|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||
Saudaraku, Rasulullah pernah bersabda bahwa kaya itu bukan ketika banyak
harta, melainkan ketika hati merasa cukup dengan apa yang dipunya. Ini hadits
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dari Abu Hurairah. Redaksi
arabnya:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ
الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Ibnu Battal, sebagaimana dinukil dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah
Sunan Tirmidzi menjelaskan maksud
dari hadits ini seraya mengatakan bahwa hakikat kaya itu
tidak dilihat dari banyaknya harta. Sebab banyak orang yang diberi anugerah
berlimpah oleh Allah tapi tidak juga merasa cukup dan ingin terus mencari
lainnya. Bahkan ada yang tidak peduli dari mana asalnya. Dengan begitu, ia
belum disebut kaya. Justru sebetulnya ia orang termiskin di dunia sebab tak
kunjung mendapat apa yang dia cita.
Adapun orang yang pada hakikatnya kaya adalah orang yang merasa cukup
dengan apa yang dipunya dan yang tidak membabi buta ketika mencari tambahannya.
Ini dia orang yang kaya. Ia merasa cukup dengan yang dimiliki tanpa memandang
iri kepada milik selainnya.
Saudaraku, alangkah nikmat bisa memiliki rasa seperti ini. Tapi alangkah
sulit untuk dapat menggapainya. Ya. Bahkan sangat sulit. Tabiat manusia itu
sulit untuk merasa cukup dan sulit untuk tidak iri.
Belajar dari Laba-Laba
Dalam kondisi seperti ini, ada baiknya bila saya dan saudaraku semua, kita
bersama-sama belajar menjadi
kaya dari laba-laba.
Betul. Dari laba-laba.
Lihatlah laba-laba itu. Meski
banyak mangsa di sekitarnya, bila mangsa itu tidak menempel pada jaringnya,
maka dia membiarkan saja. Laba-laba hanya bergerak di garis ikhtiyarnya yang
terwujud pada jaring yang ia punya. Senikmat apa pun mangsa yang lewat, ia
tidak akan mengejar kalau memang tidak menempel di jaringnya. Sebab mengejar
mangsa yang lepas dari garis ikhtiyarnya sama dengan mencelakai diri sendiri.
Laba-laba selalu bisa
merasa cukup dan tidak iri. Yang dia tahu hanya tekun berikhtiyar membenahi jaring-jaringnya
kalau ada yang rusak sambil menunggu jatah rezeki.
Benar. Kiranya, ikhtiar
dan jatah rezeki inilah yang membuat laba-laba bisa tenang, merasa cukup
dan tidak iri. Ini pula yang membuat Hasan Al-Bashri berujar, “Aku tenang
beribadah, karena aku tahu rezeki sudah ada yang mengaturnya.”
Dalam hal ini Rasulullah juga
pernah bersabda:
لَوْ
أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ
الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Andai kalian bertawakal
kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal maka Allah akan memberimu rezeki
sebagaimana memberi rezeki kepada burung, yang ketika pagi hari pergi dari
sarangnya dalam kondisi lapar, saat kembali sore hari dalam kondisi kenyang. (HR.
Ibnu Majah)
Masalahnya, mampukah kita
untuk merasa cukup dan tidak iri?