Showing posts with label materi ceramah. Show all posts
Showing posts with label materi ceramah. Show all posts

Friday, 10 July 2015

Ini Amalan Wanita Haid di Malam Lailatul Qadar



Ada yang bertanya, apakah wanita haid bisa mendapatkan lailatul qadar? Lantas apa yang bisa dilakukan oleh wanita haid untuk mendapatkan malam lailatul qadar itu?

===

Wahai saudariku, pertama-tama ketahuilah bahwa Allah menetapkan siklus haid demi sebuah hikmah yang agung, maka terimalah ia sebagaimana engkau menerima qada dan qadar Allah yang lain.
Kemudian ketahuilah bahwa Allah tetap menulis pahala amal saleh yang biasa dilakukan seseorang apabila orang itu tidak dapat melakukannya karena suatu halangan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa bahwa Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Artinya:

Apabila seorang hamba sakit atau sedang bepergian maka akan ditulis untuknya pahala amal yang biasa ia lakukan ketika sedang tidak bepergian atau saat sedang sehat.

Thursday, 9 July 2015

Kapan Kepastian Tanggal Lailatul Qadar?


Pada kenyataannya, tidak ada seorang pun yang dapat menentukan dengan pasti kapan jatuhnya malam lailatul qadar. Para ulama saling berbeda pendapat ketika memperkirakan jatuhnya malam lailatul qadar, sampai Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa ada empat puluh enam pendapat tentang hal ini. Ibnul Arabi, setelah menjelaskan sejumlah besar pendapat tentang kapan jatuhnya malam lailatul qadar, dia berkata, “Yang benar dari semua pendapat adalah bahwa malam lailatul qadar itu tidak diketahui kepastian tanggal jatuhnya.”

Namun, meski kepastiannya tidak dapat ditentukan, dari sekian pendapat yang ada, mayoritas menyatakan bahwa lailatul qadar jatuh pada sepuluh malam yang terakhir di bulan Ramadhan. Inilah sebabnya mengapa Rasulullah Saw. semakin bersungguh-sungguh menjalankan ibadah pada sepuluh hari yang terakhir. Aisyah r.a. berkata:

Ramadan Masuk Babak Final

Ramadan telah memasuki babak akhir dan penentuan. Mari kita kembali mengatur strategi, memompa energi, dan menguatkan visi misi demi meraih trofi yang kita cari. Akan sangat sayang bila kita sampai gugur di babak ini. Akan sangat rugi bila kita berhenti hanya sampai di sini.

Mari saudaraku, di sepuluh hari terakhir bulan suci ini, di saat banyak orang memilih menyerbu tempat-tempat perbelanjaan, ketika kebanyakan orang lebih senang meramaikan stasiun, terminal dan pelabuhan, kita harus tetap bertahan di dalam masjid. Konsisten menjaga semangat. Demi trofi muttaqin sejati.

Wednesday, 8 July 2015

Memburu Lailatul Qadar

Saudaraku, beribadah pada malam lailatul qadar senilai dengan ibadah seribu bulan atau delapan puluh tiga tahun, sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Surat Al-Qadar:


Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al-Qadar [97]: 1—5)

Kenyataan ini sungguh sangat menarik. Sebab jika dihitung-hitung, keberkahan malam lailatul qadar itu ternyata jauh lebih besar dari pahala amal ibadah yang dapat kita lakukan seumur hidup. Kalau rata-rata usia manusia pada zaman sekarang adalah berkisar pada angka delapan puluhan tahun, kemungkinan besar amal ibadah yang dapat mereka lakukan adalah setengahnya, yaitu sekitar empat puluhan tahun saja. Sedangkan sisa usia yang empat puluhan tahun digunakan untuk hal-hal lain, seperti tidur, bekerja, atau makan-minum.

Mana Bukti Cinta Kita kepada Al-Quran? (Part 2)

Saudaraku, saat kita mengaku cinta pada sesuatu, kita tentu akan berusaha membuktikan cinta itu dengan amal dan perbuatan. 

