Wednesday, 15 July 2015

Ini Profil Syekh Muhammad Jibril; Imam Masjid Para Sahabat Rasul di Mesir yang Dicekal Rezim As-Sisi

Hampir setiap hari ada seorang anak kecil bergamis putih melintas di jalan Desa Thahuriya menuju masjid. Anak ini dikenal selalu menjaga shalat jamaah dan tiba di masjid sebelum adzan berkumandang. Sampai warga kampung yang berada di Propinsi al Qalyubiyah ini berkesimpulan, jika anak bergamis ini melintas, itu artinya waktu shalat tiba.
Anak kecil bergamis itu adalah Muhammad as Sayyid Husnain Jibril. Kini, pria paruh baya ini tumbuh menjadi seorang penghafal al-Qur’an dan telah dipercaya menjadi Imam Masjid Amru bin Ash sejak tahun 1988.

“Allah telah memuliakan saya dengan shalat dan menjadi imam di Masjid Al Jami Amru bin Ash yang telah dibangun oleh lebih dari 80 sahabat Rasulullah,” ujar pria yang akrab disapa Syaikh Muhammad Jibril.

Lulusan Fakultas Syariah wa al Qanun al Azhar ini dikenal sebagai imam yang memiliki suara merdu. Kemerduannya dalam melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dirindukan umat Islam di berbagai tempat, termasuk warga Mesir sendiri.

Seperti saat Ramadhan, warga dari dalam dan luar kota Kairo datang berduyun-duyun untuk mengikuti shalat Tarawih yang dipimpinnya. Bahkan, untuk dapat shaf terdepan, mereka sudah datang sejak jam dua siang. Jumlah jamaahnya pun bisa mencapai 500 ribu orang, hingga meluber ke terowongan Malik as Shalih yang berjarak beberapa ratus meter dari masjid.

Kontribusi Syaikh Jibril terhadap masjid bersejarah ini diakui oleh Dr Abdu as Shabur Sahin, salah satu ulama Mesir, ”Saya mengharap agar ia tidak meninggalkan Masjid Amru. Ia telah menghidupkan Masjid Amru setelah sebelumnya ‘tak berpenghuni’.”

Ada nuansa yang berbeda saat Syaikh Muhammad Jibril memimpin Tarawih. Doa qunut di shalat Witir memakan waktu hampir satu jam. Biasanya, Syaikh Jibril berdoa untuk permasalahan umat Islam. Jodoh, ekonomi, hingga masalah Palestina agar terbebas dari cengkeraman Zionis tak luput dari munajatnya. Tak jarang para jamaah menangis sedu-sedan di waktu qunut berlangsung.

“Baik menangis atau dibuat-buat supaya bisa menangis boleh, sebagaimana sabda Rasulullah (SAW),“ ucap beliau saat ditanya tentang mereka yang menangis dengan dibuat-buat ketika shalat.

Sebelum selesai pendidikan (SMU), ia sudah menjadi imam di salah satu masjid di Yordania. Ia pun menjadi pengajar materi al-Qur’an di Universitas al Urduniyah. Tapi walau sudah menjadi pengajar, ia tak lupa untuk belajar mandiri. Ia melanjutkan kuliah ke Fakultas Syariah wa al Qanun di Universitas al Azhar Mesir. Karena itu, ia harus sering bolak-balik Yordan-Mesir, untuk melancarkan studinya.

Di Yordan, Syaikh Muhammad Jibril mulai populer. Rekaman bacaan al-Qur’an-nya mulai menyebar. Di Mesir sendiri, namanya saat itu hampir tak terdengar. Baru setelah beliau “menyabet” juara lomba menghafal al-Qur`an tingkat internasional di Malaysia (1981) dan di Saudi (1986), Muhammad Jibril mulai populer di negerinya sendiri.

“Ini yang membuat saya merasa bahwa sudah saatnya saya menetap di Mesir,” ujarnya.

Dengan berbekal uang yang ia peroleh dari hadiah lomba, pendiri Madrasah Ubai bin Ka’ab ini membangun rumah dan mulai menjadi imam di beberapa masjid di Mesir. Setiap kali menjadi imam, jumlah jamaah shalat meluber. Hingga akhirnya ia ditetapkan menjadi imam di Masjid Jami Amru bin Ash.

Menjadi imam shalat ratusan ribu jamaah ternyata tak membuat Syaikh Jibril bangga atau grogi.

“Ketika menjadi imam, saya merasa seakan-akan hanya ada satu makmum yang shalat di belakang saya, dan saya sudah lupa dengan semua makmun. Saya merasa sedang berada di alam yang berbeda, bersama setiap lafadz yang saya ucapkan dari kalamullah,” terangnya.

