
Pada
kenyataannya, tidak ada seorang pun yang dapat menentukan dengan pasti kapan
jatuhnya malam lailatul qadar. Para ulama saling berbeda pendapat ketika
memperkirakan jatuhnya malam lailatul qadar, sampai Al-Hafiz Ibnu Hajar
mengatakan bahwa ada empat puluh enam pendapat tentang hal ini. Ibnul Arabi,
setelah menjelaskan sejumlah besar pendapat tentang kapan jatuhnya malam
lailatul qadar, dia berkata, “Yang benar dari semua pendapat adalah bahwa malam
lailatul qadar itu tidak diketahui kepastian tanggal jatuhnya.”
Namun,
meski kepastiannya tidak dapat ditentukan, dari sekian pendapat yang ada, mayoritas
menyatakan bahwa lailatul qadar jatuh pada sepuluh malam yang terakhir di bulan
Ramadhan. Inilah sebabnya mengapa Rasulullah Saw. semakin bersungguh-sungguh
menjalankan ibadah pada sepuluh hari yang terakhir. Aisyah r.a. berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ
وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ . (رواه البخاري ومسلم)
Rasulullah Saw. apabila memasuki sepuluh (hari yang
terakhir di bulan Ramadhan, beliau akan mengencangkan pakaian bawahnya,
menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut
keterangan Ibnu Hajar di dalam fathul Bari, mengencangkan pakaian bawah
merupakan kinayah dari sikap bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi
hal-hal lainnya, seperti menggauli istri. Sedangkan yang dimaksud dengan
menghidupkan malamnya ialah mengisi malam seluruhnya dengan qiyamulail, beribadah,
dan amalan-amalan ketaatan. Selain itu, Rasulullah juga membangunkan para
istrinya agar mereka ikut serta dalam memperbanyak kebajikan, zikir, dan
amalan-amalan saleh pada waktu-waktu yang penuh berkah ini.
Di
antara tanda-tanda yang menunjukkan Rasulullah saw. bertambah serius dalam
sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan ialah, beliau melaksanakan iktikaf
di dalam masjid, yakni mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Allah Swt,
sebagaimana yang diceritakan oleh ummul mukminin Aisyah r.a.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ . (رواه
البخاري ومسلم)
Bahwasanya Nabi Saw. beriktikaf pada sepuluh yang akhir dari
bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah, kemudian sesudah wafatnya,
istri-istri beliau juga beriktikaf. (HR. Bukhari-Muslim)
Mengenai
anjuran mencari malam lailatul qadar pada sepuluh hari yang terakhir, Aisyah
r.a. berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
وَيَقُولُ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ
رَمَضَانَ . (رواه البخاري ومسلم)
Rasulullah Saw. beriktikaf pada sepuluh yang akhir dari
bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh yang
akhir dari bulan Ramadhan. (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits
ini masih umum. Namun ia telah dikhususkan oleh hadits dari Abu Sa’id yang
menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah menganjurkan para sahabat untuk mencari
lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, khususnya pada
malam-malam ganjil, yakni malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima,
dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan. Abu Sa’id r.a. berkata bahwa
Rasulullah Saw. bersabda:
إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
فِي الْوَتْرِ . (رواه البخاري ومسلم)
Sesungguhnya pernah ditampakkan kepadaku lailatul qadar,
kemudian dijadikan aku lupa. Carilah lailatul qadar pada sepuluh yang akhir di
malam-malam yang ganjil (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah
pendapat yang paling rajih dan paling patut dijadikan sandaran. Namun,
berhubung awal Ramadhan yang berbeda antara satu negara dengan negara yang
lain, sehingga malam-malam yang ganjil tidak bersamaan, maka sebaiknya lebih
selamat mencari malam lailatul qadar pada semua malam sepuluh yang terakhir.
Karena dengan begitu, peluang untuk memperoleh malam lailatul qadar jauh lebih
besar.
