Showing posts with label tafsir hadits. Show all posts
Showing posts with label tafsir hadits. Show all posts

Wednesday, 8 July 2015

Mana Bukti Cinta Kita kepada Al-Quran? (Part 2)

Saudaraku, saat kita mengaku cinta pada sesuatu, kita tentu akan berusaha membuktikan cinta itu dengan amal dan perbuatan. 

Bila cinta hanya ucapan mulut saja tanpa bukti nyata, maka cinta seperti itu hanya omong kosong belaka. Kita membuktikan cinta kita pada pasangan dengan berusaha memuaskan dan menyenangkannya. Kita membuktikan cinta kita pada anak-anak dengan berusaha memberi perhatian dan pendidikan yang baik.

Sebagian kita yang ‘tergila-gila’ pada sepak bola, maka ia korbankan waktu tidurnya demi menonton aksi sang idola. Sebagian kita yang ‘ketagihan’ dengan sinetron atau telenovela, maka ia rela memutus semua kesibukannya demi melihatnya. Begitulah. Setiap cinta, setiap kegemaran, setiap kesenangan, semua membutuhkan bukti dan pengorbanan.

Sunday, 5 July 2015

Mana Bukti Cinta Kita kepada Al-Quran? (Part 1)



Saudaraku, di dalam surah Al-Furqân ayat 30 Rasulullah mengeluh kepada Allah. Orang yang kita sanjung dan teladani itu tidak mengeluhkan kondisinya atau kondisi keluarganya. Tidak. Tapi beliau mengeluhkan tentang kita. Beliau mengadu kepada Allah perihal sikap kita sebagai umatnya.

Apa gerangan yang telah kita perbuat dan begitu mengecewakan Rasulullah?

Sungguh, kalau bukan sesuatu yang keterlaluan, rasanya tidak mungkin jika Rasul yang sangat penyayang terhadap umatnya itu sampai mengadu kepada Rabbnya. Tapi apa mau dikata, kita sebagai umatnya dinilai telah keterlaluan oleh Rasul, hingga beliau mengadu seraya berkata:

... يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

… “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini suatu yang diacuhkan.” (Al-Furqân 70)

Saudaraku, kita kata Rasulullah telah dianggap mengacuhkan Al-Quran. Dan sikap kita seperti itu diadukan oleh Rasul kepada Tuhannya. Duh. Sungguh malu kita dibuatnya. Mahjuran; mengacuhkan, maksudnya ialah, sebagaimana disampaikan oleh Al-Alusi di dalam tafsirnya (jilid 14/86), “Meninggalkannya, tidak mengimaninya, tidak menghormatinya, dan tidak terpengaruh oleh ancaman serta janji yang ada di dalamnya.”

Jangan Sampai Mengacuhkan Al-Quran

Benarkah kita telah bersikap demikian? Apakah selama ini kita telah meninggalkan Al-Quran?

Kalau soal mengimani kandungan Al-Quran, insya Allah, kita sebagai muslim tentu mengimaninya. Tapi sudahkah saya dan saudara sekalian membuktikan keimanan itu dengan tidak meninggalkannya, dengan selalu memuliakannya, dan dengan selalu takut serta terngiang-ngiang perihal janji dan ancaman yang terkandung di dalamnya? Allahu a’lam. Allah yang tahu pasti, dan diri kita sendiri yang bisa memperkirakannya.

Saudaraku, berdasar ayat ini Ibnu Al-Faras dengan tegas menyatakan bahwa kita tidak diperbolehkan menelantarkan Al-Quran dengan tidak membiasakan diri membacanya. Hal itu supaya kita tidak termasuk ke dalam golongan orang yang diadukan oleh Rasulullah sebagai kelompok yang mengacuhkan Al-Quran.

Ats-Tsa’alabi di dalam tafsirnya (jilid 3/99) menjelaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan kepada umat Islam supaya bermulazamah dengan Al-Quran, terus membersamai Al-Quran, tidak membiarkannya berdebu, serta tidak mengacuhkannya karena kesibukan lain. Imam Abu Daud dan Ad-Darimi meriwayatkan dari Ubbadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَنْسَاهُ إِلاَّ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَجْذَمَ


Orang yang membaca Al-Quran kemudian ia melupakan dan tidak lagi membacanya, nanti di hari kiamat niscaya akan bertemu dengan Allah sedang dirinya dalam kondisi cacat layaknya orang terkena penyakit lepra.
       
