Berkurban merupakan salah satu sunah
Rasulullah. Hal tersebut dimaksudkan untuk melapangkan diri, melapangkan orang-orang yang disayangi, tetangga, dan
fakir miskin. Akan tetapi, tidak sepantasnya seorang
Muslim memaksakan diri atau membuat dirinya sendiri dalam kesulitan dan
berutang untuk memenuhi hal tersebut. Demikian kata Syekh Qaradawi di dalam
bukunya, mi’atu su’alin wa sualin ‘anil hajji, wal ‘umrati wal udhiyah.
Menyembelih kurban bukanlah suatu
kewajiban. Kalaupun ia wajib, maka hanya untuk yang mampu saja. Allah Swt.
tidak memaksa seseorang untuk sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya.
Sesungguhnya Allah menginginkan kemudahan bagi hamba-hambaNya, dan tidak
menginginkan kesulitan bagi mereka. Allah Swt. telah berfirman, “Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu (At-Taghâbun: 16).” Nabi
Saw. juga bersabda, “Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka
kerjakanlah menurut kesanggupan kalian.”
Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh
memaksakan dirinya untuk berkurban sehingga sampai berutang kepada orang lain
agar terlihat kaya atau demi
mengikuti tradisi di masyarakatnya. Sikap semacam ini tentu saja termasuk penyakit
ria dan
pamer. Bahkan syariat itu sendiri melarang seseorang untuk mempersempit apa
yang telah dilapangkan oleh Allah. Syariat juga melarang seseorang mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah.
Setiap orang tergantung pada kemampuannya.
Sayyidina Abu Bakar dan Umar r.a. pernah tidak melakukan kurban dalam beberapa
tahun karena khawatir jika orang-orang menganggap bahwa berkurban hukumnya
wajib. Keduanya dengan sengaja tidak berkurban dalam beberapa tahun dengan
tujuan agar orang-orang tidak mengira bahwa berkurban adalah wajib.
Penting untuk diketahui bahwa sesuatu jika sudah dihukumi sunah maka akan tetap sunah, dan sesuatu jika sudah dihukumi fardhu maka akan tetap fardhu. Hukum berjalan sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Sebab akan menjadi berbahaya jika seseorang menganggap yang sunah adalah wajib, yang wajib dianggap sunah, yang makruh dianggap haram, dan sesuatu yang kecil dianggap besar. Suatu hukum harus sesuai dengan posisinya saat ia disyariatkan.
Berkurban adalah untuk melapangkan orang
lain dan orang-orang miskin. Islam senang jika kegembiraan itu bukan hanya
milik orang-orang kaya dan berada saja. Islam tidak suka jika orang-orang fakir
tidak dapat menikmati kegembiraan itu dan merayakan Hari Raya dalam keadaan
bersedih karena melihat orang lain dalam keadaan lapang dan gembira, sementara
mereka dalam posisi sulit dan penuh keterbatasan. Islam tidak ingin membuat
orang fakir bersedih karena melihat anak-anak tetangganya sedang bergembira,
sementara anak mereka dirundung kesedihan. Islam juga tidak ingin orang-orang
kaya asik makan daging, sementara orang miskin hampir tidak ada makanan apapun
yang bisa dimakan lagi.
Pada Hari Raya Idul Fitri, Allah Swt. telah
mensyariatkan untuk menunaikan zakat, yaitu zakat fitrah. Dan pada Hari Raya
Idul Adha Dia Swt. mensyariatkan menyembelih kurban. Hal ini dimaksudkan agar
kegembiraan bisa menyeluruh dan semua orang dapat sama-sama merasakan suasana
kegembiraan Hari Raya itu. Oleh karenanya, bagi orang yang berkurban haruslah
berkeliling mencari orang-orang fakir dan memberikan sebagian daging itu kepada
mereka, meskipun hanya sedikit, supaya bisa mencapai makna dan hikmah dari
berkurban itu sendiri. Tapi sekali lagi, hendaklah kita tidak memaksakan diri
untuk berkurban, apalagi bila motifnya karena malu atau demi mengikuti
kebiasaan di masyarakat.
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...