Sunday, 29 August 2010

STUDI KRITIS PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER TENTANG KODIFIKASI HADITS

oleh: Ali Ghufron Sudirman


A. PENDAHULUAN

Hadits merupakan salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua—setelah Al-Quran—dari sumber-sumber hukum Islam. Dalam artian, jika suatu masalah atau kasus terjadi di masyarakat tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al-Quran maka hakim ataupun mujtahid harus kembali kepada Hadits Nabi.

Dalam praktek, banyak ditemukan ketentuan masalah yang tidak dimuat dalam Al-Quran dan hanya didapatkan ketentuannya di dalam Hadits Nabi. Umpamanya aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan haji yang merupakan rukun Islam, tidak dijelaskan rinciannya dalam Al-Quran, akan tetapi dijabarkan secara detail oleh Hadits Nabi SAW. Demikian pula aturan muamalat dan transaksi, pelaksanaan hukuman pidana, aturan moral, dan lainnya.

Melihat betapa urgensinya Hadits dan perannya yang esensial dalam Islam, tidak mengherankan kenapa kalangan yang tidak senang pada Islam, semisal orientalis dan para pengikutnya, berupaya dengan gigih untuk mencari-cari kelemahan Hadits, walaupun dengan cara mengada-ada. Tujuannya adalah untuk menggoyahkan kepercayaan umat Islam pada Hadits. Sebab mereka memahami bahwa jika Hadits dapat disingkirkan dari kehidupan umat Islam maka otomatis Islam tidak akan dapat tegak, karena mustahil mempraktekkan Islam tanpa Hadits Nabi. Dan seandainya Hadits Nabi sudah dapat mereka sisihkan, terbukalah peluang untuk menyimpangkan Al-Quran dan memahaminya menurut selera masing-masing. Selama ini, yang menjadi penghalang utama mereka untuk menyimpangkan pemahaman Al-Quran adalah petunjuk-petunjuk Hadits yang membingkai pemahaman terhadap Al-Quran secara benar. Selama umat Islam berpegang teguh pada Al-Quran dan Hadits maka upaya-upaya pihak luar akan senantiasa mengalami kegagalan.

Kemudian mereka sendiri menyadari bahwa upaya-upaya yang mereka arahkan selama ini—betapapun terencananya—untuk melumpuhkan Al-Quran berakhir dengan kegagalan. Oleh karena itu, mereka ingin mengubah sasarannya kepada sumber Islam yang lain, yaitu Hadits dengan mengangkat sejumlah isu, di antaranya yang paling krusial dan fundamental adalah meragukan otentisitas Hadits. Maka muncullah nama-nama orientalis semisal Ignas Goldziher dan koleganya, David Samuel Margoliouth, lalu diamini oleh para pemikir yang notabene Muslim, di antaranya Prof. Dr. Harun Nasution di Indonesia dan Mahmud Abu Rayah di Mesir.

Secara spesifik, makalah ini akan mengkaji pemikiran Ignaz Goldziher seputar hadits dan kritikan-kritikan terhadapnya.


B. BIOGRAFI SINGKAT IGNAZ GOLDZIHER

Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher. Dia lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di kota Hongaria. Dia Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang sangat luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869. Pada tahun 1870 dia pergi ke Syria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama al-Azhar. Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapes. Di Universitas ini, dia menekankan kajian peradaban Arab dan menjadi seorang kritikus hadith paling penting di abad ke-19. Pada tanggal 13 Desember 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhaphes. Sebagai seorang orientalis yang gigih, ia berusaha menciptakan keresahan umat Islam, seperti menggoyang kebenaran hadith Nabi Muhammad Saw, maka karya-karyanya menjadi sangat berbahaya, terutama berita kebohongan dan kebodohan yang dapat menciptakan permusuhan terhadap Islam[1].


C. KODIFIKASI HADITS MENURUT IGNAZ GOLDZIHER

Sentral serangan orientalis dan para pengikutnya ketika meragukan otentisitas Hadits adalah bahwa upaya penulisan dan kodifikasi Hadits baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah yang memerintah antara tahun 99-101 Hijriyah; sebuah waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah SAW. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas Hadits. Ignas Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua Hijriyah. Di antara catatan atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut:

Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadits merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadits baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi.

