Thursday 9 July 2015

Kapan Kepastian Tanggal Lailatul Qadar?


Pada kenyataannya, tidak ada seorang pun yang dapat menentukan dengan pasti kapan jatuhnya malam lailatul qadar. Para ulama saling berbeda pendapat ketika memperkirakan jatuhnya malam lailatul qadar, sampai Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa ada empat puluh enam pendapat tentang hal ini. Ibnul Arabi, setelah menjelaskan sejumlah besar pendapat tentang kapan jatuhnya malam lailatul qadar, dia berkata, “Yang benar dari semua pendapat adalah bahwa malam lailatul qadar itu tidak diketahui kepastian tanggal jatuhnya.”

Namun, meski kepastiannya tidak dapat ditentukan, dari sekian pendapat yang ada, mayoritas menyatakan bahwa lailatul qadar jatuh pada sepuluh malam yang terakhir di bulan Ramadhan. Inilah sebabnya mengapa Rasulullah Saw. semakin bersungguh-sungguh menjalankan ibadah pada sepuluh hari yang terakhir. Aisyah r.a. berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ . (رواه البخاري ومسلم)

Rasulullah Saw. apabila memasuki sepuluh (hari yang terakhir di bulan Ramadhan, beliau akan mengencangkan pakaian bawahnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut keterangan Ibnu Hajar di dalam fathul Bari, mengencangkan pakaian bawah merupakan kinayah dari sikap bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi hal-hal lainnya, seperti menggauli istri. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkan malamnya ialah mengisi malam seluruhnya dengan qiyamulail, beribadah, dan amalan-amalan ketaatan. Selain itu, Rasulullah juga membangunkan para istrinya agar mereka ikut serta dalam memperbanyak kebajikan, zikir, dan amalan-amalan saleh pada waktu-waktu yang penuh berkah ini.

Di antara tanda-tanda yang menunjukkan Rasulullah saw. bertambah serius dalam sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan ialah, beliau melaksanakan iktikaf di dalam masjid, yakni mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Allah Swt, sebagaimana yang diceritakan oleh ummul mukminin Aisyah r.a.:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ . (رواه البخاري ومسلم)

Bahwasanya Nabi Saw. beriktikaf pada sepuluh yang akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah, kemudian sesudah wafatnya, istri-istri beliau juga beriktikaf. (HR. Bukhari-Muslim)

Mengenai anjuran mencari malam lailatul qadar pada sepuluh hari yang terakhir, Aisyah r.a. berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ . (رواه البخاري ومسلم)

Rasulullah Saw. beriktikaf pada sepuluh yang akhir dari bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh yang akhir dari bulan Ramadhan. (HR. Bukhari-Muslim)

Hadits ini masih umum. Namun ia telah dikhususkan oleh hadits dari Abu Sa’id yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah menganjurkan para sahabat untuk mencari lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam ganjil, yakni malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan. Abu Sa’id r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوَتْرِ . (رواه البخاري ومسلم)

Sesungguhnya pernah ditampakkan kepadaku lailatul qadar, kemudian dijadikan aku lupa. Carilah lailatul qadar pada sepuluh yang akhir di malam-malam yang ganjil (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah pendapat yang paling rajih dan paling patut dijadikan sandaran. Namun, berhubung awal Ramadhan yang berbeda antara satu negara dengan negara yang lain, sehingga malam-malam yang ganjil tidak bersamaan, maka sebaiknya lebih selamat mencari malam lailatul qadar pada semua malam sepuluh yang terakhir. Karena dengan begitu, peluang untuk memperoleh malam lailatul qadar jauh lebih besar.


Dalam konteks di Indonesia, dengan potensi perbedaan awal puasa yang masih terus-menerus ada maka malam-malam ganjilnya pun berbeda-beda. Tahun ini, misalnya, malam yang dianggap ganjil oleh masyarakat yang mengikuti hisab Muhammadiyah akan disebut sebagai malam genap oleh masyarakat yang mengikuti ru’yah pemerintah. Padahal, malam lailatul qadar itu hanya satu malam dalam Ramadan dan ia jatuh pada malam yang ganjil. Maka pertanyaannya, jatuh pada malam ganjil versi siapa? Untuk itu, akan lebih baik bila kita mencarinya pada sepuluh malam yang terakhir secara keseluruhan.


Imam malik mengatakan bahwa hendaknya seorang Muslim mencari lailatul qadar pada malam sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan secara keseluruhan, tanpa harus memprioritaskan suatu malam atas malam yang lain. Hal ini jauh lebih aman dan menjanjikan untuk mendapatkan lailatul qadar. Kita tidak tahu kepastian kapan jatuhnya malam lailatul qadar. Namun berdasar pendapat yang paling rajih, kita tahu bahwa malam lailatul qadar hampir bisa dipastikan jatuh pada sepuluh malam yang terakhir di bulan Ramadhan, terutama di malam-malamnya yang ganjil. Untuk itu, akan lebih baik apabila selama sepuluh malam yang terakhir ini kita meningkatkan intensitas amal ibadah, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. seperti tersebut pada hadits tentang iktikaf di atas. Lagi pula, pada setiap tahunnya, malam lailatul qadar itu berpindah-pindah dari satu malam ke malam yang lain, sehingga tidak tepat apabila kita hanya mencarinya pada suatu malam tertentu, meskipun itu di salah satu dari sepuluh malam yang terakhir.

Mengapa Kepastian Lailatul Qadar Dikaburkan?

Menurut imam Fakhrurrazi, Allah menyembunyikan malam lailatul qadar dari pengetahuan kita, sebagaimana Dia menyembunyikan segala sesuatu yang lain. Allah menyembunyikan keridhaan-Nya pada setiap amal ketaatan, sehingga timbul dalam diri kita keinginan untuk melakukan semua ketaatan atau amal ibadah. Begitu juga, Allah menyembunyikan kemurkaan-Nya pada setiap perkara maksiat, agar kita berhati-hati dan menjauhi segala maksiat dan tidak memilih antara dosa besar dan kecil untuk melakukannya; kerana dosa kecil jika terus dilakukan secara kontinu akan menjadi dosa besar jika kita tidak bertobat dan berusaha meninggalkannya. Allah juga menyembunyikan wali-wali-Nya di antara para manusia, agar orang-orang dapat menaruh hormat kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Juga agar manusia tidak terlalu bergantung kepada mereka dalam berdoa, kemudian berusaha sendiri dengan penuh keikhlasan demi mendapatkan sesuatu daripada-Nya, kerana Allah menerima segala doa orang yang bersungguh-sungguh dan tidak mudah berputus asa. Begitu juga, Allah menyembunyikan penerimaan tobat dan amalan yang telah dilakukan seseorang supaya kita sentiasa istikamah dan ikhlas dalam beramal, serta selalu bersegera melakukan tobat.

Demikian halnya dengan disembunyikannya malam lailatul qadar, agar kita senantiasa menghidupkan keseluruhan malam Ramadhan dengan mendekatkan diri kepada Allah--bukan hanya sekadar menunggu malam lailatul qadar saja untuk beribadah dan berdoa.


*Dinukil dari Buku “Lailatul Qadar; Memburu Malam Seribu Bulan” Ali Ghufron Sudirman (Jakarta: Amzah, 2011)

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...