Saturday, 31 August 2013

Dr. Muhammad Badi'; Mursyid Am Ikhwanul Muslimin yang Keluar Masuk Penjara



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||
 
Dr Muhammad badi’ memiliki nama lengkap Muhammad Badi’ Abdul Majid Sami. Beliau lahir pada 7 Agustus 1943 di Mahallah Kubra, Gharbea, Mesir. Beliau meraih gelar dokter hewan di Kairo pada tahun 1965, dan pada tahun yang sama diangkat menjadi dosen pada fakultas kedokteran hewan di Universitas Asyuth. 

Pada tahun 1977 Dr. Muhammad Badi’ meraih gelar Magister pada kedokteran hewan di Universitas Zaqaziq dan menjabat asisten dosen di sana. Kemudian pada tahun 1979 beliau menamatkan studi S-3nya dalam bidang yang sama di Universitas Zaqaziq dan diangkat sebagai dosen tetap. Beliau terus aktif di bidang keilmuannya hingga menjadi professor kedokteran hewan tahun 1987 di Universitas Kairo cabang Bani Suwaif.

Friday, 30 August 2013

Abu Bakar Al-Jazairi; Penulis Kitab Minhajul Muslim

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Abu Bakar Al-Jazairi bernama lengkap Jabir bin Musa bin Abdul Qadir bin Jabir. Beliau biasa dipanggil Abu Bakar Al-Jazairi. Lahir di Desa Lira, bagian selatan Aljazair pada tahun 1921. Di kampungnya ini beliau tumbuh dan mengenyam pendidikan dasar. Di situ pula beliau mulai menghafal Al-Quran, bait-bait gramatikal Arab dan fiqih mazhab Maliki. Kemudian beliau pindah ke kota Baskara dan belajar ilmu-ilmu agama serta logika kepada para alim ulamanya hingga mengajar pada salah satu madrasah di sana.

Setelah itu, beliau bersama keluarga pindah ke Madinah Al-Munawwarah. Di Kota Madinah inilah Abu Bakar Al-Jazairi memulai perjalanan ilmiahnya. Beliau aktif pada halaqah-halaqah pengajian di Masjid Nabawi yang diampu oleh para syekh dan ulama Madinah, sampai beliau mendapatkan rekomendasi dari Ri’asah Al-Qadha’ di Makkah Al-Mukarramah untuk mengajar serta menggelar halaqah pengajian sendiri. Beliau pun mulai membuat halaqah pengajian di Masjid Nabawi dan mengampu materi tafsir, hadits, dan lain-lain.

Thursday, 29 August 2013

Membongkar Pemikiran Menyeleweng JIL Seputar Hadits Nabi

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Hadits merupakan salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua setelah Al-Quran dari sumber-sumber hukum Islam. Dalam artian, jika suatu masalah atau kasus terjadi di masyarakat tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al-Quran maka hakim ataupun mujtahid harus kembali kepada Hadits Nabi.

Dalam praktik, banyak sekali ditemukan masalah yang tidak dimuat dalam Al-Quran dan hanya didapatkan ketentuannya di dalam Hadits Nabi. Umpamanya aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan haji yang merupakan rukun Islam, tidak dijelaskan rinciannya dalam Al-Quran, akan tetapi dijabarkan secara detail oleh Hadits Nabi saw. Demikian pula aturan muamalat dan transaksi, pelaksanaan hukuman pidana, aturan moral, dan lainnya.

Melihat betapa urgennya Hadits dan perannya yang esensial dalam Islam maka setiap akademisi muslim dituntut dan punya tanggung jawab yang sama besarnya untuk menjaga serta membentengi Hadits dari fitnah atau klaim yang meragukan kapasitas Hadits sebagai sumber hukum Islam. Sebab, ada sejumlah upaya yang dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mencari-cari kelemahan Hadits, walaupun dengan cara mengada-ada.

Friday, 23 August 2013

Najib Kailani Pegiat Sastra Islami

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Dr. Najib Abdul Latif Ibrahim Al-Kailani lahir pada awal Juli tahun 1931, yang bertepatan dengan bulan Muharram tahun 1350 H. Beliau lahir di Desa Syarsabah kecamatan Zifti, provinsi Gharbea di Mesir. Najib Al-Kailani merupakan anak pertama.  Sebagaimana tradisi di kampungnya waktu itu, Najib mulai belajar kepada kuttab pada usia empat tahun. Di situ ia belajar membaca, menulis, berhitung, belajar hadits nabi, sirah rasul, cerita-cerita para nabi, dan cerita-cerita Al-Quran. Najib berasal dari keluarga petani. Sejak kecil ia rajin bekerja di sawah.