Kedua, Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadits yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadits-hadits klasik bukan merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi hadits, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadits yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.


D. ANALISIS KRITIS PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER

Untuk menanggapi beberapa anggapan Ignaz Goldziher di atas, berikut ini dipaparkan catatan-catatan kritis mengenainya.

Pertama, anggapan bahwa hadits merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadits baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi adalah tidak benar. Sebab, kodifikasi hadits pada masa Nabi adalah realitas yang tidak terbantahkan. Para sahabat menulis hadits-hadits ini pada shahifah (lembaran) [2]. Di antara shahifah-shahifah ini yang paling terkenal adalah shahifah Abdullah bin Amr dan Ali bin Abu Thalib. Jadi, inisiatif-inisiatif pribadi untuk melakukan kodifikasi dan penulisan hadits sudah ada sejak zaman Rasul, meskipun perintah resminya baru terjadi masa masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Perlu diketahui di sini bahwa penggunaan kata kodifikasi itu sendiri mengandung makna yang masih bias, karena sering dimaknai sebagai proses penulisan. Padahal, maksud yang lebih tepat adalah proses pengumpulan[3]. Di dalam bahasa Arab, proses penulisan itu disebut kitâbah, sedangkan proses pengumpulan disebut tadwîn[4]. Jadi, anggapan Goldziher bahwa hadits merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadits baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi semakin tidak relevan dan ilmiah. Bagaimana mungkin hadits disebut sebagai produk kreasi kaum muslimin belakangan, padahal kaum muslimin belakangan itu hanya mengumpulkan dari shahifah-shahifah yang sudah ada?

Selain itu, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan dan banyak bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam ini. Jadi, sejak masa pra Islam, tradisi tulisan pun sudah banyak dikenal dalam pagan Arab, terutama di kalangan penyair. Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi Muhammad Saw terdapat 40 penulis wahyu yang setiap saat siaga dalam melakukan penulisan. Ada juga Sa’ad Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Auf yang memiliki kumpulan hadith dari tulisan tangan sendiri[5].

Kedua, anggapan bahwa hadits yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadits-hadits klasik bukan merupakan laporan yang autentik adalah tidak berdasar. Bahkan, otentisitas itu bisa dilacak secara ilmiah dengan adanya manuskrip-manuskrip yang dapat ditelaah. Misalnya, hadits-hadits yang tertulis di dalam Mushannaf Ash-Shadiqah—yang terbukti ditulis pada zaman Rasulullah—itulah yang kemudian banyak dihimpun kembali dalam kumpulan hadits-hadits klasik beserta syawahidnya[6]. Fakta ini saja telah membuktikan bahwa hadits bukanlah seperti yang dituduhkan Goldziher sebagai refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Nabi Muhammad.


E. PENUTUP

Terbukti bahwa tuduhan-tuduhan Ignaz Goldziher terhadap hadits nabi adalah tidak benar dan tidak berdasar. Hadits nabi sudah ditulis sejak zaman Rasulullah, meskipun proses tadwinnya baru terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Jarak yang relatif jauh ini sama sekali tidak membuktikan bahwa selama itu hadits ditelantarkan tanpa perhatian dari para ulama. Sebab, sebagaimana Al-Quran, para ulama juga menaruh perhatian serius kepada hadits nabi sejak zaman awal Islam. Bukti dari perhatian itu dapat ditelaah pada kitab sejarah dan pada kekayaan literatur ilmu hadits dalam khazanah Islam.


[1] Siti Mahmudah Noorhayatie, Hadith di Mata Orientalis (Studi Kritis Atas Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Penulisan Hadith), http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/14/hadith-di-mata-orientalis-studi-kritis-atas-pemikiran-ignaz-goldziher-tentang-penulisan-hadith.