Bila cinta hanya ucapan mulut saja tanpa bukti nyata, maka cinta seperti itu hanya omong kosong belaka. Kita membuktikan cinta kita pada pasangan dengan berusaha memuaskan dan menyenangkannya. Kita membuktikan cinta kita pada anak-anak dengan berusaha memberi perhatian dan pendidikan yang baik.

Sebagian kita yang ‘tergila-gila’ pada sepak bola, maka ia korbankan waktu tidurnya demi menonton aksi sang idola. Sebagian kita yang ‘ketagihan’ dengan sinetron atau telenovela, maka ia rela memutus semua kesibukannya demi melihatnya. Begitulah. Setiap cinta, setiap kegemaran, setiap kesenangan, semua membutuhkan bukti dan pengorbanan.

Sunday, 5 July 2015

Mana Bukti Cinta Kita kepada Al-Quran? (Part 1)



Saudaraku, di dalam surah Al-Furqân ayat 30 Rasulullah mengeluh kepada Allah. Orang yang kita sanjung dan teladani itu tidak mengeluhkan kondisinya atau kondisi keluarganya. Tidak. Tapi beliau mengeluhkan tentang kita. Beliau mengadu kepada Allah perihal sikap kita sebagai umatnya.

Apa gerangan yang telah kita perbuat dan begitu mengecewakan Rasulullah?

Sungguh, kalau bukan sesuatu yang keterlaluan, rasanya tidak mungkin jika Rasul yang sangat penyayang terhadap umatnya itu sampai mengadu kepada Rabbnya. Tapi apa mau dikata, kita sebagai umatnya dinilai telah keterlaluan oleh Rasul, hingga beliau mengadu seraya berkata:

... يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

… “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini suatu yang diacuhkan.” (Al-Furqân 70)

Saudaraku, kita kata Rasulullah telah dianggap mengacuhkan Al-Quran. Dan sikap kita seperti itu diadukan oleh Rasul kepada Tuhannya. Duh. Sungguh malu kita dibuatnya. Mahjuran; mengacuhkan, maksudnya ialah, sebagaimana disampaikan oleh Al-Alusi di dalam tafsirnya (jilid 14/86), “Meninggalkannya, tidak mengimaninya, tidak menghormatinya, dan tidak terpengaruh oleh ancaman serta janji yang ada di dalamnya.”

Jangan Sampai Mengacuhkan Al-Quran

Benarkah kita telah bersikap demikian? Apakah selama ini kita telah meninggalkan Al-Quran?

Kalau soal mengimani kandungan Al-Quran, insya Allah, kita sebagai muslim tentu mengimaninya. Tapi sudahkah saya dan saudara sekalian membuktikan keimanan itu dengan tidak meninggalkannya, dengan selalu memuliakannya, dan dengan selalu takut serta terngiang-ngiang perihal janji dan ancaman yang terkandung di dalamnya? Allahu a’lam. Allah yang tahu pasti, dan diri kita sendiri yang bisa memperkirakannya.

Saudaraku, berdasar ayat ini Ibnu Al-Faras dengan tegas menyatakan bahwa kita tidak diperbolehkan menelantarkan Al-Quran dengan tidak membiasakan diri membacanya. Hal itu supaya kita tidak termasuk ke dalam golongan orang yang diadukan oleh Rasulullah sebagai kelompok yang mengacuhkan Al-Quran.

Ats-Tsa’alabi di dalam tafsirnya (jilid 3/99) menjelaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan kepada umat Islam supaya bermulazamah dengan Al-Quran, terus membersamai Al-Quran, tidak membiarkannya berdebu, serta tidak mengacuhkannya karena kesibukan lain. Imam Abu Daud dan Ad-Darimi meriwayatkan dari Ubbadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَنْسَاهُ إِلاَّ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَجْذَمَ


Orang yang membaca Al-Quran kemudian ia melupakan dan tidak lagi membacanya, nanti di hari kiamat niscaya akan bertemu dengan Allah sedang dirinya dalam kondisi cacat layaknya orang terkena penyakit lepra.
       
Na’udzu billah min dzalik.

