|| Oleh:
Ali Ghufron Sudirman ||
Dikisahkan, di Bashrah terdapat wanita-wanita ahli
ibadah, di antaranya adalah Ummu Ibrahim Al-Hasyimiyah. Ketika musuh Islam
menyusup ke kantong-kantong perbatasan wilayah Islam, maka orang-orang tergerak
untuk berjihad di jalan Allah.
Abdul Wahid bin Zaid Al-Bashri berdiri di tengah
orang-orang sambil berkhutbah untuk menganjurkan mereka berjihad. Saat itu Ummu
Ibrahim juga turut menghadiri majelis ini. Abdul Wahid terus berkhutbah,
sampailah pembicaraannya menerangkan tentang bidadari yang merupakan imbalan
bagi sebagian penghuni surga, akibat amalannya diterima oleh Allah. Di antara
amalan tersebut adalah jihad.
Abdul Wahid menggambarkan bidadari dalam syair yang
sangat indah. Orang-orang pun saling berbisik hingga suasana menjadi ramai dan
gaduh. Kemudian Ummu Ibrahim yang mengikuti khutbah Abdul Wahid menyeruak dari
tengah kerumunan seraya berkata,
“Wahai Abu Ubaid, bukankah engkau mengenal anakku, Ibrahim?
Para pemuka Bashrah meminangnya untuk putri-putri mereka, tetapi aku tidak
setuju. Demi Allah, gadis yang engkau sebutkan tadi (bidadari) menarik hatiku dan
aku meridhainya menjadi pengantin untuk putraku. Tolong, ulangi lagi apa yang
engkau sebutkan tentang kecantikannya.”
Mendengar hal itu Abdul Wahid kembali menggambarkan
bidadari dengan syairnya yang sangat memikat. Orang-orang yang mendengarnya
semakin terkagum-kagum. lalu Ummu Ibrahim maju seraya berkata kepada Abdul
Wahid,
“Wahai Abu Ubaid, demi Allah, gadis ini menarik
perhatianku dan aku benar-benar meridhainya sebagai pengantin bagi putraku. Apakah
engkau sudi menikahkan putraku dengan gadis itu sekarang juga? Ambilllah
maharnya dariku sebanyak 10.000 dinar, serta bawalah putraku pergi bersamamu
menuju peperangan itu. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan syahadah (mati syahid)
kepadanya, sehingga dia akan memberi syafaat untukku dan untuk ayahnya pada
hari Kiamat.”
Abdul Wahid pun menjawab, “Jika engkau melakukannya,
niscaya engkau dan anakmu akan mendapatkan keberuntungan yang besar.”
Kemudian Ummu Ibrahim
memanggil putranya,
“Wahai Ibrahim!”
Ibrahim bergegas maju
dari tengah orang-orang seraya berkata,
“Aku penuhi
panggilanmu, wahai ibu.”
Ummu Ibrahim berkata, “Wahai putraku! Apakah engkau ridha
dengan gadis (bidadari) ini sebagai istri, dengan syarat engkau mengorbankan
dirimu di jalan Allah dan tidak kembali dalam dosa-dosa?”
Pemuda ini menjawab,
“Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat ridha.”
Ummu Ibrahim berkata, “Ya Allah, aku menjadikan-Mu sebagai
saksi bahwa aku telah menikahkan anakku dengan gadis ini dengan pengorbanannya
di jalan-Mu dan tidak kembali dalam dosa. Maka terimalah dariku, wahai
sebaik-baik Penyayang.”
Kemudian ibu ini pergi, lalu datang kembali dengan
membawa 10.000 dinar seraya mengatakan, “Wahai Abu Ubaid, ini adalah mahar
gadis itu. Bersiaplah dengan mahar ini."
Abu Ubaid pun menyiapkan para pejuang di jalan Allah.
Sang ibu kemudian pergi membelikan kuda yang baik untuk putranya dan menyiapkan
senjata untuknya. Kemudian berangkatlah rombongan Abdul Wahid yang didalamnya
terdapat Ibrahim, ke medan perang. Bersamaan dengannya dibacakanlah ayat 111
Surah At-Taubah yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka
…”
Ketika sang ibu hendak berpisah dengan putranya, maka ia
menyerahkan kain kafan dan wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya,
“Wahai anakku, jika engkau hendak bertemu dengan musuh, maka pakailah kain
kafan ini dan gunakanlah wangi-wangian ini. Janganlah Allah melihatmu dalam
keadaan lemah di jalan-Nya.” Kemudian ia memeluk putranya dan mencium keningnya
seraya mengatakan, “wahai anakku, Allah tentu akan mengumpulkan kita di
hadapan-Nya pada hari Kiamat.”
Selanjutnya marilah kita baca penuturan Abdul Wahid.
“Ketika kami sampai diperbatasan musuh, terompet ditiup dan mulailah terjadi
perang. Saat itu Ibrahim berperang di barisan terdepan. Ia membunuh musuh dalam
jumlah yang besar, sampai musuh mengepungnya, kemudian membunuhnya.”
Abdul Wahid berkata, “Ketika kami hendak kembali ke
Bashrah, aku berkata kepada Sahabat-Sahabatku, ‘Kalian jangan menceritakan
kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang menimpa putranya sampai aku mengabarkan
kepadanya dengan sebaik-baik hiburan. Sehingga ia tidak bersedih dan pahalanya
tidak hilang.’ Ketika kami sampai di Bashrah, orang-orang pun keluar untuk
menyambut kami, dan Ummu Ibrahim pun berada di antara mereka.”
Abdul Wahid berkata, “Ketika dia memandangku, ia
bertanya, ‘Wahai Abu Ubaid, apakah hadiah dariku diterima sehingga aku diberi
ucapan selamat, atau ditolak sehingga aku diberi belasungkawa?’
Aku pun menjawab,
‘Hadiahmu telah diterima. Sesungguhnya Ibrahim hidup bersama orang-orang yang
hidup dalam keadaan diberi rezeki, insya Allah)’.
Maka ibu ini pun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada
Allah seraya mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku dan
menerima ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi.
Keesokan harinya, Ummu Ibrahim datang ke masjid yang di
dalamnya terdapat Abdul Wahid lalu dia berseru,
"Assalaamualaikum,
wahai Abu Ubaid. Ada kabar gembira untukmu."
Selanjutnya dia
berkata,
"Tadi malam aku bermimpi melihat putraku, Ibrahim,
di sebuah taman yang indah. Di atasnya terdapat kubah hijau, sedangkan dia
berada di atas ranjang yang terbuat dari mutiara, dan kepalanya memakai
mahkota."
Ibrahim berkata, “Wahai ibu, bergembiralah. Sebab
maharnya telah diterima dan aku bersanding dengan pengantin wanita.’”
Demikianlah
salah satu kisah istri salehah yang menyebabkan umat Islam dahulu menjadi umat yang
kuat. Umat Islam dahulu menjadi umat yang mempunyai kewibawaan besar di antara
umat-umat yang lain, salah satunya adalah karena upaya dari istri-istri salehah
yang menyiapkan anak-anak mereka sebagai prajurit pembela Islam. Sudah
selayaknya kita menyontoh segala yang dilakukan oleh para istri umat Islam zaman
terdahulu, yang selalu membantu suami dan anaknya dalam rangka menaati Allah swt.
Dengannya, semoga kejayaan dan kewibawaan umat Islam mampu kembali.
*Dinukil dari Buku
“Membahagiakan Suami Sejak Malam Pertama” karya Ali Ghufron Sudirman
(Jakarta: Amzah, cet. 2, 2013)