Sunday 28 June 2015

Ramadan Memasuki Babak Semi Final



Bila diibaratkan sebuah turnamen pertandingan, saat ini Ramadan telah memasuki babak semi final. Sepuluh hari babak penyisihan yang mengharu biru telah berlalu. Sepuluh hari di mana masjid-masjid penuh sesak, jamaah shalat Tarawih membludak, dan tadarus nyaring menyeruak. Begitulah babak penyisihan. Kontestannya banyak. Semua ingin tampil dan terlihat. Semua bereuforia karena Ramadan telah tiba.

Tapi saat babak semi final dimulai, riuh rendah itu semakin berkurang. Banyak sudah yang berguguran karena kalah dalam penyisihan. Maka masjid mulai lengang. Shaf-shaf mulai maju dan merapat ke depan. Tarawih juga mulai sepi penggemar, dan tadarus hanya lirih terdengar.

Memang tidak semua orang bisa masuk babak semi final. Sebab faktanya, banyak kontestan yang hanya ingin sekadar berpartisipasi atau menunjukkan eksistensi. Banyak pula yang ikut-ikutan dan sebatas coba-coba. Bagi kontestan yang bermental seperti ini, mereka tidak akan serius, karena yang penting bagi mereka adalah bermain, meski tanpa persiapan dan target muluk. Maka ketika pertandingan terasa membosankan dan monoton, ia pun memilih berhenti. Atau ketika pertandingan tidak lagi mengasyikkan dan justru memberatkan, ia memilih menyudahi diri.

Pentingnya Menata Niat

Saudaraku, inilah pentingnya niat dan target dalam beramal. Apa pun itu. Kata orang alim, al-wa’yu qablas-sa’yi; pemahaman lebih didahulukan sebelum memulai pekerjaan. Atau, sebagaimana dalam kaidah agama kita, al-ilmu muqaddamun alal amali; ilmu pengetahuan tentang sesuatu lebih didulukan sebelum melaksanakan sesuatu itu.

Jadi, kalau kita tahunya bahwa Ramadan berikut tarawih, shalat jamaah, dan tadarus hanya ritual setor muka ke masjid setahun sekali, maka kita akan merasa cukup bila ‘setor muka’ itu sudah terpenuhi. Sepuluh hari memang sudah sangat cukup bagi seseorang yang hanya ingin berpartisipasi atau unjuk diri seperti ini. Sepuluh hari memang sudah cukup untuk mendapat sertifikat tanda partisipasi.

Tapi kondisinya akan berbeda bila seseorang menganggap Ramadan berikut amalan-amalan yang membersamainya sebagai turnamen mahapenting yang harus diperjuangkan mati-matian. Orang seperti ini tentu jauh hari sudah meracik strategi, belajar ke sana dan kemari, serta mengasah kemampuan diri. Ia tentu menolak kalau hanya sebatas partisipasi demi meraih sertifikat. Sebab bukan untuk itu ia mempersiapkan diri. Ia ingin meraih medali, mengangkat trofi. Maka rasa malas pun ia buang. Rasa bosan pun ditendang. Dan segala aral yang melintang dengan telaten diatasi tanpa bimbang.

Layaknya sebuah turnamen, semakin hari tantangannya semakin berat dan ketat. Maka dibutuhkan napas panjang untuk dapat bertahan. Dibutuhkan ketahanan fisik dan mental supaya tidak gugur di tengah jalan. Dan semua itu dapat diatasi bila niat sudah tertata, bila target dan sasaran sudah ditentukan sejak mula. Sekali lagi, inilah pentingnya menata niat dan tujuan sebelum beramal.

Sulitnya Istiqamah

Saudaraku, fenomena masjid yang berangsur sepi saat pertengahan Ramadan seperti ini juga bukti betapa sulitnya sikap konsistensi itu. Betapa sulitnya beristiqamah dalam ibadah itu. Maka saat turun firman fastaqim kama umirta Rasul langsung ubanan demi terbayang betapa sebuah istiqamah butuh perjuangan panjang dan kesadaran yang tanpa batas.

Bisa jadi Rasul ubanan bukan karena memikirkan esensi dari ayat ini, melainkan memikirkan bisakah umatnya mengamalkan perintah Allah dalam ayat ini. Bisa jadi. Dan apa yang dipikirkan oleh Rasul itu telah menjadi kenyataan di saat pertengahan Ramadan seperti ini, di mana banyak kontestan yang berguguran dan mengundurkan diri. Membiarkan masjid berangsur-angsur sepi kembali sampai Ramadan tahun depan datang lagi.

Ayo saudaraku, mari kita rapatkan barisan. Mari kita pertahankan konsistensi itu. Kita baru di babak semi final. Perjalanan masih panjang dan babak final masih belum digelar. Selama mungkin kita mampu bertahan, selama itu pula kita akan meraih gelar juara. Beratkah kita bila trofi yang akan kita terima adalah trofi muttaqin sejati? Beratkah kita bila bonus yang akan kita terima adalah tiket menuju surga, lewat gate VVIP bernama gate Rayyan? Waktu itu penjaganya berteriak memanggil-manggil, “Ainash-sha’imun… ainash-sha’imun… mana orang ahli puasa … mana orang ahli puasa …” Hanya pemegang tiket yang boleh masuk …


Aduhai, manakah gerangan tiket kita?

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...