Saudaraku, bila malas membaca Al-Quran, nanti di akhirat Kita akan bertemu Allah dalam kondisi yang cacat karena lepra. Di dalam syarah hadits tersebut dijelaskan bahwa maksudnya, kita akan bertemu Allah dalam kondisi ompong; atau tanpa tangan; atau tidak memiliki alasan apa pun guna membela diri dengan menyatakan lupa dan sejenisnya; atau, kita akan menghancurkan kepala kita sendiri saking malunya kepada Allah karena telah melupakan ayat-ayat-Nya.

Rasulullah juga bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Anas bin Malik r.a.:

عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى القَذَاةِ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنَ المَسْجِدِ ، وعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْباً أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَو آيَةٍ أُوتِيها رَجُلٌ ثم نَسِيَهَا

(Ketika Mikraj) aku diperlihatkan pahala-pahala umatku, bahkan pahala seseorang yang mengeluarkan kotoran mata dari dalam masjid. Aku juga diperlihatkan dosa-dosa umatku, dan aku tidak melihat ada dosa yang lebih besar dari dosa satu surat atau ayat Al-Quran yang dipelajari seseorang, tapi kemudian diacuhkannya.

Bagaimana Agar Tidak Dianggap Mengacuhkan Al-Quran?

Saudaraku, saya yakin kita semua tidak ada yang ingin mengacuhkan Al-Quran. Tapi agar tidak termasuk dalam kelompok yang diadukan oleh Rasulullah tersebut, kita harus mampu membuktikan itu.

Sayyid Thantawi di dalam tafsirnya, Al-Wasith (jilid 1/3126) menyampaikan bahwa mengacuhkan Al-Quran itu bentuknya bermacam-macam. Pertama, acuh dengan tidak mendengar serta membacanya. Kedua, acuh dengan tidak mengamalkan kandungan Al-Quran dan tidak berpegang terhadap ketentuan halal-haramnya, ketiga, acuh dengan tidak berhukum kepadanya, dan keempat, acuh dengan tidak menadabburi serta memahaminya. Semua sikap acuh seperti ini masuk ke dalam ayat 30 surah Al-Furqan.

Saudaraku, apakah dari keempat kriteria acuh tersebut ada pada diri kita? Ataukah justru semuanya cocok dan identik dengan keseharian kita?

Ya Allah … kami akan membaca ayat-ayat-Mu. Maka janganlah Engkau jadikan kami buntung tangan dan kaki saat berjumpa dengan-Mu. Ya Allah … kami akan berusaha berpegang dengan firman-firman-Mu. Maka janganlah Engkau membuat kami tak punya muka saat menghadap-Mu.…

Marilah saudaraku, mulai hari ini, kita sama-sama berjanji pada diri sendiri untuk mengakrabi Al-Quran; untuk membacanya; untuk selalu menadaburinya….

Friday, 3 July 2015

HIkmah Jumat: Hanya Satu yang Setia Menemani

Seorang lelaki memiliki tiga orang istri. Istri pertama tua dan biasa saja, yang biasanya tidak diperhatikan. Istri kedua lumayan cantik dan agak diperhatikan. Sedangkan tstri ketiga sangat menarik sehingga sangat diperhatikan dan disanjung-sanjung serta diutamakan!

Waktu terus berlalu dan tibalah saat sang suami tersebut hendak meninggal, lalu dipanggilah keempat orang istrinya.

Istri ketiga yang paling cantik ditanya, “Maukah ikut menemaniku ke alam kubur?”

Si istri menjawab, “Maaf, cukup sampai di sini saja saya ikut denganmu.”

Kemudian dipanggil istri kedua dan ditanya hal yang sama, maka dia pun menjawab, “Baik, saya akan menemanimu tapi hanya sampai ke liang kubur, setelah itu selamat tinggal.”

Si Suami sungguh kecewa mendengar semua itu. Tetapi inilah kehidupan dan menjelang kematian.

