Bila
diibaratkan sebuah turnamen pertandingan, saat ini Ramadan telah memasuki babak
semi final. Sepuluh hari babak penyisihan yang mengharu biru telah berlalu. Sepuluh
hari di mana masjid-masjid penuh sesak, jamaah shalat Tarawih membludak, dan tadarus
nyaring menyeruak. Begitulah babak penyisihan. Kontestannya banyak. Semua ingin
tampil dan terlihat. Semua bereuforia karena Ramadan telah tiba.
Tapi saat
babak semi final dimulai, riuh rendah itu semakin berkurang. Banyak sudah yang
berguguran karena kalah dalam penyisihan. Maka masjid mulai lengang. Shaf-shaf
mulai maju dan merapat ke depan. Tarawih juga mulai sepi penggemar, dan tadarus
hanya lirih terdengar.
Memang tidak semua orang bisa masuk babak semi final. Sebab faktanya, banyak kontestan yang hanya ingin sekadar berpartisipasi atau menunjukkan eksistensi. Banyak pula yang ikut-ikutan dan sebatas coba-coba. Bagi kontestan yang bermental seperti ini, mereka tidak akan serius, karena yang penting bagi mereka adalah bermain, meski tanpa persiapan dan target muluk. Maka ketika pertandingan terasa membosankan dan monoton, ia pun memilih berhenti. Atau ketika pertandingan tidak lagi mengasyikkan dan justru memberatkan, ia memilih menyudahi diri.
Pentingnya Menata Niat
Saudaraku,
inilah pentingnya niat dan target dalam beramal. Apa pun itu. Kata orang alim, al-wa’yu
qablas-sa’yi; pemahaman lebih didahulukan sebelum memulai pekerjaan. Atau,
sebagaimana dalam kaidah agama kita, al-ilmu muqaddamun alal amali; ilmu
pengetahuan tentang sesuatu lebih didulukan sebelum melaksanakan sesuatu itu.
Jadi, kalau
kita tahunya bahwa Ramadan berikut tarawih, shalat jamaah, dan tadarus hanya
ritual setor muka ke masjid setahun sekali, maka kita akan merasa cukup bila
‘setor muka’ itu sudah terpenuhi. Sepuluh hari memang sudah sangat cukup bagi
seseorang yang hanya ingin berpartisipasi atau unjuk diri seperti ini. Sepuluh
hari memang sudah cukup untuk mendapat sertifikat tanda partisipasi.
Tapi
kondisinya akan berbeda bila seseorang menganggap Ramadan berikut amalan-amalan
yang membersamainya sebagai turnamen mahapenting yang harus diperjuangkan
mati-matian. Orang seperti ini tentu jauh hari sudah meracik strategi, belajar
ke sana dan kemari, serta mengasah kemampuan diri. Ia tentu menolak kalau hanya
sebatas partisipasi demi meraih sertifikat. Sebab bukan untuk itu ia
mempersiapkan diri. Ia ingin meraih medali, mengangkat trofi. Maka rasa malas
pun ia buang. Rasa bosan pun ditendang. Dan segala aral yang melintang dengan
telaten diatasi tanpa bimbang.
Layaknya
sebuah turnamen, semakin hari tantangannya semakin berat dan ketat. Maka
dibutuhkan napas panjang untuk dapat bertahan. Dibutuhkan ketahanan fisik dan
mental supaya tidak gugur di tengah jalan. Dan semua itu dapat diatasi bila
niat sudah tertata, bila target dan sasaran sudah ditentukan sejak mula. Sekali
lagi, inilah pentingnya menata niat dan tujuan sebelum beramal.
Sulitnya Istiqamah
Saudaraku, fenomena
masjid yang berangsur sepi saat pertengahan Ramadan seperti ini juga bukti
betapa sulitnya sikap konsistensi itu. Betapa sulitnya beristiqamah dalam
ibadah itu. Maka saat turun firman fastaqim kama umirta Rasul langsung
ubanan demi terbayang betapa sebuah istiqamah butuh perjuangan panjang dan
kesadaran yang tanpa batas.
Bisa jadi
Rasul ubanan bukan karena memikirkan esensi dari ayat ini, melainkan memikirkan
bisakah umatnya mengamalkan perintah Allah dalam ayat ini. Bisa jadi. Dan apa
yang dipikirkan oleh Rasul itu telah menjadi kenyataan di saat pertengahan
Ramadan seperti ini, di mana banyak kontestan yang berguguran dan mengundurkan
diri. Membiarkan masjid berangsur-angsur sepi kembali sampai Ramadan tahun
depan datang lagi.
Ayo saudaraku, mari kita rapatkan barisan. Mari kita pertahankan konsistensi itu. Kita baru di babak semi final. Perjalanan masih panjang dan babak final masih belum digelar. Selama mungkin kita mampu bertahan, selama itu pula kita akan meraih gelar juara. Beratkah kita bila trofi yang akan kita terima adalah trofi muttaqin sejati? Beratkah kita bila bonus yang akan kita terima adalah tiket menuju surga, lewat gate VVIP bernama gate Rayyan? Waktu itu penjaganya berteriak memanggil-manggil, “Ainash-sha’imun… ainash-sha’imun… mana orang ahli puasa … mana orang ahli puasa …” Hanya pemegang tiket yang boleh masuk …
Aduhai,
manakah gerangan
tiket kita?
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...