Thursday, 22 August 2013

Indahnya Saling Mengingatkan



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||
Saudaraku, alangkah indah bila kita punya seseorang, entah itu pasangan kita, saudara kita, atau orang tua kita yang selalu mengingatkan dalam hal keimanan. Sebab dengan demikian hidup kita akan selalu dapat terkontrol dan termonitor. Siapa saja tentu mengharapkan seperti itu. Dan sebagaimana kita membutuhkannya, orang lain pun membutuhkan juga. Maka kita dianjurkan untuk saling mengingatkan. Bahasa Al-Qurannya, tawashau bil haq watawashau bish shabr.

Wednesday, 21 August 2013

Antara Beragama dan Bertuhan



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

'Beragama' tidak tentu sama dengan 'bertuhan'. Orang yang beragama, selain mempunyai Tuhan (bertuhan; akidah) juga mempunyai ritual khusus dan istimewa untuk menyempurnakan kebertuhanannya. Ritual-ritual khusus itu disebut sebagai aturan tuhan yang pada perjalanannya dinamakan syari'at.

Seorang yang mengaku 'beragama' Islam tapi tidak menjalankan shalat, atau melakukan shalat dengan cara-caranya sendiri, misalnya, belum bisa disebut 'beragama' Islam. Mungkin dia bertuhan karena memang mempunyai Tuhan. Tapi belum beragama karena tidak mau menyempurnakan kebertuhanannya dengan ritual-ritual khusus seperti yang diatur dalam syari'at.

Lalu apakah kita sudah merasa cukup untuk bertuhan saja, tanpa beragama? Apakah kita cukup memiliki keyakinan, tanpa harus menjalankan ritual-ritual yang menyertainya?

Tuesday, 20 August 2013

Imam Ibnu Malik, Penulis Kitab Alfiyah yang Ciamik

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Bagi kalangan masyarakat pesantren khususnya dan masyarakat pecinta sastra Arab serta gramatikal Arab umumnya tentu tidak asing dengan nama Ibnu Malik dan karya monumentalnya; Alfiyah Ibnu Malik. Rasanya tak mungkin terlupakan bahwa dulu, semasa belajar pada jenjang MTs di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Pati, hafal nazham Alfiyah Ibnu Malik merupakan syarat mutlak kenaikan kelas. Sepandai apa pun ia, bila tidak hafal Nadzam Alfiyah maka tidak mungkin naik kelas.

Kajian Malam Selasanan: Hadits Arbain dengan Syarah Jami'ul Ulum wal Hikam (Pertemuan 1)

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

HADITS 1 AMAL TERGANTUNG DARI NIATNYA

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ . وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya maka (pahala) hijrahnya (ditulis) karena Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (ditulis) karena apa yang ia niatkan untuk berhijrah itu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sunday, 18 August 2013

Wanita Ini Menikahkan Putranya dengan Bidadari Surga

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Dikisahkan, di Bashrah terdapat wanita-wanita ahli ibadah, di antaranya adalah Ummu Ibrahim Al-Hasyimiyah. Ketika musuh Islam menyusup ke kantong-kantong perbatasan wilayah Islam, maka orang-orang tergerak untuk berjihad di jalan Allah.

Abdul Wahid bin Zaid Al-Bashri berdiri di tengah orang-orang sambil berkhutbah untuk menganjurkan mereka berjihad. Saat itu Ummu Ibrahim juga turut menghadiri majelis ini. Abdul Wahid terus berkhutbah, sampailah pembicaraannya menerangkan tentang bidadari yang merupakan imbalan bagi sebagian penghuni surga, akibat amalannya diterima oleh Allah. Di antara amalan tersebut adalah jihad.