Lalu dipanggillah istri pertama yang selama ini tidak dia perhatikan lalu ditanya hal yang sama. Apa jawaban istri pertama? Dia bilang, “Saya akan menemani ke mana pun kamu pergi dan akan selalu mendampingimu.…”

Mau tahu siapa istri pertama sampai ketiga itu?

Istri ketiga adalah “harta dan kekayaan”. Mereka akan meninggalkan jasad kita seketika saat kita meninggal.

Istri kedua adalah keluarga dan teman-teman kita. Mereka akan mengantar kita sampai dikuburkan, dan akan meninggalkan kita setelah mayat kita dimasukkan dalam liang kubur dan ditutup dengan tanah.

Sedangkan istri pertama adalah “amal perbuatan kita” kita selama hidup di dunia, yang akan setia menemani kita ke mana pun kita pergi. Maka, berbuatlah banyak kebaikan selama kita masih hidup di dunia ini agar nantinya dapat memiliki bekal yang dapat dibawa mati.

Rasul saw. bersabda:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ ؛ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ (رواه الترمذي عن أنس بن مالك وقال حديث حسن صحيح)

Artinya:

Orang yang meninggal akan diantar oleh tiga perkara, yang dua kembali dan yang satu tetap menemani. Dia akan diantar oleh keluarganya, hartanya, dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali, sedang amalnya akan tetap menemani (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan sahih)

Sunday, 28 June 2015

Ramadan Memasuki Babak Semi Final



Bila diibaratkan sebuah turnamen pertandingan, saat ini Ramadan telah memasuki babak semi final. Sepuluh hari babak penyisihan yang mengharu biru telah berlalu. Sepuluh hari di mana masjid-masjid penuh sesak, jamaah shalat Tarawih membludak, dan tadarus nyaring menyeruak. Begitulah babak penyisihan. Kontestannya banyak. Semua ingin tampil dan terlihat. Semua bereuforia karena Ramadan telah tiba.

Tapi saat babak semi final dimulai, riuh rendah itu semakin berkurang. Banyak sudah yang berguguran karena kalah dalam penyisihan. Maka masjid mulai lengang. Shaf-shaf mulai maju dan merapat ke depan. Tarawih juga mulai sepi penggemar, dan tadarus hanya lirih terdengar.

Memang tidak semua orang bisa masuk babak semi final. Sebab faktanya, banyak kontestan yang hanya ingin sekadar berpartisipasi atau menunjukkan eksistensi. Banyak pula yang ikut-ikutan dan sebatas coba-coba. Bagi kontestan yang bermental seperti ini, mereka tidak akan serius, karena yang penting bagi mereka adalah bermain, meski tanpa persiapan dan target muluk. Maka ketika pertandingan terasa membosankan dan monoton, ia pun memilih berhenti. Atau ketika pertandingan tidak lagi mengasyikkan dan justru memberatkan, ia memilih menyudahi diri.

Pentingnya Menata Niat

Saudaraku, inilah pentingnya niat dan target dalam beramal. Apa pun itu. Kata orang alim, al-wa’yu qablas-sa’yi; pemahaman lebih didahulukan sebelum memulai pekerjaan. Atau, sebagaimana dalam kaidah agama kita, al-ilmu muqaddamun alal amali; ilmu pengetahuan tentang sesuatu lebih didulukan sebelum melaksanakan sesuatu itu.

Jadi, kalau kita tahunya bahwa Ramadan berikut tarawih, shalat jamaah, dan tadarus hanya ritual setor muka ke masjid setahun sekali, maka kita akan merasa cukup bila ‘setor muka’ itu sudah terpenuhi. Sepuluh hari memang sudah sangat cukup bagi seseorang yang hanya ingin berpartisipasi atau unjuk diri seperti ini. Sepuluh hari memang sudah cukup untuk mendapat sertifikat tanda partisipasi.

Tapi kondisinya akan berbeda bila seseorang menganggap Ramadan berikut amalan-amalan yang membersamainya sebagai turnamen mahapenting yang harus diperjuangkan mati-matian. Orang seperti ini tentu jauh hari sudah meracik strategi, belajar ke sana dan kemari, serta mengasah kemampuan diri. Ia tentu menolak kalau hanya sebatas partisipasi demi meraih sertifikat. Sebab bukan untuk itu ia mempersiapkan diri. Ia ingin meraih medali, mengangkat trofi. Maka rasa malas pun ia buang. Rasa bosan pun ditendang. Dan segala aral yang melintang dengan telaten diatasi tanpa bimbang.

