Hampir
setiap hari ada seorang anak kecil bergamis putih melintas di jalan Desa
Thahuriya menuju masjid. Anak ini dikenal selalu menjaga shalat jamaah dan tiba
di masjid sebelum adzan berkumandang. Sampai warga kampung yang berada di
Propinsi al Qalyubiyah ini berkesimpulan, jika anak bergamis ini melintas, itu
artinya waktu shalat tiba.
Anak kecil
bergamis itu adalah Muhammad as Sayyid Husnain Jibril. Kini, pria paruh baya ini
tumbuh menjadi seorang penghafal al-Qur’an dan telah dipercaya menjadi Imam
Masjid Amru bin Ash sejak tahun 1988.
“Allah
telah memuliakan saya dengan shalat dan menjadi imam di Masjid Al Jami Amru bin
Ash yang telah dibangun oleh lebih dari 80 sahabat Rasulullah,” ujar pria yang
akrab disapa Syaikh Muhammad Jibril.
Lulusan
Fakultas Syariah wa al Qanun al Azhar ini dikenal sebagai imam yang memiliki
suara merdu. Kemerduannya dalam melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dirindukan
umat Islam di berbagai tempat, termasuk warga Mesir sendiri.
Seperti saat
Ramadhan, warga dari dalam dan luar kota Kairo datang berduyun-duyun untuk
mengikuti shalat Tarawih yang dipimpinnya. Bahkan, untuk dapat shaf terdepan,
mereka sudah datang sejak jam dua siang. Jumlah jamaahnya pun bisa mencapai 500
ribu orang, hingga meluber ke terowongan Malik as Shalih yang berjarak beberapa
ratus meter dari masjid.
Kontribusi
Syaikh Jibril terhadap masjid bersejarah ini diakui oleh Dr Abdu as Shabur
Sahin, salah satu ulama Mesir, ”Saya mengharap agar ia tidak meninggalkan
Masjid Amru. Ia telah menghidupkan Masjid Amru setelah sebelumnya ‘tak
berpenghuni’.”
Ada nuansa yang
berbeda saat Syaikh Muhammad Jibril memimpin Tarawih. Doa qunut di shalat Witir
memakan waktu hampir satu jam. Biasanya, Syaikh Jibril berdoa untuk
permasalahan umat Islam. Jodoh, ekonomi, hingga masalah Palestina agar terbebas
dari cengkeraman Zionis tak luput dari munajatnya. Tak jarang para jamaah
menangis sedu-sedan di waktu qunut berlangsung.
“Baik
menangis atau dibuat-buat supaya bisa menangis boleh, sebagaimana sabda
Rasulullah (SAW),“ ucap beliau saat ditanya tentang mereka yang menangis dengan
dibuat-buat ketika shalat.
Sebelum
selesai pendidikan (SMU), ia sudah menjadi imam di salah satu masjid di Yordania.
Ia pun menjadi pengajar materi al-Qur’an di Universitas al Urduniyah. Tapi walau
sudah menjadi pengajar, ia tak lupa untuk belajar mandiri. Ia melanjutkan
kuliah ke Fakultas Syariah wa al Qanun di Universitas al Azhar Mesir. Karena
itu, ia harus sering bolak-balik Yordan-Mesir, untuk melancarkan studinya.
Di Yordan,
Syaikh Muhammad Jibril mulai populer. Rekaman bacaan al-Qur’an-nya mulai
menyebar. Di Mesir sendiri, namanya saat itu hampir tak terdengar. Baru setelah
beliau “menyabet” juara lomba menghafal al-Qur`an tingkat internasional di
Malaysia (1981) dan di Saudi (1986), Muhammad Jibril mulai populer di negerinya
sendiri.
“Ini
yang membuat saya merasa bahwa sudah saatnya saya menetap di Mesir,” ujarnya.
Dengan berbekal
uang yang ia peroleh dari hadiah lomba, pendiri Madrasah Ubai bin Ka’ab ini
membangun rumah dan mulai menjadi imam di beberapa masjid di Mesir. Setiap kali
menjadi imam, jumlah jamaah shalat meluber. Hingga akhirnya ia ditetapkan
menjadi imam di Masjid Jami Amru bin Ash.
Menjadi
imam shalat ratusan ribu jamaah ternyata tak membuat Syaikh Jibril bangga atau
grogi.
“Ketika
menjadi imam, saya merasa seakan-akan hanya ada satu makmum yang shalat di
belakang saya, dan saya sudah lupa dengan semua makmun. Saya merasa sedang
berada di alam yang berbeda, bersama setiap lafadz yang saya ucapkan dari
kalamullah,” terangnya.
Sejak
kecil, Syaikh Jibril memang bercita-cita sebagai Ahlu al-Qur`an, dan meraih
tingkatan tertinggi dalam bidang ini. Menurutnya, sejak awal beliau memang
mencintai spesialisasi. Sehingga, ketika diangkat menjadi Imam Masjid Amru bin
Ash, dan diundang untuk menjadi imam shalat di berbagai negara beliau tidak
merasa heran. Akan tetapi menurutnya, tawadhu harus tetap dijaga. Bahkan, walau
sudah ribuan kali menjadi imam shalat di berbagai tempat, beliau merasa
seakan-akan baru pertama kali menjadi imam.