Na’udzu billah min dzalik.

Saudaraku, bila malas membaca Al-Quran, nanti di akhirat Kita akan bertemu Allah dalam kondisi yang cacat karena lepra. Di dalam syarah hadits tersebut dijelaskan bahwa maksudnya, kita akan bertemu Allah dalam kondisi ompong; atau tanpa tangan; atau tidak memiliki alasan apa pun guna membela diri dengan menyatakan lupa dan sejenisnya; atau, kita akan menghancurkan kepala kita sendiri saking malunya kepada Allah karena telah melupakan ayat-ayat-Nya.

Rasulullah juga bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Anas bin Malik r.a.:

عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى القَذَاةِ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنَ المَسْجِدِ ، وعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْباً أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَو آيَةٍ أُوتِيها رَجُلٌ ثم نَسِيَهَا

(Ketika Mikraj) aku diperlihatkan pahala-pahala umatku, bahkan pahala seseorang yang mengeluarkan kotoran mata dari dalam masjid. Aku juga diperlihatkan dosa-dosa umatku, dan aku tidak melihat ada dosa yang lebih besar dari dosa satu surat atau ayat Al-Quran yang dipelajari seseorang, tapi kemudian diacuhkannya.

Bagaimana Agar Tidak Dianggap Mengacuhkan Al-Quran?

Saudaraku, saya yakin kita semua tidak ada yang ingin mengacuhkan Al-Quran. Tapi agar tidak termasuk dalam kelompok yang diadukan oleh Rasulullah tersebut, kita harus mampu membuktikan itu.

Sayyid Thantawi di dalam tafsirnya, Al-Wasith (jilid 1/3126) menyampaikan bahwa mengacuhkan Al-Quran itu bentuknya bermacam-macam. Pertama, acuh dengan tidak mendengar serta membacanya. Kedua, acuh dengan tidak mengamalkan kandungan Al-Quran dan tidak berpegang terhadap ketentuan halal-haramnya, ketiga, acuh dengan tidak berhukum kepadanya, dan keempat, acuh dengan tidak menadabburi serta memahaminya. Semua sikap acuh seperti ini masuk ke dalam ayat 30 surah Al-Furqan.

Saudaraku, apakah dari keempat kriteria acuh tersebut ada pada diri kita? Ataukah justru semuanya cocok dan identik dengan keseharian kita?

Ya Allah … kami akan membaca ayat-ayat-Mu. Maka janganlah Engkau jadikan kami buntung tangan dan kaki saat berjumpa dengan-Mu. Ya Allah … kami akan berusaha berpegang dengan firman-firman-Mu. Maka janganlah Engkau membuat kami tak punya muka saat menghadap-Mu.…

Marilah saudaraku, mulai hari ini, kita sama-sama berjanji pada diri sendiri untuk mengakrabi Al-Quran; untuk membacanya; untuk selalu menadaburinya….

Friday, 3 July 2015

HIkmah Jumat: Hanya Satu yang Setia Menemani

Seorang lelaki memiliki tiga orang istri. Istri pertama tua dan biasa saja, yang biasanya tidak diperhatikan. Istri kedua lumayan cantik dan agak diperhatikan. Sedangkan tstri ketiga sangat menarik sehingga sangat diperhatikan dan disanjung-sanjung serta diutamakan!

Waktu terus berlalu dan tibalah saat sang suami tersebut hendak meninggal, lalu dipanggilah keempat orang istrinya.

Istri ketiga yang paling cantik ditanya, “Maukah ikut menemaniku ke alam kubur?”

Si istri menjawab, “Maaf, cukup sampai di sini saja saya ikut denganmu.”

Kemudian dipanggil istri kedua dan ditanya hal yang sama, maka dia pun menjawab, “Baik, saya akan menemanimu tapi hanya sampai ke liang kubur, setelah itu selamat tinggal.”