Layaknya sebuah turnamen, semakin hari tantangannya semakin berat dan ketat. Maka dibutuhkan napas panjang untuk dapat bertahan. Dibutuhkan ketahanan fisik dan mental supaya tidak gugur di tengah jalan. Dan semua itu dapat diatasi bila niat sudah tertata, bila target dan sasaran sudah ditentukan sejak mula. Sekali lagi, inilah pentingnya menata niat dan tujuan sebelum beramal.

Sulitnya Istiqamah

Saudaraku, fenomena masjid yang berangsur sepi saat pertengahan Ramadan seperti ini juga bukti betapa sulitnya sikap konsistensi itu. Betapa sulitnya beristiqamah dalam ibadah itu. Maka saat turun firman fastaqim kama umirta Rasul langsung ubanan demi terbayang betapa sebuah istiqamah butuh perjuangan panjang dan kesadaran yang tanpa batas.

Bisa jadi Rasul ubanan bukan karena memikirkan esensi dari ayat ini, melainkan memikirkan bisakah umatnya mengamalkan perintah Allah dalam ayat ini. Bisa jadi. Dan apa yang dipikirkan oleh Rasul itu telah menjadi kenyataan di saat pertengahan Ramadan seperti ini, di mana banyak kontestan yang berguguran dan mengundurkan diri. Membiarkan masjid berangsur-angsur sepi kembali sampai Ramadan tahun depan datang lagi.

Ayo saudaraku, mari kita rapatkan barisan. Mari kita pertahankan konsistensi itu. Kita baru di babak semi final. Perjalanan masih panjang dan babak final masih belum digelar. Selama mungkin kita mampu bertahan, selama itu pula kita akan meraih gelar juara. Beratkah kita bila trofi yang akan kita terima adalah trofi muttaqin sejati? Beratkah kita bila bonus yang akan kita terima adalah tiket menuju surga, lewat gate VVIP bernama gate Rayyan? Waktu itu penjaganya berteriak memanggil-manggil, “Ainash-sha’imun… ainash-sha’imun… mana orang ahli puasa … mana orang ahli puasa …” Hanya pemegang tiket yang boleh masuk …


Aduhai, manakah gerangan tiket kita?

Friday, 26 June 2015

HIkmah Jumat: Jangan Hanya Melihat Kulitnya

Anas bin Amir berharap dapat menikah dengan perempuan cantik yang sedap dipandang mata. Dia akhirnya menikah. Tapi ketika membuka penutup wajah sang istri, Anas kecewa karena ternyata sang istri berwajah hitam dan jelek. Rasa kecewa itu membuatnya tidak mau menggauli istrinya pada saat malam pertama dan malam-malam berikutnya. Dia pergi meninggalkan rumah.

Ketika sang istri merasa bahwa kondisinya akan terus seperti itu dia segera menemui suaminya dan berkata, ‘Wahai, Anas. Bisa jadi kebaikan itu tersembunyi dari sesuatu yang terlihat buruk.”

Akhirnya Anas tersadar. Dia pun mau menggauli istrinya tapi masih menyimpan rasa ketidakpuasannya. Lama-kelamaan Anas tak mampu memendam kekecewaan itu. Dia kembali pergi meninggalkan rumah. Tapi sekali ini dia pergi selama dua puluh tahun dan tidak sadar bahwa sang istri telah mengandung anaknya.

Setelah pergi selama dua puluh tahun itu Anas kembali ke Madinah dan segera memasuki masjid untuk shalat. Selesai menjalankan shalat dia mendengarkan ceramah imam yang sangat memukau hatinya. Dia kemudian bertanya kepada para jamaah yang hadir.

“Siapa gerangan imam itu?” tanyanya.