Sejak kecil, Syaikh Jibril memang bercita-cita sebagai Ahlu al-Qur`an, dan meraih tingkatan tertinggi dalam bidang ini. Menurutnya, sejak awal beliau memang mencintai spesialisasi. Sehingga, ketika diangkat menjadi Imam Masjid Amru bin Ash, dan diundang untuk menjadi imam shalat di berbagai negara beliau tidak merasa heran. Akan tetapi menurutnya, tawadhu harus tetap dijaga. Bahkan, walau sudah ribuan kali menjadi imam shalat di berbagai tempat, beliau merasa seakan-akan baru pertama kali menjadi imam.

Gemar Olahraga

Bulan Maret 2004, ulama Mesir yang juga kerap menjadi Imam Tarawih di Malaysia ini mengaktifkan lembaga pendidikan al-Qur`an yang bernama Dar Ubai bin Ka’ab —sahabat Nabi penghafal dan penulis wahyu— yang terletak di wilayah Sayidah Zainab, Kairo. Dengan masa pendidikan enam tahun, ia mentargetkan lima juz al-Qur`an bisa dihafal tiap tahunnya, sehingga begitu lulus para pelajar sudah menghafal 30 juz. Selain mendirikan lembaga pendidikan al-Qur’an, ia juga mendirikan “kuliah terbuka” yang tidak terikat umur.

Selain aktivitas tadi, ia juga rajin berolahraga. Bermain sepakbola dan berenang adalah cabang olahraga yang beliau gemari. Menurutnya, olahraga bisa membantu mengatur pernafasan. Karena nafas yang teratur dengan baik sangat diperlukan bagi seorang qari’. Itu dilakukan juga untuk menjaga kekuatan jasmani. Pasalnya, untuk menjadi imam, apalagi shalat Tarawih, perlu memiliki ketahanan fisik yang baik.

Selain itu, Syaikh Jibril memanfaatkan waktu bersama putranya, Amru, sambil mendengarkan lantunan al-Qur’an. “Wajib bagi kita untuk memperhatikan anak-anak balita karena mereka memiliki fitrah untuk mencintai al-Qur`an, hingga mereka senang jika kita bacakan,” ucapnya.

Keluarga al-Qur`an

Menjadi penghafal dan qari al-Qur`an ujar Syaikh Jibril, tak cukup hanya mengandalkan jerih payah. Peran lingkungan dalam keluarga juga menentukan. Keluarga Muhammad Jibril sendiri adalah “keluarga al-Qur’an”. Ayah beliau sendiri adalah seorang hafidz yang cukup dikenal di Provinsi Qalyubiyah. Kakak laki-lakinya, Syaikh Sayyid Muhammad Jibril juga seorang hafidz, mengajar di pesantren milik al Azhar di wilayah Ma’adi. Begitu pula saudaranya yang bernama Nashr, serta bebarapa saudara perempuannya juga hafal 30 juz.

Usia lima tahun, ayahnya menyerahkannya kepada Syaikh Amir Utsman, pangajar al-Qur`an di desanya. Dan Syaikh Jibril memiliki kesan tersendiri terhadap guru beliau yang telah wafat di Makkah ini. Menurutnya, pertemuannya dengan Syaikh Amir adalah sebuah kenikmatan dari Allah. “Dari Syaikh Amir saya mengambil bacaan al-Qur`an yang “bersih” dan tepat. Laki-laki ini adalah salah satu fadhilah untuk saya,” kenangnya.

Cara Menghafal Al-Qur`an

Ketika ditanya bagaimana cara menghafal hingga bisa menghasilkan hafalan yang kuat dan benar, beliau menjawab, “Musyafahah (dengan mendengarkan dan menirukan) adalah cara pengajaran yang saya tempuh, setelah itu mempelajari hukum bacaan.”
Tidak hanya itu, keadaan hati yang bersih juga turut berperan, ”Saya mengetahui bahwa keberhasilan adalah buah dari ikhlas, maka saya berusaha untuk selalu dalam keadaan ikhlas dan terus-menerus mengulangi hafalan.”

Mengenai metode pengulangan hafalan Syaikh Jibril menjelaskan, ”Saya dulu mengulangi sebelum dan sesudah shalat Shubuh dengan mengetahui tanda wuquf (berhenti), dan bagaimana mengucapkan lafadz yang benar, dan saya membaca yang akan saya hafal besok dan saya terus melakukannya.”

Syaikh Jibril memandang bahwa mengulangi hafalan setiap hari adalah hal yang amat penting bagi seorang hafidz. “Barang siapa meninggalkan al-Qur`an dalam sehari, maka al-Qur’an akan meninggalkannya dalam sepekan, barangsiapa meninggalkan al-Qur’an sepekan, al-Qur’an akan meninggalkannya sebulan, dan barang siapa meninggalkan al-Qur’an sebulan, maka al-Qur`an meninggalkannya setahun dan barang siapa meninggalkan al-Qur`an setahun maka yang bersangkutan akan lupa sehingga kita harus memulai hafalan dari awal lagi,” pesan Syaikh Jibril. (majalah.hidayatullah.com)


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...