[2]. DR. Daud Rasyid, M.A, Kerancuan Berpikir Harun tentang Hadits, 29/9/2007/ http://alislamu.com/ index.php?option=com_content&task=view&id=674&Itemid=10

[3]. DR. Rif’at Fauzi Abdul Muthalib, Kitâbatu as-Sunnah fi ‘Ahday an-Nabi wa ash-Shahabah (Kairo: Dar Al-Wafa’, 2007), hlm. 8

[4]. Ibnu Manzhur, Lisânu al-Arab (Beirut: Dar Shadir, t t) jilid 13, hlm. 164, 165.

[5]. DR. Muhammad Ajjaj Al-Khatib. As-Sunnah Qabla at-Tadwîn (Beirut: Dar al-Fikr: 2008), hlm. 194, 195, 196.

[6]. Op.cit. Dr. Rif’at Fauzi Abdul Muthalib, Kitâbatu as-Sunnah fi ‘Ahday an-Nabi wa ash-Shahabah

Saturday, 28 August 2010

Benar-Benar Bangkrut

oleh: Ali Ghufron Sudirman


“Siapakah orang yang bangkrut itu?” tanya Rasulullah Saw. suatu hari kepada para sahabat. Kontan para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang rugi ketika berdagang dan tidak punya uang sepeser pun.”

Kita tentu setuju dengan pengertian bangkrut seperti yang dijelaskan oleh para sahabat tersebut. Orang yang bangkrut atau pailit ialah orang yang tidak punya harta karena merugi ketika sedang menjalankan suatu bisnis, sehingga ia terbelit utang. Tapi, “Bukan itu yang kumaksud,” kata Rasulullah seraya menjelaskan makna bangkrut yang hakiki. Orang yang benar-benar bangkrut, jelas Rasulullah sebagaimana terdapat di dalam hadits riwayat Imam Bukhari, adalah orang yang ketika di akhirat membawa segudang pahala shalat, puasa, zakat, dan haji, tapi semua pahala itu habis diminta orang yang dulu pernah ia zalimi di dunia. Dengan kata lain, ia mati membawa banyak pahala berupa ibadah mahdah kepada Allah Swt., tapi di samping itu, ia juga menanggung banyak dosa kepada sesama manusia dan belum meminta maaf.

Bahkan, apabila pahala orang tersebut masih kurang untuk membayar kezaliman yang pernah ia lakukan, maka dosa orang yang ia zalimi dilimpahkan kepadanya, sebanding dengan nilai kezaliman yang ia lakukan. Alih-alih bisa impas, justru ia bangkrut dan pailit karena minus pahala. Tentu saja ini merupakan kebangkrutan yang sangat tragis dan mengerikan. Sebab, kalau bangkrut karena bisnis macet di dunia masih dapat pinjam sana pinjam sini, tapi kalau bangkrut karena kehabisan pahala di akhirat, apa yang dapat diperbuat? Akhirat bukan tempat beramal, melainkan tempat untuk menghitung amal. Maka jika kita merugi di akhirat, itulah yang dinamakan rugi yang sebenar-benarnya. Sebab, sudah tidak ada kesempatan untuk memperbaiki nasib dan kondisi.

Semua ini mengingatkan kepada kita bahwa dosa terhadap sesama manusia, sekecil apa pun ia, bisa menjadi bencana besar ketika di akhirat, apabila kita lalai dan belum meminta maaf. Apalagi, Allah tidak mungkin mengampuni dosa seseorang terhadap orang lain jika orang tersebut belum meminta maaf kepada yang bersangkutan. Sebab, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, syarat tobat dari dosa terhadap sesama manusia ada empat, yaitu menyesal, bertekad untuk tidak mengulangi, meminta maaf kepada orang yang dizalimi, dan meminta ampun kepada Allah.

Untuk itu, sudah semestinya kita mawas diri. Pahala ibadah yang kita miliki hendaklah diimbangi dengan kesalehan diri ketika berinteraksi di tengah masyarakat. Itu kalau kita tidak mau segudang pahala ibadah kita dirampok orang ketika di akhirat, karena berbagai kezaliman yang kita lakukan di tengah masyarakat, sehingga membuat kita bangkrut dan merugi. Wallahu a’lam bish-shawab.

