Laman Madinaonline.id yang dikomandoi Ade
Armando, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia melayangkan kritik pedas
terhadap MK karena menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Beda Agama.
Dalam artikel dengan judul Praktik Nikah Beda
Agama Takkan Surut dengan Putusan Diskriminatif MK, disebutkan bahwa putusan MK
ini jelas melanggengkan diskriminasi terhadap pasangan nikah beda agama.
Dengan mengutip pernyataan Ahmad Nurcholish, konselor
sekaligus pelaku nikah beda agama dan penulis buku Menjawab ‘101 Masalah Nikah
Beda Agama’, media yang digawangi oleh para murid Cak Nur ini menyatakan bahwa penolakan
MK itu menandaskan bahwa para elite hukum dan juga agamawan belum siap menerima
perbedaan dan kepelbagaian yang berkembang di tengah masyarakat.
Disebutkan pula bahwa dengan penolakan ini, MK sebagai
pengawal konstitusi yang mengklaim lembaga peradilan modern dan tepercaya telah
gagal menjadi pilar yang mengokohkan semangat demokrasi dan kebhinekaan
Indonesia.
Putusan yang Tepat
Tapi kritik dan keberatan itu sepertinya
terbantahkan. Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri menyatakan dalam
keputusannya bahwa keabsahan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan begitu, tuduhan
diskriminasi dan kegagalan menjadi pilar bagi pengokohan demokrasi dan
kebhinekaan dianggap kurang beralasan.
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) juga mendukung putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut.
Wakil ketua umum PBNU, Asad Said Ali
mengatakan, dasar hukum yang ada di Indonesia tidak bisa disamakan dengan dunia
barat. Indonesia memiliki pancasila sebagai falsafah bangsa.
"Ini bukan sekedar masalah kemanusiaan. Ini konsepsi dan toleransi yang
berbeda antara Barat dan Timur. Jadi saya mendukung putusan MK tersebut," ujar
Asad Said Ali kepada ROL, Ahad (21/6).
Ia menjelaskan, syarat sah suatu perkawinan haruslah dicatat oleh negara dan
agama. Sehingga jika perkawinan beda agama disahkan maka akan menimbulkan
kesemerawutan sosial. Sehingga akan terjadi konflik dan mengancam keutuhan
bangsa.
Menurutnya, langkah yang ditempuh pemohon dengan mengajukan gugatan UU
Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 tersebut sebagai upaya sistematis Indonesia
menganut kebebasan beragama seperti di dunia barat. Namun, hal ini tentu
ditentang oleh banyak pihak karena Indonesia memiliki pancasila yang tidak
dimiliki negara lain. Tradisi yang ada di indonesai harus menjadi bagian dari
masyarakat. Sehingga tidak terpisahkan dari historis bangsa.
Pernikahan Tidak Bisa Dipisahkan dari Nilai Agama

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga mengaku
sependapat dengan putusan MK tersebut. Ia mengatakan, pernikahan adalah suatu
peristiwa sakral. Sehingga pernikahan harus dilangsungkan sesuai dengan
ketentuan agama yang dianut calon mempelai.
"Karena pernikahan adalah peristiwa sakral sehingga nilai-nilai agama
tidak bisa dipisahkan dari peristiwa itu," ujar Lukman.
Ia menjelaskan, Indonesia menempatkan agama sebagai sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dari praktik kehidupan bermasyarakat. Sehingga pernikahan bukan
hanya peristiwa hukum semata melainkan juga peristiwa ritual kegamaan dan
bagian dari ibadah.
Menurutnya, tidak bisa dipungkiri ada sebagian pihak yang menghendaki
pernikahan tidak harus dikaitkan dengan agama. Tentu kita menghormati pemikiran
tersebut. Namun penghormatan dan penghargaan yang diberikan tidak dimaknai
sebagai persetujuan.
"Masyarakat Indonesia dikenal sangat menjunjung tinggi nilai agama. Maka
pemisahaan agama dalam pernikahan sesuatu yang tidak dimungkinkan,"
katanya.
Pernikahan Beda Agama Sulit Mewujudkan Keluarga
Sakinah
Sementara itu, Sekretaris Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai pernikahan beda agama akan menyulitkan
pembangunan keluarga sakinah. Sehingga, ia pun mendukung putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi pernikahan beda agama pasal
2 ayat 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mu'ti menilai keluarga memiliki dampak dalam
pembangunan bangsa ini. Ia menilai keluarga harus kuat bila ingin banga ini
kuat.
"Kalau keluarga lemah bangsa akan
lemah," kata Mu'ti.
Ia menyatakan, berdasarkan ajaran Islam,
pernikahan itu bertujuan untuk membangun keluarga yang sakinah. Oleh karena
itu, secara teoretis, tujuan itu sulit tercapai jika pasangan yang menikah
berbeda agama.
Mu'ti mengaku pernikahan adalah bagian dari
proses regenerasi. Banyak kasus dari pernikahan beda agama, kata Mu'ti
mengakibatkan masalah terutama terkait pendidikan agama bagi anak.
Selain itu, kata dia, kerap terjadi perceraian
yang diakibatkan perkawinan beda agama. Mu'ti menilai hal ini penting untuk mewujudkan
keluarga sebagai institusi sosial dalam pembangunan kekuatan bangsa.
Semua Pihak Diharap Menghormati Putusan MK
Oleh karena itu, Ketua Komisi VIII DPR RI,
Saleh Partaonan Daulay meminta semua pihak untuk menghormati putusan MK
tersebut karena telah melalui proses pemeriksaan materi perkara secara
mendalam.
"Saya sependapat dengan argumen hakim yang
menyebutkan bahwa pernikahan tidak saja menyangkut persoalan administratif
kenegaraan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan spiritual dan sosial.
Bahkan, menurut saya, persoalan spiritual sangat dominan dalam
pernikahan," ujar Saleh.
Menurutnya, jika pernikahan beda agama tetap
dipaksakan maka dikhawatirkan akan mengganggu keyakinan umat beragama.
Menurutnya, membela HAM tidak boleh menggangu HAM orang lain.
Ia melanjutkan, selama ini tidak ada persoalan
sosial yang kelihatan menonjol sehingga pernikahan beda agama harus
diperbolehkan. Bahkan, isu legalisasi nikah beda agama justru menimbulkan
kontroversi dan perdebatan.
"Saya kira dalam memutus perkara, MK
selalu melihat berbagai hal secara holistik. Termasuk pandangan dan masukan
dari masyarakat. Sebab setelah diputus, putusannya final dan mengikat,"
katanya. (ROL)