untuk mewujudkan keluarga sebagai institusi sosial dalam pembangunan kekuatan bangsa. 

Semua Pihak Diharap Menghormati Putusan MK

Oleh karena itu, Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay meminta semua pihak untuk menghormati putusan MK tersebut karena telah melalui proses pemeriksaan materi perkara secara mendalam.

"Saya sependapat dengan argumen hakim yang menyebutkan bahwa pernikahan tidak saja menyangkut persoalan administratif kenegaraan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan spiritual dan sosial. Bahkan, menurut saya, persoalan spiritual sangat dominan dalam pernikahan," ujar Saleh.

Menurutnya, jika pernikahan beda agama tetap dipaksakan maka dikhawatirkan akan mengganggu keyakinan umat beragama. Menurutnya, membela HAM tidak boleh menggangu HAM orang lain.

Ia melanjutkan, selama ini tidak ada persoalan sosial yang kelihatan menonjol sehingga pernikahan beda agama harus diperbolehkan. Bahkan, isu legalisasi nikah beda agama justru menimbulkan kontroversi dan perdebatan.

"Saya kira dalam memutus perkara, MK selalu melihat berbagai hal secara holistik. Termasuk pandangan dan masukan dari masyarakat. Sebab setelah diputus, putusannya final dan mengikat," katanya. (ROL)

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...