Suatu ketika Ustadz
Bachtiar Nasir bertanya bertanya kepada suatu jamaah, “Islam manakah yang
paling baik?”
Menurut Beliau, Islam yang
paling baik itu bukan Aceh, Sumatera Barat atau Yogyakarta, tetapi Islam
terbaik di Indonesia itu adalah Bali.
Bagaimana mungkin?
Ternyata, hanya di Bali
jamaah Shalat Subuh lebih banyak daripada jamaah Shalat Jumat. Di Masjid Baitul
Makmur Denpasar misalnya, jamaah Shalat Subuhnya bisa mencapai 700 orang,
bahkan untuk hari Ahad lebih banyak lagi, sehingga tidak muat lagi di dalam
masjid.
Bukan shalat-shalat jamaah
saja yang semarak, kegiatan-kegiatan seperti taklim dan kajian keislaman tak
kalah semangat. Mereka sangat antusias dalam mengkaji tafsir, hadis dan
sebagainya, bahkan mendatangkan ustadz-ustadz dari luar. Demikian pula dalam
berinfak, tak heran bila amal-amal sosial muslim di Bali lebih terurus dengan
baik dibanding dengan yang dikelola umat lain yang mayoritas sekalipun.
Bali selama ini kita
persepsikan tak identik dengan Islam. Para pendatang dari luar Bali kebanyakan
memang beragama Islam, tetapi mungkin kita lebih mengasumsikan mereka yang
memilih bekerja di sana bukan muslim yang taat. Mungkin kita mengasumsikan
muslim yang taat cenderung tidak memilih bekerja di Bali. Tetapi kenyataan yang
terjadi, Islam di Bali justru tumbuh menakjubkan.
Lantas bagaimana dengan
kita?
Dalam kondisi sebagai
mayoritas, kita lebih mengenal Islam, lingkungan dan tempat kita bekerja lebih
kondusif untuk menjalankannya, lebih tersedia berbagai sarana di sekitar kita
yang mempermudah untuk kita menjalankan ibadah. Tetapi ternyata kemalasan
membuat amal kita tak sebanding dengan peluang yang semestinya bisa diraih.
Masjid-masjid kita sepi,
padahal hampir tiap RT ada masjid. Orang yang mau mendatangi majelis-majelis
ilmu juga sedikit. Nyaris tak ada lagi rumah-rumah yang membiasakan membaca
Alquran di dalamnya. Tak sebanding dengan semaraknya hal-hal yang bersifat
hiburan duniawi dan hura-hura di sekitar kita.
Beberapa dekade lalu,
suasana di Bali masih seperti di negara-negara Barat, nyaris tanpa
simbol-simbol Islam yang menonjol. Untuk mencari tempat shalat saja sulit. Tak
dinyana jika di kemudian hari, syiar Islam di sana justru tampak bergairah.
Sebaliknya kita, sepertinya malah seperti sudah jenuh dalam beragama. Beragama
bagi kita rasanya seperti hanya turun-temurun semata.
Antara kuantitas dan
kualitas, kita yang secara jumlah mayoritas tampak seperti hanya minoritas,
mungkin seperti buih di lautan. Sebaliknya, mereka dalam kondisi sebagai
minoritas, mampu melampauinya, dan benar-benar menampakkan syiar Islamnya.
Begitulah, dalam kondisi
minoritas, penuh keterbatasan, tak menjadikannya penghalang, melampaui
keterbatasan tersebut. Sedang kita, begitu banyak kesempatan yang terbuka,
tetapi kita menyia-nyiakannya. Tidakkah kita malu dengan prestasi yang dicapai
saudara-saudara kita di Bali?
Sering kali dengan
berbagai nikmat yang diberikan kepada kita, tak membuat kita lebih dekat kepada
agama, malah kita lebih banyak lalai, kita seperti tidak butuh dengan Islam.
Sementara, saudara-saudara kita yang sedang terkena berbagai musibah, cobaan
yang berat, menjadi korban konflik dan peperangan, tetapi dalam kondisi
demikian sulit justru membuat mereka mendekat dengan agama.
Saudaraku, jika lebih
banyak kesempatan lagi yang kita sia-siakan, apa jadinya kita ketika nikmat-nikmat
yang diberikan kepada kita ini dicabut? Apakah kita menunggu mendapat
cobaan-cobaan seperti itu, baru mau mendekat kepada-Nya? (IS)
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...