Abdul Wahid menggambarkan bidadari dalam syair yang sangat indah. Orang-orang pun saling berbisik hingga suasana menjadi ramai dan gaduh. Kemudian Ummu Ibrahim yang mengikuti khutbah Abdul Wahid menyeruak dari tengah kerumunan seraya berkata,

“Wahai Abu Ubaid, bukankah engkau mengenal anakku, Ibrahim? Para pemuka Bashrah meminangnya untuk putri-putri mereka, tetapi aku tidak setuju. Demi Allah, gadis yang engkau sebutkan tadi (bidadari) menarik hatiku dan aku meridhainya menjadi pengantin untuk putraku. Tolong, ulangi lagi apa yang engkau sebutkan tentang kecantikannya.”

Mendengar hal itu Abdul Wahid kembali menggambarkan bidadari dengan syairnya yang sangat memikat. Orang-orang yang mendengarnya semakin terkagum-kagum. lalu Ummu Ibrahim maju seraya berkata kepada Abdul Wahid,

“Wahai Abu Ubaid, demi Allah, gadis ini menarik perhatianku dan aku benar-benar meridhainya sebagai pengantin bagi putraku. Apakah engkau sudi menikahkan putraku dengan gadis itu sekarang juga? Ambilllah maharnya dariku sebanyak 10.000 dinar, serta bawalah putraku pergi bersamamu menuju peperangan itu. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan syahadah (mati syahid) kepadanya, sehingga dia akan memberi syafaat untukku dan untuk ayahnya pada hari Kiamat.”

Abdul Wahid pun menjawab, “Jika engkau melakukannya, niscaya engkau dan anakmu akan mendapatkan keberuntungan yang besar.”

Kemudian Ummu Ibrahim memanggil putranya,
“Wahai Ibrahim!”

Ibrahim bergegas maju dari tengah orang-orang seraya berkata,
“Aku penuhi panggilanmu, wahai ibu.”

Ummu Ibrahim berkata, “Wahai putraku! Apakah engkau ridha dengan gadis (bidadari) ini sebagai istri, dengan syarat engkau mengorbankan dirimu di jalan Allah dan tidak kembali dalam dosa-dosa?”

Pemuda ini menjawab, “Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat ridha.”

Ummu Ibrahim berkata, “Ya Allah, aku menjadikan-Mu sebagai saksi bahwa aku telah menikahkan anakku dengan gadis ini dengan pengorbanannya di jalan-Mu dan tidak kembali dalam dosa. Maka terimalah dariku, wahai sebaik-baik Penyayang.”

Kemudian ibu ini pergi, lalu datang kembali dengan membawa 10.000 dinar seraya mengatakan, “Wahai Abu Ubaid, ini adalah mahar gadis itu. Bersiaplah dengan mahar ini."

Abu Ubaid pun menyiapkan para pejuang di jalan Allah. Sang ibu kemudian pergi membelikan kuda yang baik untuk putranya dan menyiapkan senjata untuknya. Kemudian berangkatlah rombongan Abdul Wahid yang didalamnya terdapat Ibrahim, ke medan perang. Bersamaan dengannya dibacakanlah ayat 111 Surah At-Taubah yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka …”

Ketika sang ibu hendak berpisah dengan putranya, maka ia menyerahkan kain kafan dan wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, jika engkau hendak bertemu dengan musuh, maka pakailah kain kafan ini dan gunakanlah wangi-wangian ini. Janganlah Allah melihatmu dalam keadaan lemah di jalan-Nya.” Kemudian ia memeluk putranya dan mencium keningnya seraya mengatakan, “wahai anakku, Allah tentu akan mengumpulkan kita di hadapan-Nya pada hari Kiamat.”

Selanjutnya marilah kita baca penuturan Abdul Wahid. “Ketika kami sampai diperbatasan musuh, terompet ditiup dan mulailah terjadi perang. Saat itu Ibrahim berperang di barisan terdepan. Ia membunuh musuh dalam jumlah yang besar, sampai musuh mengepungnya, kemudian membunuhnya.”

Abdul Wahid berkata, “Ketika kami hendak kembali ke Bashrah, aku berkata kepada Sahabat-Sahabatku, ‘Kalian jangan menceritakan kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang menimpa putranya sampai aku mengabarkan kepadanya dengan sebaik-baik hiburan. Sehingga ia tidak bersedih dan pahalanya tidak hilang.’ Ketika kami sampai di Bashrah, orang-orang pun keluar untuk menyambut kami, dan Ummu Ibrahim pun berada di antara mereka.”