Gemar
Olahraga
Bulan
Maret 2004, ulama Mesir yang juga kerap menjadi Imam Tarawih di Malaysia ini
mengaktifkan lembaga pendidikan al-Qur`an yang bernama Dar Ubai bin Ka’ab
—sahabat Nabi penghafal dan penulis wahyu— yang terletak di wilayah Sayidah
Zainab, Kairo. Dengan masa pendidikan enam tahun, ia mentargetkan lima juz
al-Qur`an bisa dihafal tiap tahunnya, sehingga begitu lulus para pelajar sudah
menghafal 30 juz. Selain mendirikan lembaga pendidikan al-Qur’an, ia juga
mendirikan “kuliah terbuka” yang tidak terikat umur.
Selain
aktivitas tadi, ia juga rajin berolahraga. Bermain sepakbola dan berenang adalah
cabang olahraga yang beliau gemari. Menurutnya, olahraga bisa membantu mengatur
pernafasan. Karena nafas yang teratur dengan baik sangat diperlukan bagi
seorang qari’. Itu dilakukan juga untuk menjaga kekuatan jasmani. Pasalnya,
untuk menjadi imam, apalagi shalat Tarawih, perlu memiliki ketahanan fisik yang
baik.
Selain
itu, Syaikh Jibril memanfaatkan waktu bersama putranya, Amru, sambil
mendengarkan lantunan al-Qur’an. “Wajib bagi kita untuk memperhatikan anak-anak
balita karena mereka memiliki fitrah untuk mencintai al-Qur`an, hingga mereka
senang jika kita bacakan,” ucapnya.
Keluarga
al-Qur`an
Menjadi
penghafal dan qari al-Qur`an ujar Syaikh Jibril, tak cukup hanya mengandalkan
jerih payah. Peran lingkungan dalam keluarga juga menentukan. Keluarga Muhammad
Jibril sendiri adalah “keluarga al-Qur’an”. Ayah beliau sendiri adalah seorang
hafidz yang cukup dikenal di Provinsi Qalyubiyah. Kakak laki-lakinya, Syaikh
Sayyid Muhammad Jibril juga seorang hafidz, mengajar di pesantren milik al
Azhar di wilayah Ma’adi. Begitu pula saudaranya yang bernama Nashr, serta
bebarapa saudara perempuannya juga hafal 30 juz.
Usia
lima tahun, ayahnya menyerahkannya kepada Syaikh Amir Utsman, pangajar
al-Qur`an di desanya. Dan Syaikh Jibril memiliki kesan tersendiri terhadap guru
beliau yang telah wafat di Makkah ini. Menurutnya, pertemuannya dengan Syaikh
Amir adalah sebuah kenikmatan dari Allah. “Dari Syaikh Amir saya mengambil
bacaan al-Qur`an yang “bersih” dan tepat. Laki-laki ini adalah salah satu
fadhilah untuk saya,” kenangnya.
Cara
Menghafal Al-Qur`an
Ketika
ditanya bagaimana cara menghafal hingga bisa menghasilkan hafalan yang kuat dan
benar, beliau menjawab, “Musyafahah (dengan mendengarkan dan menirukan) adalah
cara pengajaran yang saya tempuh, setelah itu mempelajari hukum bacaan.”
Tidak hanya
itu, keadaan hati yang bersih juga turut berperan, ”Saya mengetahui bahwa
keberhasilan adalah buah dari ikhlas, maka saya berusaha untuk selalu dalam
keadaan ikhlas dan terus-menerus mengulangi hafalan.”
Mengenai
metode pengulangan hafalan Syaikh Jibril menjelaskan, ”Saya dulu mengulangi
sebelum dan sesudah shalat Shubuh dengan mengetahui tanda wuquf (berhenti), dan
bagaimana mengucapkan lafadz yang benar, dan saya membaca yang akan saya hafal
besok dan saya terus melakukannya.”
Syaikh
Jibril memandang bahwa mengulangi hafalan setiap hari adalah hal yang amat
penting bagi seorang hafidz. “Barang siapa meninggalkan al-Qur`an dalam sehari,
maka al-Qur’an akan meninggalkannya dalam sepekan, barangsiapa meninggalkan
al-Qur’an sepekan, al-Qur’an akan meninggalkannya sebulan, dan barang siapa
meninggalkan al-Qur’an sebulan, maka al-Qur`an meninggalkannya setahun dan
barang siapa meninggalkan al-Qur`an setahun maka yang bersangkutan akan lupa
sehingga kita harus memulai hafalan dari awal lagi,” pesan Syaikh Jibril. (majalah.hidayatullah.com)
No comments:
Post a Comment
Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...