Dalam konteks di Indonesia, dengan potensi perbedaan awal puasa yang masih terus-menerus ada maka malam-malam ganjilnya pun berbeda-beda. Tahun ini, misalnya, malam yang dianggap ganjil oleh masyarakat yang mengikuti hisab Muhammadiyah akan disebut sebagai malam genap oleh masyarakat yang mengikuti ru’yah pemerintah. Padahal, malam lailatul qadar itu hanya satu malam dalam Ramadan dan ia jatuh pada malam yang ganjil. Maka pertanyaannya, jatuh pada malam ganjil versi siapa? Untuk itu, akan lebih baik bila kita mencarinya pada sepuluh malam yang terakhir secara keseluruhan.
Imam
malik mengatakan bahwa hendaknya seorang Muslim mencari lailatul qadar pada
malam sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan secara keseluruhan, tanpa
harus memprioritaskan suatu malam atas malam yang lain. Hal ini jauh lebih aman
dan menjanjikan untuk mendapatkan lailatul qadar. Kita tidak tahu kepastian
kapan jatuhnya malam lailatul qadar. Namun berdasar pendapat yang paling rajih,
kita tahu bahwa malam lailatul qadar hampir bisa dipastikan jatuh pada sepuluh
malam yang terakhir di bulan Ramadhan, terutama di malam-malamnya yang ganjil.
Untuk itu, akan lebih baik apabila selama sepuluh malam yang terakhir ini kita
meningkatkan intensitas amal ibadah, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. seperti tersebut pada hadits tentang iktikaf di atas. Lagi pula, pada
setiap tahunnya, malam lailatul qadar itu berpindah-pindah dari satu malam ke
malam yang lain, sehingga tidak tepat apabila kita hanya mencarinya pada suatu
malam tertentu, meskipun itu di salah satu dari sepuluh malam yang terakhir.
Mengapa Kepastian Lailatul Qadar Dikaburkan?
Menurut
imam Fakhrurrazi, Allah menyembunyikan malam lailatul qadar dari pengetahuan
kita, sebagaimana Dia menyembunyikan segala sesuatu yang lain. Allah
menyembunyikan keridhaan-Nya pada setiap amal ketaatan, sehingga timbul dalam
diri kita keinginan untuk melakukan semua ketaatan atau amal ibadah. Begitu
juga, Allah menyembunyikan kemurkaan-Nya pada setiap perkara maksiat, agar kita
berhati-hati dan menjauhi segala maksiat dan tidak memilih antara dosa besar
dan kecil untuk melakukannya; kerana dosa kecil jika terus dilakukan secara
kontinu akan menjadi dosa besar jika kita tidak bertobat dan berusaha
meninggalkannya. Allah juga menyembunyikan wali-wali-Nya di antara para
manusia, agar orang-orang dapat menaruh hormat kepada siapa saja tanpa pandang
bulu. Juga agar manusia tidak terlalu bergantung kepada mereka dalam berdoa,
kemudian berusaha sendiri dengan penuh keikhlasan demi mendapatkan sesuatu
daripada-Nya, kerana Allah menerima segala doa orang yang bersungguh-sungguh
dan tidak mudah berputus asa. Begitu juga, Allah menyembunyikan penerimaan
tobat dan amalan yang telah dilakukan seseorang supaya kita sentiasa istikamah
dan ikhlas dalam beramal, serta selalu bersegera melakukan tobat.
Demikian
halnya dengan disembunyikannya malam lailatul qadar, agar kita senantiasa
menghidupkan keseluruhan malam Ramadhan dengan mendekatkan diri kepada
Allah--bukan hanya sekadar menunggu malam lailatul qadar saja untuk beribadah
dan berdoa.
*Dinukil dari Buku “Lailatul Qadar;
Memburu Malam Seribu Bulan” Ali Ghufron Sudirman (Jakarta: Amzah, 2011)
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...