Abdul Wahid berkata, “Ketika dia memandangku, ia bertanya, ‘Wahai Abu Ubaid, apakah hadiah dariku diterima sehingga aku diberi ucapan selamat, atau ditolak sehingga aku diberi belasungkawa?’


Aku pun menjawab, ‘Hadiahmu telah diterima. Sesungguhnya Ibrahim hidup bersama orang-orang yang hidup dalam keadaan diberi rezeki, insya Allah)’.

Maka ibu ini pun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah seraya mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku dan menerima ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi.

Keesokan harinya, Ummu Ibrahim datang ke masjid yang di dalamnya terdapat Abdul Wahid lalu dia berseru,

"Assalaamualaikum, wahai Abu Ubaid. Ada kabar gembira untukmu."
Selanjutnya dia berkata,
"Tadi malam aku bermimpi melihat putraku, Ibrahim, di sebuah taman yang indah. Di atasnya terdapat kubah hijau, sedangkan dia berada di atas ranjang yang terbuat dari mutiara, dan kepalanya memakai mahkota."

Ibrahim berkata, “Wahai ibu, bergembiralah. Sebab maharnya telah diterima dan aku bersanding dengan pengantin wanita.’”

Demikianlah salah satu kisah istri salehah yang menyebabkan umat Islam dahulu menjadi umat yang kuat. Umat Islam dahulu menjadi umat yang mempunyai kewibawaan besar di antara umat-umat yang lain, salah satunya adalah karena upaya dari istri-istri salehah yang menyiapkan anak-anak mereka sebagai prajurit pembela Islam. Sudah selayaknya kita menyontoh segala yang dilakukan oleh para istri umat Islam zaman terdahulu, yang selalu membantu suami dan anaknya dalam rangka menaati Allah swt. Dengannya, semoga kejayaan dan kewibawaan umat Islam mampu kembali.

*Dinukil dari Buku “Membahagiakan Suami Sejak Malam Pertama” karya Ali Ghufron Sudirman (Jakarta: Amzah, cet. 2, 2013)

Sunday, 11 August 2013

Keutamaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

Imam Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan dari Abu Ayyub berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "man shama ramadhana tsumma atba'ahu sittan min syawwalin kana kashiyadid-dahri." Barang siapa puasa di bulan ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka ia seperti telah berpuasa selama setahun.

Keterangan:

1. Kualitas hadits ini sahih. Kiranya cukuplah bukti kesahihan itu ketika ia diriwayatkan oleh imam muslim dalam kitab sahihnya.

2. Imam Nawawi ketika mensyarahi Sahih Muslim mengatakan, "Orang seperti itu dianggap seperti telah berpuasa setahun karena, setiap satu amal kebaikan itu dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Jadi, satu bulan Ramadhan senilai 10 bulan, dan 6 hari puasa Syawal senilai 2 bulan.

3. Dalam Tuhfatul Ahwadzi syarah Sahih Turmudzi disebutkan bahwa Ibnul Mubarak berpendapat sebaiknya puasa 6 hari di bulan syawal dilakukan di awal bulan syawal. pelaksanaannya boleh tidak berurutan. Tapi menurut imam nawawi, para pembesar mazhab syafii mengatakan lebih utama dilakukan secara berurutan persis selepas hari raya. (dimulai tanggal 2 Syawal). Hanya saja bila pelaksanaannya dipisah-pisah tetap mendapatkan fadilahnya.

4. Puasa 6 hari di bulan Syawal ini merupakan ujian pertama keistiqamahan kita dalam menjalankan perintah-Nya, terkhusus ibadah puasa, setelah kita mendapat gelar muttaqin. Untuk itu saudaraku, mari kita buktikan bahwa kita layak menjadi pemenang sejati...

5. Selain puasa sunah, mari kita jaga amalan-amalan kita yang lain. qiyam kita, tilawah kita, dan bentuk taqarub lainnya... amal yang paling dicintai oleh allah adalah amal yang rutin dijalankan, meskipun kuantitasnya sedikit.

Saturday, 10 August 2013

Ramadan Telah Pergi



|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Ramadan telah pergi. Hari-harinya yang indah penuh mujahadah, malam-malamnya yang megah penuh berkah, semua telah berlalu. Ibarat sang kekasih, sungguh sedih kita melepasnya pergi. Sebab yang kita punya cuma harap, semoga tahun depan diberi umur panjang agar dapat bersua lagi. 