Si Suami sungguh kecewa mendengar semua itu. Tetapi inilah kehidupan dan menjelang kematian.

Lalu dipanggillah istri pertama yang selama ini tidak dia perhatikan lalu ditanya hal yang sama. Apa jawaban istri pertama? Dia bilang, “Saya akan menemani ke mana pun kamu pergi dan akan selalu mendampingimu.…”

Mau tahu siapa istri pertama sampai ketiga itu?

Istri ketiga adalah “harta dan kekayaan”. Mereka akan meninggalkan jasad kita seketika saat kita meninggal.

Istri kedua adalah keluarga dan teman-teman kita. Mereka akan mengantar kita sampai dikuburkan, dan akan meninggalkan kita setelah mayat kita dimasukkan dalam liang kubur dan ditutup dengan tanah.

Sedangkan istri pertama adalah “amal perbuatan kita” kita selama hidup di dunia, yang akan setia menemani kita ke mana pun kita pergi. Maka, berbuatlah banyak kebaikan selama kita masih hidup di dunia ini agar nantinya dapat memiliki bekal yang dapat dibawa mati.

Rasul saw. bersabda:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ ؛ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ (رواه الترمذي عن أنس بن مالك وقال حديث حسن صحيح)

Artinya:

Orang yang meninggal akan diantar oleh tiga perkara, yang dua kembali dan yang satu tetap menemani. Dia akan diantar oleh keluarganya, hartanya, dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali, sedang amalnya akan tetap menemani (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan sahih)

Tuesday, 23 June 2015

Kerja, Kerja, Kerja....

Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya (5/258) meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: 

مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلاَلاً اِسْتِعْفَافًا عَنِ الْمَسْأَلَةِ وَسَعْيًا عَلَى أَهْلِهِ وَتَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ لَقِيَ اللهُ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ، وَمَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا مُكَاثِرًا بِهَا حَلاَلاً مُرَائِيًا لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهَ غَصْبَانُ ".

Artinya:
Barang siapa mencari (kenikmatan) dunia secara halal untuk menjaga diri dari meminta-minta; untuk memenuhi kebutuhan keluarganya; dan untuk bederma kepada tetangganya maka di hari kiamat ia akan bertemu Allah sedang wajahnya bersinar terang laksana bulan purnama. Sedangkan barang siapa mencari (kenikmatan) dunia secara halal untuk ditumpuk-tumpuk dan pamer kepada sesama maka di hari kiamat ia akan bertemu Allah sedang Allah murka kepadanya.

Makna yang dapat kita ambil dari hadits di atas: 
  1. Sewajarnya orang hidup di dunia, kita pun setiap hari mencari hal-hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Maka kita bekerja.
  2. Dalam bekerja, kita harus memiliki niat yang baik. Misalnya bekerja demi tidak bergantung kepada orang lain, demi menutupi kebutuhan diri dan keluarga, serta demi membantu tetangga. 
  3. Pada harta yang kita peroleh terdapat hak-hak orang lain yang harus kita tunaikan, sebagaimana diatur dalam agama.
  4. Karena harta benda pada hakikatnya adalah milik Allah yang diamanahkan kepada kita maka kita harus menjaga dan menjalankan amanah itu sesuai dengan pesan dari pemberinya.
Saudaraku, bila ingin punya wajah seterang purnama di hari kiamat, mari kita bekerja dengan niatan yang baik. Dan karena bekerja adalah ibadah, maka tidak sepantasnya kita mengeluh saat menjalankannya. Apa pun profesi kita. Seberat apa pun pekerjaan kita.

Thursday, 28 November 2013

Sabda Rasul, Ini Akibatnya Bila Mengemis untuk Memperkaya Diri




Hari ini media ramai memberitakan para pengemis tajir. Pengemis yang—menurut berita—bahkan dalam 15 hari saja dapat meraup Rp25 juta. Sungguh gemas rasanya mendengar berita seperti itu. Dan lebih gemas lagi ketika ternyata, alasan salah satu pengemis itu adalah untuk tambahan biaya naik haji.

