Sunday 5 July 2015

Mana Bukti Cinta Kita kepada Al-Quran? (Part 1)



Saudaraku, di dalam surah Al-Furqân ayat 30 Rasulullah mengeluh kepada Allah. Orang yang kita sanjung dan teladani itu tidak mengeluhkan kondisinya atau kondisi keluarganya. Tidak. Tapi beliau mengeluhkan tentang kita. Beliau mengadu kepada Allah perihal sikap kita sebagai umatnya.

Apa gerangan yang telah kita perbuat dan begitu mengecewakan Rasulullah?

Sungguh, kalau bukan sesuatu yang keterlaluan, rasanya tidak mungkin jika Rasul yang sangat penyayang terhadap umatnya itu sampai mengadu kepada Rabbnya. Tapi apa mau dikata, kita sebagai umatnya dinilai telah keterlaluan oleh Rasul, hingga beliau mengadu seraya berkata:

... يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

… “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini suatu yang diacuhkan.” (Al-Furqân 70)

Saudaraku, kita kata Rasulullah telah dianggap mengacuhkan Al-Quran. Dan sikap kita seperti itu diadukan oleh Rasul kepada Tuhannya. Duh. Sungguh malu kita dibuatnya. Mahjuran; mengacuhkan, maksudnya ialah, sebagaimana disampaikan oleh Al-Alusi di dalam tafsirnya (jilid 14/86), “Meninggalkannya, tidak mengimaninya, tidak menghormatinya, dan tidak terpengaruh oleh ancaman serta janji yang ada di dalamnya.”

Jangan Sampai Mengacuhkan Al-Quran

Benarkah kita telah bersikap demikian? Apakah selama ini kita telah meninggalkan Al-Quran?

Kalau soal mengimani kandungan Al-Quran, insya Allah, kita sebagai muslim tentu mengimaninya. Tapi sudahkah saya dan saudara sekalian membuktikan keimanan itu dengan tidak meninggalkannya, dengan selalu memuliakannya, dan dengan selalu takut serta terngiang-ngiang perihal janji dan ancaman yang terkandung di dalamnya? Allahu a’lam. Allah yang tahu pasti, dan diri kita sendiri yang bisa memperkirakannya.

Saudaraku, berdasar ayat ini Ibnu Al-Faras dengan tegas menyatakan bahwa kita tidak diperbolehkan menelantarkan Al-Quran dengan tidak membiasakan diri membacanya. Hal itu supaya kita tidak termasuk ke dalam golongan orang yang diadukan oleh Rasulullah sebagai kelompok yang mengacuhkan Al-Quran.

Ats-Tsa’alabi di dalam tafsirnya (jilid 3/99) menjelaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan kepada umat Islam supaya bermulazamah dengan Al-Quran, terus membersamai Al-Quran, tidak membiarkannya berdebu, serta tidak mengacuhkannya karena kesibukan lain. Imam Abu Daud dan Ad-Darimi meriwayatkan dari Ubbadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَنْسَاهُ إِلاَّ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَجْذَمَ


Orang yang membaca Al-Quran kemudian ia melupakan dan tidak lagi membacanya, nanti di hari kiamat niscaya akan bertemu dengan Allah sedang dirinya dalam kondisi cacat layaknya orang terkena penyakit lepra.
       
Na’udzu billah min dzalik.

Saudaraku, bila malas membaca Al-Quran, nanti di akhirat Kita akan bertemu Allah dalam kondisi yang cacat karena lepra. Di dalam syarah hadits tersebut dijelaskan bahwa maksudnya, kita akan bertemu Allah dalam kondisi ompong; atau tanpa tangan; atau tidak memiliki alasan apa pun guna membela diri dengan menyatakan lupa dan sejenisnya; atau, kita akan menghancurkan kepala kita sendiri saking malunya kepada Allah karena telah melupakan ayat-ayat-Nya.

Rasulullah juga bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Anas bin Malik r.a.:

عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى القَذَاةِ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنَ المَسْجِدِ ، وعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْباً أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَو آيَةٍ أُوتِيها رَجُلٌ ثم نَسِيَهَا

(Ketika Mikraj) aku diperlihatkan pahala-pahala umatku, bahkan pahala seseorang yang mengeluarkan kotoran mata dari dalam masjid. Aku juga diperlihatkan dosa-dosa umatku, dan aku tidak melihat ada dosa yang lebih besar dari dosa satu surat atau ayat Al-Quran yang dipelajari seseorang, tapi kemudian diacuhkannya.

Bagaimana Agar Tidak Dianggap Mengacuhkan Al-Quran?

Saudaraku, saya yakin kita semua tidak ada yang ingin mengacuhkan Al-Quran. Tapi agar tidak termasuk dalam kelompok yang diadukan oleh Rasulullah tersebut, kita harus mampu membuktikan itu.

Sayyid Thantawi di dalam tafsirnya, Al-Wasith (jilid 1/3126) menyampaikan bahwa mengacuhkan Al-Quran itu bentuknya bermacam-macam. Pertama, acuh dengan tidak mendengar serta membacanya. Kedua, acuh dengan tidak mengamalkan kandungan Al-Quran dan tidak berpegang terhadap ketentuan halal-haramnya, ketiga, acuh dengan tidak berhukum kepadanya, dan keempat, acuh dengan tidak menadabburi serta memahaminya. Semua sikap acuh seperti ini masuk ke dalam ayat 30 surah Al-Furqan.

Saudaraku, apakah dari keempat kriteria acuh tersebut ada pada diri kita? Ataukah justru semuanya cocok dan identik dengan keseharian kita?

Ya Allah … kami akan membaca ayat-ayat-Mu. Maka janganlah Engkau jadikan kami buntung tangan dan kaki saat berjumpa dengan-Mu. Ya Allah … kami akan berusaha berpegang dengan firman-firman-Mu. Maka janganlah Engkau membuat kami tak punya muka saat menghadap-Mu.…

Marilah saudaraku, mulai hari ini, kita sama-sama berjanji pada diri sendiri untuk mengakrabi Al-Quran; untuk membacanya; untuk selalu menadaburinya….

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...