Saudaraku, rasanya sangat kurang bercengkrama dengan Ramadan hanya sebulan. Kiranya tidak cukup men-charge semangat keimanan ini hanya satu bulan demi mengarungi kehidupan tanpanya selama sebelas bulan yang lain. Sungguh tidak cukup. Tapi apa boleh dikata, ia harus pergi dan benar-benar pergi. 

Pertanyaan besarnya adalah, sanggupkah kita menjaga semangat ini, dan bisakah kita istiqamah melestarikan kebiasaan baik ini hingga Ramadan datang lagi?

Suatu hari, pada saat Hari Raya Idul Fitri, khalifah Umar bin Abdul Aziz berkhutbah seraya berkata, “Wahai sekalian manusia. Kalian hanya puasa 30 hari. Kalian hanya qiyam 30 hari. apakah kemudian hari ini dengan yakinnya kalian meminta agar Allah menerima semua itu?”

Wahb bin Al-Wurd melihat orang-orang tertawa riang saat lebaran. Dia kemudian berkata, “Bila mereka termasuk golongan orang yang diterima amal ibadah puasanya, keriangan seperti itu bukan tabiat ahli syukur. Dan bila mereka termasuk golongan orang yang tidak diterima amal ibadah puasanya, keriangan seperti itu tidak menunjukkan rasa takut atas tumpukan dosa yang mereka punya.”

Al-Hasan berkata, “Allah menjadikan bulan Ramadan sebagai gelanggang untuk berlomba memperebutkan keridhaan-Nya. Ada yang melesat cepat hingga meraih kemenangan. Ada pula yang berlambat-lambat hingga tidak mendapat apa-apa. Maka sungguh heran bila ada yang tertawa-tawa.”

Ali bin Abu Thalib ketika malam terakhir bulan Ramadan beliau berseru, “Duhai, mana orang-orang yang diterima amalnya untuk kuberi ucapan selamat. Mana orang-orang yang ditolak amalnya untuk kuberi ucapan duka cita. Wahai orang-orang yang diterima amalnya, selamat untuk kalian. Wahai orang-orang yang ditolak amalnya, semoga Allah menutupi musibahmu.”

Saudaraku, begitulah para salafusaleh kita saat mendapati Ramadan telah pergi. Mereka bersedih karena bulan mulia itu telah tiada. Karena kesempatan dilipatgandakannya amal telah sirna. 

Semoga, semua amal ibadah kita diterima oleh Allah. Dan semoga kita diberi kekuatan untuk istiqamah mengisi hari-hari panjang di luar bulan Ramadan dengan tilawah, qiyam, dan amalan-amalan ibadah lainnya. Amin

Friday, 9 August 2013

Untuk Apa Halal Bihalal



|| Oleh: Ali Ghuron Sudirman ||

Saudaraku, bila kita pernah punya salah kepada saudara, sudah sepantasnya kita meminta maaf dan meminta kehalalannya. Sebab dosa yang terjadi antarsesama hanya akan diampuni oleh Allah bila orang yang kita zalimi itu memaafkan kita.

Lebih dari itu, Allah akan mencurahkan rahmat-Nya kepada seseorang yang jantan mau mengaku salah dan meminta maaf akan kesalahannya itu. Rasulullah saw. bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا كَانَتْ لِأَخِيهِ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ فِي عِرْضٍ أَوْ مَالٍ فَجَاءَهُ فَاسْتَحَلَّهُ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ
Artinya:

Allah merahmati seorang hamba yang pernah berbuat zalim terhadap harta dan kehormatan saudaranya, lalu ia mau datang kepada saudara yang dizaliminya itu untuk minta kehalalannya sebelum ajal menjemput … (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)
 
Setiap orang hampir bisa dipastikan punya salah dan khilaf. Setiap orang hampir pasti pernah berbuat dosa dan maksiat. Rasul sendiri menyatakan demikian. Bahwa semua bani Adam adalah khattha’un, adalah banyak berbuat dosa dan maksiat. Dan sebaik-baik khattha’un adalah at-tawwabun, yaitu orang yang banyak bertobat. Ini hadits diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Anas bin Malik r.a. Allah sendiri di dalam Al-Quran juga berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang banyak bertobat.”

Maka, bukan suatu aib dan cela bila kita mengaku salah dan meminta maaf. Bukan merendahkan diri bila kita mengaku khilaf pada sesama. Bahkan semua itu akan mendatangkan curahan rahmat Allah pada diri ini. Bahkan semua itu akan melahirkan cinta-Nya kepada kita.