Rasulullah dan Pengemis

oleh: Ali Ghufron Sudirman


Alkisah, suatu hari Rasulullah didatangi seorang pengemis yang pakaiannya compang-camping. Wajah lelaki itu tampak sedih dan mengenaskan. Tentu saja Rasul kasihan. Tapi tahukah Anda, apa yang diberikan Rasul kepada pengemis itu? Apakah Rasul memberi sejumlah uang? Apakah Rasul menyuruhnya masuk untuk diajak makan? Ataukah diberi perbekalan agar tidak lagi kelaparan? Tidak. Rasul tidak memberi semua itu, tetapi memberi sebuah kampak tajam sambil bersabda, “Pergilah ke hutan. Kumpulkan kayu bakar. Jual dan kembalilah kepadaku setelah lima belas hari!” (HR. Abu Dawud).


Subhanallah. Begitulah rasul kita. Sang guru besar yang selalu mendidik dan mengajari umatnya. Rasul tidak memanja pengemis dengan memberi uang atau makanan, tetapi memberinya kampak untuk bekerja. Sebab dengan bekerja, sang pengemis bisa kembali punya harga diri di mata masyarakat.


Dalam sebuah haditsnya Rasulullah menyuruh kita untuk bekerja yang serius. Bekerjalah untuk akhirat, kata Rasul, seperti engkau akan mati esok hari. Dan bekerjalah untuk duniamu, seperti engkau akan hidup selamanya. Sahabat Umar juga membenci seorang pengangguran. Beliau pernah berkata, “Aku pasti benci jika salah satu kalian ada yang menganggur, tidak bekerja untuk dunia, tidak juga untuk akhirat.” Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat perkerjaanmu itu.” (QS. at-taubah [9]:105). Bahkan setelah shalat dan beribadah, Al-Quran mengingatkan kita agar jangan sampai lalai dan bermalas-malasan. “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS.al-Jumu’ah[62]:10). Itulah agama Islam. Setelah shalat kita tidak disuruh santai-santai, tapi disuruh mencari karunia Allah. Apa saja dan di mana saja.

Tapi terkadang kita gengsi dan memilah-milah pekerjaan. Kita selalu ingin bekerja yang enak-enak, bergaji besar, punya prestise, dan disanjung orang. Kita ingin menjadi direktur, bos besar, ekskutif, menteri, atau presiden. Kita lupa bahwa junjungan Rasulullah dan nabi-nabi yang lain bekerja sebagai penggembala. Kita pun mungkin tak tahu bahwa sahabat Abu Hurairah, sang perawi hadits paling handal juga bekerja sebagai pembantu. Bahkan gajinya hanya sepiring nasi untuk mengganjal perut kosong. Seperti itulah agama Islam. Mengarahkan umatnya untuk tidak menjadi beban masyarakat. Untuk bekerja apa saja tanpa harus merasa gengsi, selagi itu halal.


Sekarang kita lihat nasib pengemis yang menghadap Rasul di atas. Bagaimana dia sekarang? Setelah waktu yang ditentukan, si pengemis benar datang menghadap Rasul. Tapi sudah bukan lagi lelaki pada waktu lima belas hari yang lalu. Dia datang dengan baju yang tidak lagi compang-camping. Dia datang dengan semangat baru, jiwa baru, kondisi baru, bahkan dengan postur tubuh baru. Kerut-merut di dahinya sudah hilang. Raut mukanya juga sudah berubah cerah. Kondisinya sama sekali berubah. Dia sukses menjadi pedagang kayu bakar hingga kembali hidup terhormat penuh percaya diri. Itulah nilai sebuah usaha. Oleh karenanya, setiap pagi dan sore hari Rasulullah selalu berdoa, "Ya Allah, aku minta perlindungan-Mu dari derita dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan." (HR. Bukhari)


Semoga kita dianugerahi rezeki yang halal dan barakah walaupun sedikit. Dan semoga kita dijauhkan dari hal-hal haram sejauh jarak timur dan barat meski sangat banyak dan menggoda. Amin. Wallahu a`lam.