“Apa Anda tidak tahu? Dia Imam Malik,” jawab orang yang ditanya dengan sedikit heran.

“Anak siapa?” tanya Anas penasaran.

Kali ini orang yang ditanya cuma menggelengkan kepala.

“Kami kurang tahu siapa ayahnya. Tapi katanya, ayah beliau telah meninggalkan Madinah sejak dua puluh tahun yang lalu. Namanya Anas.”

Mendengar itu Anas bin Amir mendekati Imam Malik dan berkata,

“Saya ingin berkunjung ke rumahmu. Tapi saya hanya akan berhenti di depan pintu. Tolong katakan kepada ibumu bahwa di depan rumah ada orang yang berkata bahwa bisa jadi kebaikan itu tersembunyi dari sesuatu yang terlihat buruk.”

Imam Malik dengan senang hati mempersilakan Anas untuk berkunjung ke rumahnya. Setelah masuk rumah beliau pun memberi tahu perihal tamu aneh tersebut kepada sang ibu. Serta-merta ibu Imam Malik berkata,

“Cepat. Buka pintu. Dia adalah ayahmu yang pulang setelah lama pergi,” ucapnya penuh gembira.

Selama ini dia memang tidak pernah menceritakan hal yang buruk perihal suaminya. Pertemuan itu pun sangat mengharukan. Itulah sosok perempuan salihah. Itulah ibunda Imam Malik.


Saudaraku, jangan pernah menilai keindahan dari tampilan luarnya saja karena penampilan luar bisa saja menipu kita. Jangan pula menghukumi sesuatu dari kulitnya saja, sebab kulit bisa dipoles untuk menutupi keburukannya.

Wednesday, 24 June 2015

Makna Keberkahan

Suatu ketika ada seorang pemuda yang datang kepada Imam Syafi’i rahimahullah lalu mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberitahukan bahwa ia bekerja sebagai pekerja upahan dengan gaji 5 dirham. Dan gaji itu tidak mencukupinya.

 “Minta gajimu untuk dikurangi jadi 4 Dirham,” saran Imam Syafi’i.

Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafi’i sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah berlalu beberapa lama, orang itu datang lagi kepada Imam Syafi’i untuk mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan.

“Kalau begitu minta gajimu untuk dikurangi jadi 3 Dirham,” saran Imam Syafi’i kembali.
Orang itu pun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi’i dengan perasaan sangat heran.
Setelah berlalu sekian hari, orang itu kembali lagi menemui Imam Syafi’i dan berterima kasih atas nasihatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercambur dengannya. Lalu Imam Syafi’i membacakan sebuah sya’ir:

جَمَعَ الْحَرَامَ عَلَى الْحَلَاِل لِيُكْثِرَهُ # دَخَلَ الْحَرَامُ عَلَى الْحَلَالِ فَبَعْثَرَهُ

Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya menjadi banyak.
Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya.


Barangkali kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita dalam bekerja. Jangan terlalu berharap gaji besar bila pekerjaan kita hanya sederhana. Dan jangan berbangga dulu mendapatkan gaji besar, padahal etos kerjanya sangat lemah atau tidak seimbang dengan gaji yang diterima. (sumber: forum.el-wlid.com)

Tuesday, 23 June 2015

Kerja, Kerja, Kerja....

Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya (5/258) meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: 

مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلاَلاً اِسْتِعْفَافًا عَنِ الْمَسْأَلَةِ وَسَعْيًا عَلَى أَهْلِهِ وَتَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ لَقِيَ اللهُ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ، وَمَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا مُكَاثِرًا بِهَا حَلاَلاً مُرَائِيًا لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهَ غَصْبَانُ ".

Artinya:
Barang siapa mencari (kenikmatan) dunia secara halal untuk menjaga diri dari meminta-minta; untuk memenuhi kebutuhan keluarganya; dan untuk bederma kepada tetangganya maka di hari kiamat ia akan bertemu Allah sedang wajahnya bersinar terang laksana bulan purnama. Sedangkan barang siapa mencari (kenikmatan) dunia secara halal untuk ditumpuk-tumpuk dan pamer kepada sesama maka di hari kiamat ia akan bertemu Allah sedang Allah murka kepadanya.