Apalah artinya mempertahankan ego hingga tak mau datang meminta maaf. Apalah artinya mengurung diri dalam malu hingga sungkan mengaku khilaf. Untuk apa menunda-nunda dan melambat-lambatkan langkah guna meminta maaf? Bukankah cinta dan rahmat Allah jauh lebih mulia ketimbang ego, harga diri, dan rasa malu ini? Maka marilah kita datang. Mengaku salah. Mengetuk pintu rumah saudara kita. Hingga terketuk pula hatinya untuk memaafkan kita.

Saudaraku, jangan sampai dosa itu kita bawa mati. Sebab biayanya akan didebitkan dari tabungan amal kita. Bahkan andai saldo amal baik kita sudah habis tanpa sisa, maka sebagai ganti kezaliman kita di dunia yang belum kita minta kehalalannya, dosa orang yang kita zalimi akan dialihkan menjadi tanggungan kita. 

Sungguh celakalah kita bila sampai bernasib seperti itu. Sebab ratapan sudah tak berguna. Penyesalan sudah tanpa daya. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
Artinya:

Barang siapa memiliki tanggungan kezaliman terhadap saudaranya, entah dalam hal kehormatan atau pun hartanya, maka hendaklah meminta kehalalannya hari ini. Sebelum datang hari (kiamat) di mana tidak berguna lagi dirham dan dinar. Pada hari kiamat nanti, bila seseorang yang menzalimi belum meminta kehalalan dari saudaranya, maka bila ia memiliki amal kebaikan, sebagian amal kebaikannya itu diambil sekadar kezaliman yang ia lakukan untuk diserahkan kepada orang yang pernah ia zalimi. Bila ia sudah tidak memiliki sisa amal kebaikan, maka dosa yang dimiliki orang yang pernah ia zalimi di dunia akan dilimpahkan kepadanya senilai kezaliman yang pernah ia lakukan. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)

Na’udzu billah min dzalik. Kiranya, masih maukah kita bersikukuh enggan meminta maaf hanya karena gengsi, menjaga harga diri, atau malu ini? 

Saudaraku, janganlah sampai amal baik yang kita kais setiap hari ini hanya akan kita serahkan begitu saja kepada orang lain saat di akhirat nanti.

Marilah kita meminta kehalalan dari orang yang pernah kita sakiti dan zalimi. Marilah kita berhalal bihalal. Dan marilah kita jaga makna halal bihalal ini dalam setiap acara halal bihalal kita ….

Thursday, 8 August 2013

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H



Selamat hari raya Idul Fitri 1434 H

‘id sa’id. Kullu am wa antum bikhair. Taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal ya karim…

Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita. Menerima puasa kita, qiyam kita, zakat kita, tilawah kita, sedekah kita, dan segala amal saleh yang ikhlas kita peruntukkan kepada-Nya. Amin…

Semoga, di hari ini, kita benar-benar menjadi orang yang bersih, fitri, dan kembali suci…

Semoga, di hari ini, kita benar-benar menginsyafi bahwa kebahagiaan terindah adalah saat dapat mematuhi perintah-perintah ilahi…

Semoga, di hari ini, kita benar-benar menyadari dahsyatnya persatuan umat ini dalam cinta dan semangat berbagi…

Semgoga, di hari ini, kita benar-benar mengerti pentingnya arti saling memaafkan dan menyayangi…

Semoga, di hari ini, dan mulai hari ini, kita benar-benar menjadi hamba Allah yang berdedikasi, yang berdisiplin tinggi, yang tahu perihal tugas dan kewajiban seorang abdi…

Semoga Allah memberkahi…

Selamat hari raya Idul Fitri…

***

Kami, selaku admin blog alighufron8o.blogspot.com memohon maaf bila selama kebersamaan ini ada salah tulis, salah ketik, dan salah-salah yang lain. Semoga ke depan, blog ini semakin baik, semakin saleh, dan semakin bermanfaat. Semoga ke depan, blog ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk berbagi, silaturahmi dan sharing kebaikan. Kami menunggu masukan dari para pembaca sekalian demi kebaikan bersama… 

Sugeng riyadi. Minal aidin wal faizin, taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal ya karim….