Di sini saya tidak ingin membahas tentang boleh-tidaknya naik haji dengan harta hasil meminta-minta. Tapi saya ingin menyampaikan salah satu hadits nabi tentang hukum meminta-minta itu sendiri. Sebab dengan mengetahui hukumnya, otomatis kita akan mengetahui status amal ibadah yang berasal dari meminta-minta.

Imam Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits gharib dari Hubsy bin Junadah As-Saluli berkata, “Aku Mendengar Rasulullah bersabda saat haji Wada’. Waktu itu beliau sedang wukuf di Arafah dan tiba-tiba seorang Badui mendatangi sembari memegang salah satu ujung selendangnya untuk meminta-minta. Setelah diberi, Badui itu pergi dan sejak saat itulah Rasulullah melarang umatnya dari meminta-minta. Beliau bersabda:

إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ إِلاَّ لِذِيْ فَقْرٍ مُدْقِعٍ أَوْ غُرْمٍ مُفْظِعٍ . وَمَنْ سَأَلَ النَّاسَ لِيُثْرِيَ بِهِ مَالَهُ كَانَ خُمُوشًا فِي وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَرَضْفًا يَأْكُلُهُ مِنْ جَهَنَّمَ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُقِلَّ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُكْثِرْ .

Artinya:

Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal bagi orang yang berkecukupan dan yang memiliki fisik sehat. Kecuali bagi orang fakir yang benar-benar fakir atau orang yang benar-benar terlilit utang yang harus segera ditunaikan. Barang siapa meminta-minta untuk memperbanyak harta (memperkaya diri) maka pada hari kiamat akan ada bekas-bekas luka cakaran di wajahnya dan batu panas dari jahanam yang akan ia makan. Jadi, silakan memilih mau mengurangi kebiasaan meminta-minta atau memperbanyaknya!

Dari hadits ini dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Orang yang berkecukupan tidak boleh meminta-minta. Untuk itu, dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Qabishah r.a. juga disebutkan bahwa hanya ada tiga orang yang boleh meminta-minta. Pertama, orang yang menanggung hamalah (yaitu semacam uang jaminan keselamatan yang harus ditunaikan oleh seseorang demi keselamatan suatu kaum dan untuk menghindari fitnah serta pertumpahan darah). Orang seperti ini boleh meminta-minta. Dan ketika sudah mendapatkannya maka ia harus berhenti meminta-minta. Kedua, orang yang tertimpa bencana, di mana bencana itu melenyapkan semua harta kekayaannya. Orang seperti ini boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan modal untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Setelah itu maka ia harus berhenti meminta-minta. Ketiga, orang yang jatuh miskin, di mana kemiskinannya itu benar-benar diakui oleh tiga orang tokoh di masyarakat. Orang seperti ini boleh meminta-minta sampai ia dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Setelah itu maka ia harus berhenti meminta-minta. Adapun selain ketiga golongan ini maka tidak boleh meminta-minta.

2. Orang yang berfisik sehat juga tidak boleh meminta-minta. Apalagi dengan berpura-pura sakit atau cacat supaya dikasihani. Apalagi sampai menjadikannya sebuah profesi. Rasulullah mengancam, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Abdullah dari ayahnya, “Bila salah seorang dari kalian terus-menerus meminta-minta maka nanti di hari Kiamat akan dibangkitkan dalam kondisi wajah yang tanpa daging.”

3. Orang yang meminta-minta untuk memperkaya diri maka pada hari kiamat akan ada bekas luka cakaran di wajahnya dan batu panas dari jahanam yang akan menjadi santapannya.

4. Bila dilihat dari asbab wurudnya, hadits ini disampaikan oleh Rasulullah karena ada salah seorang sahabat yang ikut pergi haji pada haji Wada’ dan meminta-minta. Rasulullah seakan mengingkari hal itu karena pada prinsipnya, ketika seseorang pergi haji maka dia sehat fisik dan sehat secara finansial sehingga tidak masuk dalam kategori orang yang boleh meminta-minta. Wallahu a’lam