Makna yang dapat kita ambil dari hadits di atas: 
  1. Sewajarnya orang hidup di dunia, kita pun setiap hari mencari hal-hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Maka kita bekerja.
  2. Dalam bekerja, kita harus memiliki niat yang baik. Misalnya bekerja demi tidak bergantung kepada orang lain, demi menutupi kebutuhan diri dan keluarga, serta demi membantu tetangga. 
  3. Pada harta yang kita peroleh terdapat hak-hak orang lain yang harus kita tunaikan, sebagaimana diatur dalam agama.
  4. Karena harta benda pada hakikatnya adalah milik Allah yang diamanahkan kepada kita maka kita harus menjaga dan menjalankan amanah itu sesuai dengan pesan dari pemberinya.
Saudaraku, bila ingin punya wajah seterang purnama di hari kiamat, mari kita bekerja dengan niatan yang baik. Dan karena bekerja adalah ibadah, maka tidak sepantasnya kita mengeluh saat menjalankannya. Apa pun profesi kita. Seberat apa pun pekerjaan kita.

Monday, 22 June 2015

Tak Ikut Dibawa Mati


Anas bin Malik RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang mati akan diikuti oleh tiga hal. Yang dua kembali, dan yang satu tetap menemani. Ia akan diikuti oleh keluarganya, hartanya, dan amal perbuatannya. Keluarga dan hartanya kembali, sedang amalnya tetap menemani (HR. Bukhari Muslim).

Hadits sahih di atas dengan lugas mengingatkan kita kembali. Bahwa prioritas utama seorang Muslim adalah menumpuk amal, bukan menumpuk harta atau mengandalkan keselamatan kepada keluarga. Sebab, harta yang kita tumpuk tidak ikut kita bawa mati. Dan keluarga yang kita andalkan, tidak mau menemani. Semua itu akan pergi meninggalkan kita. Justru di saat kita benar-benar sendiri dan sepi dalam kegelapan kubur.

Hanya amal yang setia menemani. Jika amal kita baik, maka di alam kubur, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Baihaqi, akan menjelma menjadi wajah orang rupawan yang membawa harapan. Tapi jika amal kita buruk, maka ia menjelma menjadi seorang buruk rupa yang memancarkan aura kesedihan.
Di alam kubur, orang yang beramal baik tidak sabar menunggu datangnya Kiamat, setelah diberitahu kedudukannya di surga. Ia berdoa, “Ya Allah, segerakanlah Hari Kiamat” (HR. Thabrani dan Baihaqi). Berbeda dengan orang yang banyak beramal buruk, ia memelas seraya berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (Al-Munafiqun: 10)
Orang-orang yang beramal buruk itu ketakutan setelah diperlihatkan tempatnya di neraka. Mereka memelas minta dihidupkan lagi. Namun Allah sekali-kali tidak akan mengabulkan. Dahulu ketika masih hidup, mereka mengira bahwa anak dan harta akan mampu menjadi juru selamat. Mereka berkata, sebagaimana disebutkan di dalam surat Saba’, "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu), dan kami sekali-kali tidak akan diazab (Saba’: 35).

Mereka menyangka bahwa Pengadilan Tuhan dapat disogok dengan uang milyaran, atau dapat dilobi oleh keluarga mereka yang ningrat dan terhormat. Tapi Allah SWT membantah semua itu dengan berfirman, Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi dalam surga (Saba’: 37). Rasulullah SAW juga bersabda, “... Barangsiapa cacat amalnya, maka keluarganya tidak dapat menyempurnakannya.” (HR. Muslim)
Hanya amal yang dapat menjadi tumpuan harapan di akhirat. Untuk itu, harta yang kita miliki, dan keluarga yang kita cintai, harus kita proyeksikan untuk menggapai pahala amal saleh, bukan untuk ditumpuk dan dibangga-banggakan. Nabi Ibrahim berdoa, “Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara’: 87-89). Wallahu a’lam